6 Kesimpulan Komnas HAM dalam Konflik Agraria Warga Kampung Baru-PTPN III
Terbaru

6 Kesimpulan Komnas HAM dalam Konflik Agraria Warga Kampung Baru-PTPN III

Ada indikasi pelanggaran HAM yang dilakukan PTPN III terhadap warga kampung baru antara lain pelanggaran hak atas keadilan.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Kantor Komnas HAM. Foto: Istimewa
Kantor Komnas HAM. Foto: Istimewa

Konflik agraria merupakan salah satu persoalan besar yang belum mampu dituntaskan pemerintah. Masyarakat yang terlibat konflik tak hanya berhadapan dengan perusahaan swasta pemegang konsesi, tapi juga BUMN. Seperti yang dialami warga Kampung Baru kelurahan Gurilla dan Bah Sorma, Sumatera Utara yang bersengketa dan konflik agraria dengan PTPN III. Persoalan ini mendapat perhatian Komnas HAM dan telah dilakukan pemantauan.

Komisioner Komnas HAM Bidang Pengaduan, Hari Kurniawan, mengatakan dari temuan faktual Komnas HAM disimpulkan telah terjadi pelanggaran HAM oleh PTPN III terhadap warga Kampung Baru terkait upaya okupasi lahan sengketa. Hasil pemantauan Komnas HAM itu setidaknya menghasilkan 6 kesimpulan.

Pertama, tindakan okupasi lahan yang telah dikelola/digarap oleh warga secara paksa dan sepihak oleh PTPN III padahal proses sengketa tersebut sudah berproses hukum. Hari melihat ada upaya kriminalisasi terhadap warga, hal itu merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak atas keadilan, hak untuk mempertahankan kehidupan, dan hak atas kepemilikan yang telah dijamin dalam ketentuan Pasal 28A, 28B ayat (2), 28D ayat (1), UUD Tahun 1945.

“Selain itu juga diatur dalam Pasal 3, 5, 9,17, UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia serta dijamin UU Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional  Hak Sipil dan Politik (Kovenan Sipol),” kata pria yang disapa Cak Wawa itu ketika dikonfirmasi, Rabu (26/4/2023).

Kedua, mobilisasi aparat keamanan dalam jumlah besar dan patroli rutin yang disertai dengan tindakan intimidasi dan kekerasan fisik merupakan pelanggaran terhadap hak atas rasa aman dan hak untuk tidak diperlakukan secara tidak manusiawi/merendahkan martabat manusia. Cak Wawa menegaskan hak itu dijamin Pasal 28B ayat (2), 28G UUD 1945, dan Pasal 29, 30, dan Pasal 33 UU Nomor 39 Tahun 1999 serta dijamin Kovenan Sipol dan Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat (Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment).

Ketiga, tindakan okupasi dan penggusuran terhadap warga yang mayoritas menjadi korban adalah perempuan anak dan kelompok lansia. Cak Wawa menilai itu merupakan bentuk pelangggaran terhadap hak perempuan dan anak yang digolongkan sebagai kelompok rentan termasuk lansia sebagaimana dijamin Pasal 52, 53, 61, 63 UU No.39 Tahun 1999, UU No.35 Tahun 2014 Perubahan atas UU No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, serta Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan sebagaimana telah diratifikasi melalui UU No.7 Tahun 1984, dan Konvensi Hak-Hak Anak Tahun 1989 (United Nations Convention on the Rights of the Child).

Keempat, Komnas HAM menemukan ada pembedaan antar warga di lokasi sengketa, yang sebagian diantaranya tidak dilakukan penggusuran dengan dalih adanya pendataan administrasi oleh keluruhan setempat. Menurut cak Wawa tindakan itu tergolong diskriminatif karena mengabaikan hak sebagian orang dari kelompok lainnya dengan latar belakang yang sama sesuai dengan ketentuan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 3 ayat (2) dan (3), Pasal 5 UU No.39 Tahun 1999.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait