9 Alasan Pakar HTN dan HAN Tolak RUU MK
Terbaru

9 Alasan Pakar HTN dan HAN Tolak RUU MK

Karena merusak bangunan negara hukum, demokrasi, dan mengancam independensi MK. DI masa transisi pemerintahan, seharusnya pemerintah dan DPR tidak mengesahkan RUU krusial bagi kekuasaan kehakiman.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FHUB), Prof Aan Eko Widiarto. Foto: RES
Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FHUB), Prof Aan Eko Widiarto. Foto: RES

Kalangan akademisi kembali melontarkan kritik keras pemerintah dan DPR. Akademisi Hukum Tata Negara (HTN) dan Hukum Administrasi Negara (HAN) yang tergabung dalam Constitutional and Administrative Law Society (CALS) menolak Rancangan Perubahan (RUU) Keempat UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK). Pemerintah dan DPR menyetujui pada pengambilan keputusan tingkat I untuk dibawa ke rapat paripurna.

Anggota CALS dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB), Prof Aan Eko Widiarto, mengatakan langkah tersebut merupakan autocratic legalism yang merusak bangunan negara hukum, demokrasi, dan mengancam independensi MK. Pada masa transisi pemerintahan atau disebut juga dengan istilah lame duck (bebek lumpuh) DPR dan Presiden seharusnya tidak melakukan pembahasan dan mengesahkan RUU yang krusial bagi kekuasaan kehakiman.

“Rancangan Perubahan Keempat UU MK mengandung masalah prosedural dan masalah materiil yang berbahaya,” ujarnya dikonfirmasi, Jumat (17/05/2024).

Sedikitnya ada 9 alasan yang membuat CALS menolak RUU. Sembilan alasan itu terdiri dari 5 persoalan prosedural dan 4 substansi. Masalah prosedural pertama, perubahan terhadap UU MK kerap bersifat reaksioner, tidak melalui perencanaan yang matang. Perencanaan Perubahan Keempat UU MK tidak terdaftar dalam daftar panjang Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2020-2024 dan maupun Prioritas 2024 ataupun dalam daftar kumulatif terbuka.

Baca juga:

Kedua, pembahasan pada pembicaraan tingkat I dilakukan secara senyap, tertutup, dan tergesa-gesa. Bahkan ada  fraksi yang tidak dilibatkan yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Sebagian anggota Komisi III DPR juga tidak mengetahui ada pembahasan Perubahan Keempat UU MK pada pembicaraan tingkat I.

Ketiga, DPR dan Presiden mengabaikan partisipasi yang bermakna (meaningful participation). Sebab kanal partisipasi publik ditutup dan dokumen perancangan seperti RUU dan naskah akademik tak bisa diakses secara formal oleh publik. Keempat, pembahasan memanfaatkan masa lame duck (bebek lumpuh) atau masa transisi menuju pemerintahan periode baru untuk segera mengesahkan Perubahan Keempat UU MK.

Tags:

Berita Terkait