7 Masalah Mendorong Koalisi Protes Keras ke Pemerintah
Terbaru

7 Masalah Mendorong Koalisi Protes Keras ke Pemerintah

Seperti reformasi yang berjalan jauh dari harapan, penyelewenangan pemberantasan KKN dengan merevisi UU KPK, pembatasan kebebasan berekspresi dan akademik hingga kekacauan kehidupan berbangsa di berbagai bidang.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit

“Penempatan pejabat publik bukan atas dasar meritokrasi, tetapi berdasar suka dan tidak suka (like and dislike), sehingga menyebabkan jumlah pelaku korupsi terus bertambah dengan kerugian negara yang semakin parah,” ujar mantan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta itu.

Ketiga, penyelewengan di bidang demokrasi dilakukan dengan memasung kebebasan pers, penerapan pasal-pasal pidana yang menghambat kebebasan berpendapat. Melemahnya kedaulatan rakyat, berbanding terbalik dengan makin menguatnya kedaulatan penguasa dan partai politik. Alhasil, penguasa dan partai politik melalui tangan DPR dapat leluasa membuat peraturan perundangan dan menempatkan pejabat publik di lembaga-lembaga negara. Seperti MK, BPK, MA, hingga KPU sebagai penyelenggara pemilu.

Koalisi menilai DPR dan pemerintah kerap menerbitkan peraturan perundang-undangan anti demokrasi. Seperti UU No.1 Tahun 2023 tentang KUHP yang mengekang kebebasan sipil, maupun UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu dengan ambang batas pencalonan presiden 20 persen dan Parlemen 4 persen. Begitu pula dengan UU No.17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) memberi kewenangan pemerintah dengan mudah membubarkan ormas. Sementara ide penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden/wakil presiden 3 periode terus dikampanyekan.

Public Engagement & Actions Manager Greenpeace Indonesia Khalisah Khalid membacakan poin berikutnya. Keempat, penyelewengan dalam bidang pemerataan ekonomi ditunjukan dengan perbandingan kekayaan 1 persen penduduk terkaya di Indonesia yang hampir sama dengan kekayaan 50 persen rakyat Indonesia. Fenomena ini bisa dibuktikan dengan adanya 68 persen rakyat Indonesia kekurangan gizi harian termasuk terdapat lebih dari 21 persen anak-anak kerdil atau stunting akibat kurang gizi.

Perempuan biasa disapa Alin itu menerangkan peraturan perundangan yang meningkatkan kesenjangan sosial. Seperti UU 11/2020 dan Perppu 2/2022, UU No.3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang mengizinkan pengerukan kekayaan negara untuk kepentingan pribadi. Selain itu, UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria yang makin menjauhkan rakyat dari penguasaan atas tanah. Ironisnya, perampasan ruang hidup dan kerusakan lingkungan semakin tak terkendali.

Kelima, pembatasan kebebasan berekspresi dan akademik. Setelah 1/2023 terbit dan belum disahkannya revisi UU No.19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik memperparah absennya jaminan terhadap kebebasan berekspresi di ruang publik. Pemutusan akses internet, penangkapan demonstran, dan lainnya tak berujung pada proses hukum yang adil.

Keenam, penghidupan yang layak bagi rakyat sebagaimana dijamin konstitusi semakin jauh dari ‘tugas’ negara semestinya. Alin melihat kesenjangan ekonomi meluas dan kemiskinan bertambah serta perlindungan sosial yang belum berorientasi kerakyatan. Ketujuh, kekacauan dalam kehidupan berbangsa di berbagai bidang. Pasalnya, peraturan perundang-undangan yang dibuat penguasa dan kekuatan politik partisan telah menabrak Pancasila dan UUD 1945. Kondisi itu terjadi akibat adanya desakan kelompok oligarki dengan modal uang yang mampu mendikte dan mengendalikan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan media.

Tags:

Berita Terkait