8 Permasalahan Perempuan dan Anak Berhadapan dengan Hukum
Berita

8 Permasalahan Perempuan dan Anak Berhadapan dengan Hukum

Mulai belum optimalnya implementasi pidana tambahan dalam UU 23/2004, aparat penegak hukum belum memahami konsep relasi kuasa, hingga kesulitan menghadirkan alat bukti dan menghadirkan korban di persidangan. Diharapkan, nantinya banyak jaksa yang memiliki perspektif terhadap perempuan dan anak berhadapan dengan hukum yang menjadi korban kekerasan.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 6 Menit
Webinar bertajuk 'Peluncuran Pedoman Kejaksaan No.1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana', Senin (8/3/2021). Foto: RFQ
Webinar bertajuk 'Peluncuran Pedoman Kejaksaan No.1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana', Senin (8/3/2021). Foto: RFQ

Tindak pidana kekerasan terhadap perempuan dan anak kerap merugikan secara fisik dan psikis. Bahkan perempuan dan anak yang menjadi korban malah makin terpojokan ketika berhadapan dengan hukum. Untuk itu, terbitnya Pedoman Kejaksaan No.1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana, bisa menjadi angin segar bagi penegakan hukum, khususnya bagi saksi dan korban dalam perkara perempuan dan anak berhadapan dengan hukum.

Peneliti Indonesia Judicial Research Society (IJRS) Bestha Inatsan Ashilla mengatakan perempuan memiliki kecenderungan menjadi korban tindak pidana dibandingkan dengan pria. Dia mencontohkan 70 persen korban perdagangan orang di Indonesia adalah perempuan dan anak. Berdasarkan data Komisi Nasional (Komnas) Perempuan periode 2017 pun, sedikitnya 35 perempuan menjadi korban kekerasan seksual setiap hari dengan kecenderungan usia korban yang belia.

Dia menilai dalam praktik penegakan hukum, perempuan yang berhadapan dengan hukum kerap menemui beragam persoalan. Persoalan tersebut malah menambah beban penderitaan ketika menjalani proses hukum. Setidaknya terdapat delapan persoalan perempuan berhadapan dengan hukum. (Baca Juga: 3 Alasan Terbitnya Pedoman Kejaksaan Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak)

  1. Belum optimalnya implementasi pidana tambahan dalam UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Pelaku kerapkali orang yang dekat atau dikenal korban. Merujuk data Komisi Nasional (Komnas) Perempuan periode 2020, ranah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), didominasi kekerasan fisik sebesar 43 persen. Kemudian kekerasan seksual sebesar 25 persen, psikis 19 persen. Sedangkan hasil survei IJSR dan Infid periode 2020 ditemukan kekerasan terhadap istri sebesar 59 persen. Sementara kekerasan terhadap anak perempuan sebesar 21 persen. Selain itu, mayoritas responden mengalami kekerasan seksual di tempat privat. Seperti di rumah sebesar 34 persen, kantor 10,8 persen, sekolah 20 persen, dan media sosial sebesar 12,1 persen.

Dia menerangkan, UU 23/2004 mengatur tentang pidana tambahan yakni berupa program konseling bagi pelaku dan pembatasan jarak. Namun praktiknya oleh penegak hukum sulit implementasinya karena belum ada peraturan turunan, fasilitas/ sarana dan prasarana. “Serta tidak adanya lembaga yang diberi amanat secara khusus untuk menjadi penyedia layanan,” ujar Bestha Inatsan Ashilla dalam sebuah webinar bertajuk “Peluncuran Pedoman Kejaksaan No.1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana”, Senin (8/3/2021).

Tapi, dalam Pedoman Kejaksaan 1/2021 terdapat solusi dalam mengimplementasikan UU 23/2004. Selain pidana pokok tambahan, penuntut umum dalam rekuisiotornya dapat meminta hakim agar menjatuhkan pidana tambahan yakni berupa pembatasan gerak pelaku untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu maupun pembatasan hak-hak tertentu. Kemudian program konseling di bawah pengawasan rumah sakit, klinik, kelompok konselor, atau yang mempunyai keahlian memberikan konseling.

Tags:

Berita Terkait