8 Permasalahan Perempuan dan Anak Berhadapan dengan Hukum
Berita

8 Permasalahan Perempuan dan Anak Berhadapan dengan Hukum

Mulai belum optimalnya implementasi pidana tambahan dalam UU 23/2004, aparat penegak hukum belum memahami konsep relasi kuasa, hingga kesulitan menghadirkan alat bukti dan menghadirkan korban di persidangan. Diharapkan, nantinya banyak jaksa yang memiliki perspektif terhadap perempuan dan anak berhadapan dengan hukum yang menjadi korban kekerasan.

Rofiq Hidayat
Bacaan 6 Menit

Selanjutnya, penuntut umum mencantumkan tuntutan agar hakim menghukum terdakwa melaksanakan pidana tambahann konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu. Bila dokumen asesmen pemeriksaan perilaku pelaku (criminal profiling) memberi rujukan untuk pelaksanaan pidana tambahan konseling di bawah lembaga tertentu.

  1. Aparat penegak hukum belum memahami konsep relasi kuasa.

Relasi yang bersifat hierarkis, ketidaksetaraan dan/atau ketergantungan status sosial, budaya, pengetahuan/pendidikan, dan/atau ekonomi yang menimbulkan kekuasaan pada satu pihak terhadap pihak lainnya. Dalam hal relasi antar gender inilah berakibat merugikan pihak yang memiliki posisi lebih rendah. Misalnya, ayah dan anak, guru dan murid, kepala sekolah dan guru, pembatu rumah tangga dengan majikan, pegawai dengan pimpinan.

Relasi kuasa itulah membuat korban tidak bisa melawan/menolak karena kekuasaan yang ada pada seseorang. Menurutnya, hasil temuan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI FHUI) periode 2016 menunjukan kekerasan seksual terjadi tak hanya adanya ancaman kekerasan, tapi juga disebabkan adanya bujuk rayu, daya, tipu muslihat, membuat tidak berdaya psikis. Seperti diberi/dijanjikan uang, menjanjikan posisi/jabatan, menjanjikan ilmu, kesembuhan, diancam akan memutus relasi, mengancam memberhentikan dukungan finansial, menggunakan alkohol.

Definisi perkosaan Pasal 285 KUHP mensyaratkan adanya kekerasan dan ancaman kekerasan. Solusi terkait relasi kuasa dalam Pedoman Kejaksaan 1/2021, pelaku kejahatan cabul atau persetubuhan dilakukan tanpa adan paksaan kekerasan dan ancaman kekerasan, tapi dilakukan dengan memanfaatkan kerentanan posisi perempuan dan anak atau terdapat relasi kuasa, sehingga pelaku dapat dituntut pidana menggunakan Pasal 294 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal 7 tahun penjara.

  1. Adanya streotip, victim blaming dan reviktimisasi.

Menurutnya, streotip merupakan perempuan baik yang tak mungkin menjadi korban pelecehan. Sebaliknya perempuan yang keluar malam bukanlah perempuan baik-baik. Perempuan dianggap berperan terhadap terjadinya tindak pidana. Sedangkan victim blaming merupakan korban disalahkan ketika perempuan tak melakukan perlawanan dalam kasus kekerasan seksual dianggap memberikan persetujuan. Kemudian perempuan kerap disalahkan akibat menggunakan pakaian terbuka dan keluar malam. Termasuk meragukan kesaksian korban lantaran memiliki hubungan dengan pelaku.

“Adanya persepsi perempuan menikmati atau turut serta menjadi penyebab terjadinya tidak pidana,” ujarnya.

  1. Aparat penegak hukum belum memberikan pertimbangan mengenai dampak psikis.

Dalam praktiknya, pelaku memang diganjar hukuman penjara. Namun, kata Bestha, aparat penegak hukum belum mempertimbangkan dampak fisik dan psikis yang dialami perempuan korban, pemberian ganti rugi, dan proses pemulihan yang terpadu.

Tags:

Berita Terkait