6 Masalah Krusial dalam Perkom Baru KPPU yang Perlu Direvisi
Utama

6 Masalah Krusial dalam Perkom Baru KPPU yang Perlu Direvisi

Perbaikan tersebut hendaknya tak hanya dikaji sepihak oleh KPPU, melainkan mesti melibatkan banyak pihak, khususnya stakeholder yang langsung terdampak.

Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Gedung KPPU di Jakarta. Foto: RES
Gedung KPPU di Jakarta. Foto: RES

Direvisinya Perkom 1 Tahun 2010 menjadi Perkom 1 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, salah satunya memang dilatarbelakangi atas berbagai masukan dan kritikan yang disampaikan para praktisi yang merasakan langsung dampak atas penerapan kebijakan tersebut.

 

Beberapa aturan baru yang dirasa dapat memberikan dampak positif jelas patut diapresiasi, kendati beberapa kelemahan yang berpotensi menuai masalah baru dalam aturan baru ini jelas perlu disorot kembali oleh KPPU.

 

Ketua Indonesian Competition Lawyers Association (ICLA), Asep Ridwan, turut mengapresiasi upaya KPPU dalam merevisi Perkom 1 tahun 2010. Pasalnya, beberapa poin perubahan yang dimuat dalam Perkom 1/2019 disebutnya juga merupakan masukan dari ICLA yang disampaikan secara tertulis pada Agustus 2018 lalu.

 

Namun, Ia menyayangkan masukan yang disampaikan tak dimuat secara sempurna lantaran memang akses untuk audiensi secara langsung tak terfasilitasi oleh KPPU kala itu. Akibatnya, perubahan aturan yang diharapkan tak dimuat mendetail, sehingga secara teknis aturan baru yang dimuat Perkom 1/2019, diprediksi dapat mengakibatkan berbagai persoalan serius bila dipraktikkan.

 

“Posisi kami sebagai lawyer, bagaimanapun kami ingin menang dalam proses yang sangat kredibel. Jadi yang ingin kita bangun adalah sistem yang baik, sehingga siapapun yang nantinya menduduki jabatan komisioner, kalau sistemnya sudah bagus maka tak akan ada masalah yang signifikan,” ujarnya.

 

Untuk memastikan aspirasi praktisi persaingan usaha tersampaikan, Asep bahkan telah menginventarisir berbagai permasalahan yang harus segera dibenahi melalui revisi Perkom 1/2019. Berikut daftar enam catatan penting di antara banyaknya persoalan yang Ia garis bawahi dalam Perkom baru KPPU, yakni perihal;

 

  1. Surat Panggilan

Adanya ketentuan soal Putusan Verstek (penjatuhan putusan tanpa hadirnya terlapor), katanya, telah menjadikan pentingnya penyampaian surat panggilan dilakukan secara proper. Pasalnya, terlapor yang telah dipanggil sebanyak dua kali berturut-turut namun terlapor tidak hadir, maka bisa dijatuhkan putusan verstek (vide; Pasal 30 ayat (5) & (6) Perkom 1/2019).

 

“Ini bahaya, bagaimana kalau ketidak hadiran terlapor terjadi akibat penyampaian surat panggilan itu tidak proper? Salah alamat? Kantornya sudah pindah? Atau mungkin disengaja pengiriman surat panggilan salah lamat sehingga tak pernah sampai?” katanya.

 

Sementara, dalam Perkom 1/2019 tak satupun memberikan persyaratan penjatuhan putusan verstek harus menaati asas publisitas (harus ada pengumuman di Koran). Berbeda halnya dengan kasus-kasus yang ditangani di Pengadilan Negeri, dimana sebelum menjatuhkan putusan verstek bila tak diketahui tempatnya maka pemanggilan harus diumumkan terlebih dahulu di media massa.

 

  1. Tak ada batasan tegas kapan suatu perkara masuk sebagai perkara laporan atau perkara inisiatif

Karena tidak adanya pembatasan yang tegas, Ia menyebut potensi masuknya perkara laporan menjadi perkara inisiatif menjadi besar. Akibatnya, KPPU yang awalnya menegakkan hukum persaingan, ujung-ujungnya malah dapat digunakan sebagai media untuk menendang pesaing dari pasar.

 

“Artinya, ada potensi pelaku pesaing menggunakan KPPU sebagai media untuk menendang pesaingnya dari pasar. Padahal, fungsi yang harusnya dilakukan KPPU adalah melindungi persaingan bukan pesaing,” tukasnya. 

 

(Baca: Yuk, Pahami Aturan Baru Tata Cara Persidangan KPPU)

 

Harusnya, Ia mengatakan perkara inisiatif itu dilakukan terhadap sesuatu yang memiliki dampak begitu luas, bukan melakukan follow up atas suatu perkara laporan secara sembunyi-sembunyi. Apalagi dalam bisnis, dinamika persaingan jelas sangat bisa dilakukan dengan banyak cara, termasuk bila ada potensi memanfaatkan ketidaktegasan pemisahan perkara laporan dan inisiatif itu.

 

  1. Laporan Dugaan Pelanggaran (LDP)

Dalam Pasal 26 ayat (2) Perkom baru, katanya, isi dari suatu LDP minimal memuat Identitas Terlapor; Identitas saksi dan/atau ahli; Ketentuan UU yang dilanggar; Alat bukti; dan Analisa pembuktian unsur ketentuan yang dilanggar. Terkait hal ini, Asep menyoroti dua hal penting untuk dikritisi.

 

Pertama, masalah ketiadaan ketentuan soal konsekuensi hukum di dalam Perkom baru bilamana persyaratan tersebut tak terpenuhi. Kedua, soal pentingnya kejelasan mengenai perbuatan, waktu dan tempat/wilayah dugaan pelanggaran (locus dan tempus delicti dalam pidana).

 

Hal itu penting disorot pula oleh KPPU mengingat adanya kejelasan tersebut sangat substansial untuk menghindari dugaan/tuduhan yang berubah-ubah dari investigator terhadap terlapor selama proses pemeriksaan, sehingga kerap mengganggu kepentingan terlapor. Berkaca pada sidang pidana/perdata, katanya, bahkan orang tak bisa merubah surat dakwaan atau gugatan bilamana tergugat atau terdakwa telah memberikan tanggapan.

 

“Jadi kalau dari awal tuduhannya sudah tak jelas, mestinya bisa ditolak LDPnya. Jangan sampai perkara terus berkembang di proses pemeriksaan sehingga tuduhannya pun menjadi berubah-ubah. Ini jelas sangat mengganggu kepentingan pembelaan,” tukasnya.

 

  1. Hasil Pemeriksaan Pendahuluan (PP)

Pada Pasal 38 Perkom baru, digariskan 3 hal yang menjadi hasil dari suatu pemeriksaan perdahuluan, yakni berupa Penetapan Majelis Komisi mengenai perubahan perilaku; Simpulan majelis komisi untuk melakukan Pemeriksaan lanjutan; atau simpulan Majelis Komisi untuk melakukan musyawarah untuk mengambil keputusan. Mestinya, katanya, soal pengujian terkait kompetensi KPPU untuk menguji juga perlu dimuat sebagai hasil PP.

 

Tambahan masukan lain, harusnya hasil PP juga dimasukkan sebagai langkah pemeriksaan untuk menguji apakah LDP sudah disusun sesuai dengan persyaratan yang telah ditetapkan atau tidak. Dalam artian, PP juga untuk menguji keabsahan LDP.

 

“Nah kalau kalkulasi soal ini sudah terpenuhi, baru akan dilanjutkan ke pemeriksaan pokok perkara, masuk ke Pemeriksaan Lanjutan,” tukasnya.

 

  1. Harus Ada Sarana Upaya Hukum Atas Putusan Verstek

Dalam hukum dan pengadilan, kealpaan tentu bisa saja terjadi. Termasuk bila terjadi kekeliruan dalam pemanggilan sehingga mengakibatkan seseorang tanpa perlawanan dijatuhi hukuman bersalah melalui putusan verstek. Untuk itu, penting adanya sarana upaya hukum perlawanan bilamana pihak yang dihukum tak menerima putusan setelah mengetahuinya.

 

Upaya hukum itu, disebut Asep tak tepat bila yang digunakan adalah mekanisme keberatan. Pasalnya, di tingkat keberatan saat ini tak dapat diajukan bukti baru selain melalui sarana pemeriksaan tambahan. Dalam hukum acara perdata saja, katanya, terdapat upaya perlawanan (verzet) terhadap putusan verstek yang diajukan dan diperiksa oleh pihak yang mengeluarkan putusan.

 

Mantan Ketua Komisioner KPPU, Syamsul Maarif menambahkan, untuk melakukan pemanggilan terhadap terlapor dalam Hukum Acara Persaingan Usaha memang menjadi kewajiban para pihak untuk memanggil lawannya. Sehingga, beban untuk memastikan ketepatan alamat lawa terletak di tangan terlapor. Untuk itu, Ia menyarankan bila memang alamatnya belum diketahui sebaiknya Majels menghindarkan diri dari pengambilan putusan verstek.

 

“Kalau belum diketahui ya jangan diproses, ditolak saja, jadi harapannya dihindarkan penjatuhan putusan verstek itu,” tegasnya.

 

  1. Kehadiran Majelis Dalam Sidang

Seperti diketahui, Pasal 29 ayat (3) Perkom baru membuka peluang pada Pemeriksaan Pendahuluan dan/atau Pemeriksaan Lanjutan, wajib dihadiri oleh paling sedikit 1 (satu) orang Anggota Majelis Komisi. Padahal, katanya, untuk agenda tertentu khususnya sidang pembuktian sudah sepatutnya harus dihadiri oleh anggota Majelis Hakim secara lengkap. Harusnya bahkan sidang dapat ditunda bilamana Majelis tidak lengkap dalam pembuktian.

 

Kelengkapan majelis itu, disebut Asep merupakan hal yang lazim dilakukan oleh hakim kamar perdata maupun pidana, terutama dalam agenda tertentu seperti pembuktian. “Bahkan hakim meminta persetujuan dari para pihak apabila anggota Majelis tidak lengkap,” tukasnya.

 

Terlepas dari 6 poin di atas, masih banyak lagi persoalan implementasi atas aturan pada Perkom Baru KPPU ini yang perlu dikaji dan diperbaiki ketentuannya. Jelas perbaikan tersebut hendaknya tak hanya dikaji sepihak oleh KPPU, melainkan mesti melibatkan banyak pihak, khususnya stakeholder yang langsung terdampak.

 

Untuk itu, Guru Besar Hukum Persaingan Usaha Universitas Sumatera Utara (USU), Ningrum Natasha Sirait, mengingatkan pentingnya KPPU menyusun daftar inventaris masalah melalui pemberian daftar isian masalah kepada stakeholder, sehingga masukan yang ditampung KPPU kedepannya tidak parsial.

 

“Kirimkan isian kepada stakeholder, dibikin alur masalahnya, di pemberkasan apa saja, di administrasi dan lainnya. Jadi perbaikan menyentuh seluruh variable, pasti sempurna nanti hasilnya,” tegasnya.

 

Tags:

Berita Terkait