6 Mahasiswa Hukum Persoalkan Aturan Pengangkatan Kepala Otorita IKN
Terbaru

6 Mahasiswa Hukum Persoalkan Aturan Pengangkatan Kepala Otorita IKN

Para pemohon meminta agar Mahkamah membatalkan keberlakuan pasal-pasal terkait aturan pengangkatan Kepala Otorita IKN oleh Presiden karena bertentangan dengan UUD Tahun 1945.

Agus Sahbani
Bacaan 4 Menit

Menurut para pemohon pasal-pasal tersebut telah mencederai demokrasi dan tidak menghargai reformasi sebagai sejarah bangsa, menimbulkan kerugian nyata bagi masyarakat Indonesia pada umumnya yang memiliki hak politik, hak ikut serta dalam pemerintahan dan hak untuk memilih/dipilih.

Penyelenggaraan pemerintahan membutuhkan partisipasi rakyat dalam pengambilan kebijakan dan pemilihan wakil-wakil rakyat untuk lembaga perwakilan rakyat dan kepala daerah secara langsung, umum, bebas, dan rahasia serta jujur dan adil. Asas demokrasi menjamin semua warga negara memiliki hak yang setara menentukan pengambilan keputusan untuk keberlangsungan hidup masing-masing warga negara. 

Para pemohon beranggapan masyarakat atau warga negara secara bebas harus dapat menentukan sendiri pilihan mereka terhadap wakil rakyat dan kepala daerah yang akan memimpin mereka dan berpartisipasi aktif baik secara langsung maupun melalui lembaga perwakilan atas pengambilan kebijakan pemerintah. Adanya Pasal 9 ayat (1) dalam UU IKN, hal tersebut mematikan asas demokrasi rakyat untuk berpartisipasi langsung dalam memilih kepala daerahnya sendiri yang kemudian bertentangan dengan Pasal 18 ayat (3) UUD 1945.

Dia melanjutkan keunikan dan kekhasan IKN Nusantara itu menurut tim pembentuk UU IKN sebagai pemerintahan daerah khusus sebagaimana amanat Pasal 18B ayat (1) UUD 1945. Namun bila ditelaah lebih lanjut bentuk pemerintahan otorita IKN Nusantara merupakan satuan pemerintahan daerah khusus yang dimaksud pembentuk Pasal 18B ayat (1) UUD 1945.

“Dalam Buku IV Jilid 2 Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945, awalnya yang dimaksud dengan pemerintahan daerah khusus dan istimewa dalam Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 adalah pemerintahan asli Indonesia. Pemerintahan asli Indonesia kemudian merujuk pada pendapat Soepomo sebagai Ketua Panitia Kecil Perancang UUD 1945 dalam rapat besar yang berlangsung pada 15 Juli 1945,” papar M. Yuhiqqul Haqqa Gunadi.

Untuk itu, dalam petitumnya, para pemohon meminta agar Mahkamah membatalkan keberlakuan pasal-pasal tersebut karena bertentangan dengan UUD Tahun 1945.

Mempertanyakan keseriusan pemohon

Menanggapi permohonan, Ketua Majelis Panel Arief Hidayat mempertanyakan keseriusan para pemohon untuk berperkara di MK. Ketidakseriusan para pemohon, antara lain tidak membubuhkan tanda tangan dalam permohonan, tidak ada halaman dalam permohonan.“Kalian semua serius atau sekedar latihan tugas di lapangan dengan bersidang di MK? Karena dari pengalaman MK, pernah ada lima permohonan dari mahasiswa Unila, terus tidak jadi dilanjutkan permohonannya,” ungkap Arief.

Menanggapi pertanyaan Arief, para pemohon menjawab bahwa mereka serius untuk berperkara di MK. “Baik kalau memang serius, nasihat Majelis Panel harus diperhatikan,” ujar Arief mengingatkan.

Anggota Panel, Enny Nurbaningsih mencermati berkas permohonan yang belum lengkap, termasuk belum ditandatanganinya permohonan oleh para pemohon. Enny juga mengamati permohonan pemohon tidak menuliskan halaman.“Berikutnya, para pemohon tidak konsisten dengan apa yang dimohonkan. Terjadi penambahan lagi pasal yang diuji dalam pembahasan permohonan. Padahal penambahan pasal ini tidak ada dalam perihal permohonan,” ujar Enny.

Anggota Panel lain, Daniel Yusmic P. Foekh mengingatkan para pemohon tanpa didampingi kuasa hukum (advokat), sehingga harus hadir dalam setiap persidangan. Lalu, Daniel meminta agar para pemohon mempelajari sistematika permohonan pengujian UU dalam Pasal 10 Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) No.2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang. Sedangkan para pemohon menyebutkan dalam permohonan merujuk PMK No.6 Tahun 2005 yang sudah dicabut.

Tags:

Berita Terkait