8 Catatan YLBHI Atas Kekacauan Langkah Hukum Penanganan Covid-19
Utama

8 Catatan YLBHI Atas Kekacauan Langkah Hukum Penanganan Covid-19

Meliputi keterbukaan informasi secara realtime; menjawab darurat kesehatan dengan darurat sipil; lambannya penetapan karantina wilayah; saling lempar tanggung jawab; tim penanganan Covid-19 lebih fokus di bidang ekonomi; tidak tegasnya kebijakan mudik; membiarkan kebijakan Kapolri yang represif; dan tidak ada pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat sebagaimana mandat UU.

Ady Thea DA
Bacaan 5 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Pemerintah telah menerbitkan kebijakan “rem darurat” untuk menekan laju penularan Covid-19. Kebijakan itu tertuang dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri No.15 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat Covid-19 di Wilayah Jawa dan Bali. Terdapat berbagai sektor bisnis yang diperbolehkan, dibatasi, hingga dihentikan kegiatannya selama masa PPKM Darurat terutama sektor esensial dan kritikal.   

Ketua Bidang Advokasi YLBHI, Muhammad Isnur, menilai PPKM Darurat ini tidak mengacu pada peraturan yang jelas, hanya menindaklanjuti arahan Presiden Jokowi yang menginstruksikan agar diberlakukan PPKM Darurat di Jawa-Bali. Dalam menangani pandemi Covid-19, pemerintah seharusnya mengacu pada UU No.6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan sebagai landasan kebijakan.

Tapi sampai sekarang pemerintah belum menerbitkan seluruh peraturan pelaksana yang dimandatkan UU No.6 Tahun 2018 itu. Padahal, beleid itu mengamanatkan pemerintah untuk menerbitkan sedikitnya 5 Peraturan Pemerintah dan 4 Peraturan Menteri. Misalnya, PP tentang Tata Cara Penetapan dan Pencabutan Status Kedaruratan Masyarakat; PP tentang Penanggulangan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat; dan Permen tentang Kekarantinaan di Pintu Masuk dan Pintu Wilayah.

“Kriteria dan pelaksanaan karantina rumah, karantina wilayah, karantina RS sampai sekarang belum ada PP-nya,” kata Muhammad Isnur dalam webinar bertajuk “Gagalnya Indonesia Menyelamatkan Rakyat”, Senin (5/7/2021). (Baca Juga: Pemerintah Dinilai Gagal Tangani Covid-19, Ini Indikasinya!)

Menurut Isnur, kacaunya penerapan UU No.6 Tahun 2018 ini berdampak pada penanganan Covid-19 yang dilakukan pemerintah. Terbukti saat ini jumlah masyarakat yang tertular Covid-19 semakin meningkat dan RS kewalahan akibat terbatas SDM dan fasilitas kesehatan, sehingga ada yang diarahkan untuk melakukan isolasi mandiri.

YLBHI mencatat sedikitnya 8 hal kekacauan langkah hukum penanganan Covid-19. Pertama, informasi positif Covid-19 tidak dibuka secara realtime. YLBHI mencatat Presiden Jokowi pernah menyatakan data positif Covid-19 tidak akan dibuka karena bakal menimbulkan kepanikan, tapi kemudian akhirnya pemerintah membuka data tersebut.

Dampaknya, informasi hasil pemeriksaan positif hanya dapat dikeluarkan oleh laboratorium rujukan nasional Covid-19 dan hasil pemeriksaan negatif dapat diinformasikan kepada RS/dinas kesehatan/laboratorium kesehatan lainnya untuk deteksi cepat (realtime) dalam rangka penegakan diagnosa sebagaimana diatur Kepmenkes No.HK.01.07/Menkes/214/2020.

“YLBHI menilai data realtime sangat dibutuhkan untuk pencegahan penularan dan penanganan kesehatan,” kata Isnur.

Kedua, darurat kesehatan dijawab dengan darurat sipil. Isnur mengatakan dalam rapat terbatas 30 Maret 2020 lalu, Presiden Jokowi menyatakan darurat kesehatan masyarakat perlu didampingi adanya kebijakan darurat sipil. Ketiga, lambannya penetapan kekarantinaan wilayah. UU No.6 Tahun 2018 menyebut ada 4 jenis karantina yakni karantina rumah, rumah sakit, wilayah dan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).

Misalnya, pada 30 Maret 2020, Gubernur DKI Jakarta pernah mengajukan permintaan karantina wilayah. Kemudian 31 Maret 2020, terbit PP No.21 Tahun 2020 tentang PSBB yang mengatur cara dan syarat menetapkan PSBB. Lalu, 3 April 2020 terbit Permenkes No.9 Tahun 2020 tentang Pedoman PSBB Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19. Akhirnya PSBB Jakarta disetujui 7 April 2020 melalui Keputusan Menkes.

Keempat, lempar tanggung jawab kepada pemerintah daerah dan membuat istilah baru tanpa dasar hukum. Isnur mengatakan Pasal 10 ayat (1) UU No.6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan mengatur pemerintah pusat menetapkan dan mencabut kedaruratan kesehatan masyarakat. Faktanya melalui PP No.21 Tahun 2020, pemerintah melempar tanggung jawab kepada pemerintah daerah dengan membuat mekanisme PSBB ditetapkan melalui pengajuan oleh kepala daerah.

“Hal ini kemudian dilanjutkan dengan Instruksi Mendagri tentang PPKM Darurat yang tidak ada dasarnya dalam UU No.6 Tahun 2018 atau PP No.21 Tahun 2020 tentang PSBB,” tegasnya.

Kelima, perubahan APBN tidak fokus untuk antisipasi Covid-19 dan pembentukan tim penanganan lebih dominan menjaga stabilitas ekonomi ketimbang kesehatan. Isnur menilai Perppu No.1 Tahun 2020 ditunggangi kepentingan lain. Misalnya, Perppu ini ditujukan untuk menangani Covid-19; menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan yang disebabkan pandemi Covid-19; dan menghadapi ancaman membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, padahal ini tidak ada kaitannya dengan Covid-19.

“Anggaran yang dialokasikan untuk bidang kesehatan hanya Rp75 triliun. Sedangkan perlindungan sosial Rp110 triliun dan paling besar pemulihan ekonomi Rp150 triliun,” bebernya.

Keenam, kebijakan mudik yang tidak tegas. Isnur mencatat 27 Maret 2020 Menkopolhukam Mahfud MD, mengatakan sedang menyiapkan kebijakan larangan mudik. Kemudian 30 Maret 2020, Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman mengatakan larangan mudik berbentuk Perpres dan Inpres. Selanjutnya, 2 April 2020 Presiden dalam rapat terbatas menyatakan tidak ada larangan mudik resmi, tapi pemudik akan berstatus orang dalam pemantauan (ODP). Pemudik juga wajib isolasi mandiri selama 14 hari dengan diawasi pemerintah daerah masing-masing.

Berikutnya pada 3 April 2020 Menko Kemaritiman dan Investasi sekaligus Menhub Ad Interim, Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan tidak ada larangan mudik, tapi mengimbau masyarakat tidak perlu mudik. Pada 6 April 2020, Juru Bicara Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto meminta warga tidak mudik dan itu bagian dari PSBB. Lalu, 7 April 2020 terbit SE MENPAN-RB No.41 Tahun 2020 tentang Larangn Mudik untuk ASN dan Keluarganya.

Ketujuh, membiarkan terbitnya kebijakan Kapolri yang tidak sesuai hukum dan represif. Kapolri memerintahkan anggotanya mengambil langkah tegas terhadap orang yang dikategorikan menyebar hoax dan menghina Presiden. Padahal penghinaan Presiden sudah dinyatakan bersifat aduan. Kriteria hoax yang dimaksud juga tidak jelas karena pejabat publik banyak yang mengeluarkan pernyataan tidak benar, tapi tidak pernah dilakukan tindakan.

“Kebijakan ini menimbulkan diskriminasi dan kriminalisasi yang tidak pada tempatnya,” ujar Isnur.

Kedelapan, tidak ada pemenuhan kebutuhan dasar sebagaimana mandat UU. Isnur menyebut Pasal 16 ayat (2) UU No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana mengatur setiap orang yang terkena bencana berhak mendapatkan pemenuhan kebutuhan dasar. Pasal 48 menyatakan penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat meliputi pemenuhan kebutuhan dasar. Pasal 55 UU No.6 Tahun 2018 menyebut pada saat darurat kesehatan masyarakat dan dilakukan karantina wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak merupakan tanggung jawab pemerintah pusat.

Inisiator Platform Lapor Covid-19, Irma Hidayana, menilai pemerintah seolah tidak menjadikan konstitusi, UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM, dan UU No.6 Tahun 2018 sebagai acuan dalam menangani Covid-19. Pemerintah malah membantah fakta di lapangan yang menunjukkan banyak orang yang terpapar Covid-19 meninggal dunia dan RS kewalahan.

“Pemerintah harus mengakui kondisi karut marut (penanganan Covid-19, red) ini dan mengakhiri komunikasi pencitraan yang seolah semua baik-baik saja,” ujarnya.

Irma mengatakan situasi yang terjadi saat ini dimana jumlah orang terpapar Covid-19 semakin banyak dan RS kewalahan adalah hasil penanganan pandemi yang selama lebih dari setahun ini tidak berhasil. Dia mengajak masyarakat untuk mendorong pemerintah agar lebih bertanggung jawab dalam memenuhi hak-hak warga negara terutama hak atas kesehatan masyarakat yang dijamin konstitusi.

Tags:

Berita Terkait