8 Permasalahan Perempuan dan Anak Berhadapan dengan Hukum
Berita

8 Permasalahan Perempuan dan Anak Berhadapan dengan Hukum

Mulai belum optimalnya implementasi pidana tambahan dalam UU 23/2004, aparat penegak hukum belum memahami konsep relasi kuasa, hingga kesulitan menghadirkan alat bukti dan menghadirkan korban di persidangan. Diharapkan, nantinya banyak jaksa yang memiliki perspektif terhadap perempuan dan anak berhadapan dengan hukum yang menjadi korban kekerasan.

Rofiq Hidayat
Bacaan 6 Menit

Kemudian, ketiadaan ahli seperti psikolog dan visum et psikiatrikum yang dihadirkan dalam persidangan untuk menilai kondisi korban. Padahal, keberadaan ahli dibutuhkan dalam hal menjelaskan dampak psikologis (visum et psikiatrikum). Mekanisme pemeriksaan tersebut merujuk pada Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 77 tahun 2015 tentang Pedoman Pemeriksaan Kesehatan Jiwa Untuk Kepentingan Penegakan Hukum. Selain itu, belum semua dakwaan dan tuntutan memuat analisis sosial, penilaian/assessment perempuan, dan anak pelaku.

  1. Belum semua pemberi bantuan hukum (PBH) memberi pendampingan terhadap korban.  

Aparat penegak hukum tidak mengakui atau tidak mengizinkan pendamping korban mendampingi selama proses hukum. Padahal pemberian pendampingan terhadap korban telah diatur gamblang dalam Pasal 10 huruf d UU 23/2004 yang menyebutkan, “Korban berhak mendapatkan: d. pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Begitu pula dalam UU No.31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban; UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang; serta Perma No.3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.

  1. Korban tidak melaporkan perkara ke jalur hukum.

Menurut Bestha, sebanyak 61.7% masyarakat Indonesia cenderung menggunakan mekanisme informal dalam menyelesaikan perkara. Seperti aparat pemerintah setempat, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat. Sementara 32.1 persen menggunakan mekanisme formal. Seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan.

Selanjutnya 39.4 persen, masyarakat yang memiliki permasalahan hukum, tidak melakukan upaya apapun menyelesaikan permasalahan hukumnya. Setidaknya terdapat alasan menempuh mekanisme formal dianggap bakal membuat permasalahan semakin rumit sebesar 42%. “Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap mekanisme penyelesaian hukum secara formal masih rendah,” kata dia.

  1. Pemidanaan masih fokus pada pemenjaraan pelaku.

Dia menilai paradigma penegakan hukum dalam perkara kekerasan terhadap perempuan dan anak masih berorientasi punitive dan retributive. Alhasil, perlunya pendekatan secara restorative justice terutama terkait pemulihan korban. Ironisnya, belum semua dakwaan dan tuntutan memuat penilaian/assessment kerugianyang dialami korban. Untuk itu, perlunya jaksa untuk mencantumkan penilaian atas kerugian korban dan ditindaklajuti dengan dicantumkan dalam dakwaan dan tuntutan.

  1. Kesulitan menghadirkan alat bukti dan menghadirkan korban di persidangan.

Pembuktian kasus kekerasan terhadap perempuan acapkali terhambat. Penyebabnya, akibat minimnya saksi dan alat bukti. Keengganan saksi memberi keterangan akibat adanya ancaman keselamatan maupun trauma. Nah korban kerapkali masih diperiksa secara bersamaan dengan pelakku atau terdakwa.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait