6 Masalah Krusial dalam Perkom Baru KPPU yang Perlu Direvisi
Utama

6 Masalah Krusial dalam Perkom Baru KPPU yang Perlu Direvisi

Perbaikan tersebut hendaknya tak hanya dikaji sepihak oleh KPPU, melainkan mesti melibatkan banyak pihak, khususnya stakeholder yang langsung terdampak.

Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit

 

“Ini bahaya, bagaimana kalau ketidak hadiran terlapor terjadi akibat penyampaian surat panggilan itu tidak proper? Salah alamat? Kantornya sudah pindah? Atau mungkin disengaja pengiriman surat panggilan salah lamat sehingga tak pernah sampai?” katanya.

 

Sementara, dalam Perkom 1/2019 tak satupun memberikan persyaratan penjatuhan putusan verstek harus menaati asas publisitas (harus ada pengumuman di Koran). Berbeda halnya dengan kasus-kasus yang ditangani di Pengadilan Negeri, dimana sebelum menjatuhkan putusan verstek bila tak diketahui tempatnya maka pemanggilan harus diumumkan terlebih dahulu di media massa.

 

  1. Tak ada batasan tegas kapan suatu perkara masuk sebagai perkara laporan atau perkara inisiatif

Karena tidak adanya pembatasan yang tegas, Ia menyebut potensi masuknya perkara laporan menjadi perkara inisiatif menjadi besar. Akibatnya, KPPU yang awalnya menegakkan hukum persaingan, ujung-ujungnya malah dapat digunakan sebagai media untuk menendang pesaing dari pasar.

 

“Artinya, ada potensi pelaku pesaing menggunakan KPPU sebagai media untuk menendang pesaingnya dari pasar. Padahal, fungsi yang harusnya dilakukan KPPU adalah melindungi persaingan bukan pesaing,” tukasnya. 

 

(Baca: Yuk, Pahami Aturan Baru Tata Cara Persidangan KPPU)

 

Harusnya, Ia mengatakan perkara inisiatif itu dilakukan terhadap sesuatu yang memiliki dampak begitu luas, bukan melakukan follow up atas suatu perkara laporan secara sembunyi-sembunyi. Apalagi dalam bisnis, dinamika persaingan jelas sangat bisa dilakukan dengan banyak cara, termasuk bila ada potensi memanfaatkan ketidaktegasan pemisahan perkara laporan dan inisiatif itu.

 

  1. Laporan Dugaan Pelanggaran (LDP)

Dalam Pasal 26 ayat (2) Perkom baru, katanya, isi dari suatu LDP minimal memuat Identitas Terlapor; Identitas saksi dan/atau ahli; Ketentuan UU yang dilanggar; Alat bukti; dan Analisa pembuktian unsur ketentuan yang dilanggar. Terkait hal ini, Asep menyoroti dua hal penting untuk dikritisi.

 

Pertama, masalah ketiadaan ketentuan soal konsekuensi hukum di dalam Perkom baru bilamana persyaratan tersebut tak terpenuhi. Kedua, soal pentingnya kejelasan mengenai perbuatan, waktu dan tempat/wilayah dugaan pelanggaran (locus dan tempus delicti dalam pidana).

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait