6 Mahasiswa Hukum Persoalkan Aturan Pengangkatan Kepala Otorita IKN
Terbaru

6 Mahasiswa Hukum Persoalkan Aturan Pengangkatan Kepala Otorita IKN

Para pemohon meminta agar Mahkamah membatalkan keberlakuan pasal-pasal terkait aturan pengangkatan Kepala Otorita IKN oleh Presiden karena bertentangan dengan UUD Tahun 1945.

Agus Sahbani
Bacaan 4 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Pengangkatan Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara (IKN) yang langsung ditunjuk oleh Presiden sebagaimana diatur UU No.3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) masih menuai kontra di masyarakat. Ketiadaan peran aktif masyarakat dalam memilih pemimpin IKN menyebabkan 6 orang Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bandar Lampung mengajukan permohonan uji materil UU IKN ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Sidang perdana Perkara Nomor 66/PUU-XX/2022 ini digelar di ruang sidang MK dihadiri secara daring oleh para pemohon, Senin (27/6/2022) kemarin. Para pemohon yakni M. Yuhiqqul Haqqa Gunadi (Pemohon I); Hurriyah Ainaa Mardiyah (Pemohon II); Ackas Depry Aryando (Pemohon III); Rafi Muhammad (Pemohon IV); Dea Karisna (Pemohon V); dan Nanda Trisua Hardianto (Pemohon VI).

“Para Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukum sebagai pribadi, kelompok, dan masyarakat atas berlakunya Pasal 5 ayat (4), Pasal 9 ayat (1), dan Pasal 13 ayat (1) UU IKN. Ketiga pasal bertentangan dengan UUD Tahun 1945,” ujar salah seorang Pemohon I, M. Yuhiqqul Haqqa Gunadi dalam sidang, Senin (27/6/2022) seperti dikutip laman MK.

Baca Juga:

Selengkapnya, Pasal 5 ayat (4) UU IKN berbunyi “Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara merupakan kepala pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara yang berkedudukan setingkat menteri, ditunjuk, di angkat, dan diberhentikan oleh Presiden setelah berkonsultasi dengan DPR”.

Pasal 9 ayat (1) UU IKN berbunyi “Otorita Ibu Kota Nusantara dipimpin oleh Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara dan dibantu oleh seorang Wakil Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara yang ditunjuk, diangkat, dan ditunjuk langsung oleh Presiden setelah berkonsultasi dengan DPR.”

Sedangkan Pasal 13 ayat (1) UU IKN berbunyi “Dikecualikan dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur daerah pemilihan dalam rangka pemilihan umum, Ibu Kota Nusantara hanya melaksanakan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Pemilihan Umum untuk memilih anggota DPR, dan Pemilihan Umum untuk memilih anggota DPD.”

Menurut para pemohon pasal-pasal tersebut telah mencederai demokrasi dan tidak menghargai reformasi sebagai sejarah bangsa, menimbulkan kerugian nyata bagi masyarakat Indonesia pada umumnya yang memiliki hak politik, hak ikut serta dalam pemerintahan dan hak untuk memilih/dipilih.

Penyelenggaraan pemerintahan membutuhkan partisipasi rakyat dalam pengambilan kebijakan dan pemilihan wakil-wakil rakyat untuk lembaga perwakilan rakyat dan kepala daerah secara langsung, umum, bebas, dan rahasia serta jujur dan adil. Asas demokrasi menjamin semua warga negara memiliki hak yang setara menentukan pengambilan keputusan untuk keberlangsungan hidup masing-masing warga negara. 

Para pemohon beranggapan masyarakat atau warga negara secara bebas harus dapat menentukan sendiri pilihan mereka terhadap wakil rakyat dan kepala daerah yang akan memimpin mereka dan berpartisipasi aktif baik secara langsung maupun melalui lembaga perwakilan atas pengambilan kebijakan pemerintah. Adanya Pasal 9 ayat (1) dalam UU IKN, hal tersebut mematikan asas demokrasi rakyat untuk berpartisipasi langsung dalam memilih kepala daerahnya sendiri yang kemudian bertentangan dengan Pasal 18 ayat (3) UUD 1945.

Dia melanjutkan keunikan dan kekhasan IKN Nusantara itu menurut tim pembentuk UU IKN sebagai pemerintahan daerah khusus sebagaimana amanat Pasal 18B ayat (1) UUD 1945. Namun bila ditelaah lebih lanjut bentuk pemerintahan otorita IKN Nusantara merupakan satuan pemerintahan daerah khusus yang dimaksud pembentuk Pasal 18B ayat (1) UUD 1945.

“Dalam Buku IV Jilid 2 Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945, awalnya yang dimaksud dengan pemerintahan daerah khusus dan istimewa dalam Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 adalah pemerintahan asli Indonesia. Pemerintahan asli Indonesia kemudian merujuk pada pendapat Soepomo sebagai Ketua Panitia Kecil Perancang UUD 1945 dalam rapat besar yang berlangsung pada 15 Juli 1945,” papar M. Yuhiqqul Haqqa Gunadi.

Untuk itu, dalam petitumnya, para pemohon meminta agar Mahkamah membatalkan keberlakuan pasal-pasal tersebut karena bertentangan dengan UUD Tahun 1945.

Mempertanyakan keseriusan pemohon

Menanggapi permohonan, Ketua Majelis Panel Arief Hidayat mempertanyakan keseriusan para pemohon untuk berperkara di MK. Ketidakseriusan para pemohon, antara lain tidak membubuhkan tanda tangan dalam permohonan, tidak ada halaman dalam permohonan.“Kalian semua serius atau sekedar latihan tugas di lapangan dengan bersidang di MK? Karena dari pengalaman MK, pernah ada lima permohonan dari mahasiswa Unila, terus tidak jadi dilanjutkan permohonannya,” ungkap Arief.

Menanggapi pertanyaan Arief, para pemohon menjawab bahwa mereka serius untuk berperkara di MK. “Baik kalau memang serius, nasihat Majelis Panel harus diperhatikan,” ujar Arief mengingatkan.

Anggota Panel, Enny Nurbaningsih mencermati berkas permohonan yang belum lengkap, termasuk belum ditandatanganinya permohonan oleh para pemohon. Enny juga mengamati permohonan pemohon tidak menuliskan halaman.“Berikutnya, para pemohon tidak konsisten dengan apa yang dimohonkan. Terjadi penambahan lagi pasal yang diuji dalam pembahasan permohonan. Padahal penambahan pasal ini tidak ada dalam perihal permohonan,” ujar Enny.

Anggota Panel lain, Daniel Yusmic P. Foekh mengingatkan para pemohon tanpa didampingi kuasa hukum (advokat), sehingga harus hadir dalam setiap persidangan. Lalu, Daniel meminta agar para pemohon mempelajari sistematika permohonan pengujian UU dalam Pasal 10 Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) No.2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang. Sedangkan para pemohon menyebutkan dalam permohonan merujuk PMK No.6 Tahun 2005 yang sudah dicabut.

Tags:

Berita Terkait