Abdul Gani Abdullah: Naskah Akademis Tidak Mengikat Namun Tetap Perlu
Utama

Abdul Gani Abdullah: Naskah Akademis Tidak Mengikat Namun Tetap Perlu

Selama ini sepak terjang Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) memang sayup-sayup terdengar. Tak banyak yang peduli terhadap kiprah lembaga yang sebenarnya memiliki fungsi strategis dalam penyusunan sebuah undang-undang.

Gie
Bacaan 2 Menit
Abdul Gani Abdullah: Naskah Akademis Tidak Mengikat Namun Tetap Perlu
Hukumonline

 

Berikut petikan wawancara hukumonline dengan Abdul Gani (30/5):

 

Bisa anda jelaskan peranan strategis BPHN saat ini?

BPHN adalah badan dibawah Departemen Hukum dan HAM yang mempunyai peran strategis dalam hal pembinaan hukum nasional. Pembinaan itu berarti pembinaan sistem hukum nasional yang meliputi materi hukumnya berkaitan dengan Program Legislasi Nasional kemudian penegakan hukumnya itu dalam hal proses penegakan hukum dan melihat apakah hukum itu bisa mengakomodir dan menumbuhkan kesadaran hukum terutama hukum yang hidup dalam masyarakat terutama dalam rangkaian hukum positif. Kemudian BPHN juga berperan untuk membina budaya hukum agar di dalam masyarakat timbul budaya hukum dari kesadaran masyarakat itu sendiri.

 

Jadi hal-hal tersebut menjadi wilayah yang dilakukan pembinaan hukum nasional. Untuk hal yang pertama, BPHN ikut serta dalam proses perencanaan hukum bersama Badan Legislasi DPR. Kemudian BPHN juga melihat proses penggunaan hukum yang akan berujung pada perlunya amandemen suatu UU sehingga bisa dimasukkan dalam proses legislasi nasional. Kemudian juga memberi sosialisasi hukum dan penyuluhan kepada masyarakat yang memang sudah berjalan dan melaksanakan hukum. Tanpa budaya hukum proses penegakannya nggak akan bagus.

 

BPHN juga mempunyai pusat penelitian dan pengembangan hukum baik hukum tertulis maupun tidak tertulis untuk melihat sejauh mana hukum itu masih eksis atau tidak. Ya, ada hukum positif tertulis maupun tidak tertulis seperti hukum Islam dan adat dan kemudian melihat bagaimana pelaksanaan yurisprudensi. Sudah itu ada pusat perencanaan hukum yang mengurusi Prolegnas di lingkungan pemerintah dimana dalam UU No.10/2004 Depkum HAM sebagai koordinator Prolegnas di pemerintah, sementara Badan Legislasi adalah koordinator di DPR.

 

Dalam penyusunan sebuah UU, peranan BPHN kerap dikaitkan dengan penyusunan naskah akademis, apakah memang seperti itu?

Sebuah RUU yang dibuat perlu didahului dengan naskah akademis dimana dalam naskah akademis dimuat mengenai masalah filosofis, sosial dan yuridisnya, kemudian isi dan batas serta wilayah pengaturannya. Sehingga diketahui betul mengapa suatu RUU harus dikeluarkan. Naskah akademis ini dibuat oleh para pakar atau setidaknya para peneliti yang meneliti latar belakang mengapa suatu hal diatur dalam UU. Disini (BPHN-red) terdapat pejabat fungsional yang melakukan penelitian itu.

 

Apakah pihak luar ikut dalam penyusunan naskah akademis di BPHN?

Tidak dari pihak luar, tetapi tetap melibatkan pakar-pakar dari pihak luar yang memberikan masukan teoritik untuk naskah akademis itu sendiri. Dimana yang diundang tergantung dari keahliannya.

 

Sejauh anda menjabat sebagai Kepala BPHN apa yang menjadi kendala?

Kendalanya sebenarnya tidak ada karena persoalan disini adalah semi akademis. Saya yang latar belakang habitatnya adalah akademisi tidak begitu menemui banyak hambatan. Ya saya biasa bertemu dengan para peneliti, profesor, guru besar. Jadi

tidak ada masalah.

 

Berkaca dari pengalaman sebelumnya fungsi naskah akademis itu sendiri tidak jelas. Banyak UU lahir tanpa naskah akademis, bagaimana anda memandang hal ini?

Naskah Akademis ini berusaha mengarahkan penyusunan suatu RUU berdasarkan hasil kajian akademis tentang persoalan filosofis, yuridis, sosiologis dan juga persoalan psikopolitik masyarakat. Psikopolitik ini diangkat karena inilah yang akan memberikan akseptasi terhadap suatu RUU yang dikeluarkan dan juga resistensi terhadap suatu pasal atau rumusan hukum. Contohnya seperti RUU KUHP, ada resistensi masyarakat seperti kata wartawan bahwa RUU KUHP harusnya tidak buat untuk memperkarakan karya jurnalistik. Itu kan resistensi. Nah itu yang perlu dikaji supaya tidak perlu ada resistensi tetapi justru akseptasi.

 

Sudah itu dalam pembahasan DPR banyak persoalan yang kadang tidak ter-cover dalam naskah akademis. Itu memang ada karena muncul sendiri dalam proses pembahasan. Nah inilah yang dikatakan bisa keluar dari naskah akademis dan memang bisa terjadi. Dan juga pembahasan di DPR adalah proses politik dimana proses tersebut kadang-kadang tidak begitu memperdulikan garis-garis atau koridor yang dibuat oleh naskah akademik. Karena naskah akademis bukan hal yang mengikat bagi mereka untuk berpatokan pada itu (naskah akademis, red). Sehingga ada kesan seperti itu.

 

Menurut anda sendiri seberapa pentingnya sebuah naskah akademis?
Dalam UU No.10/2004 tidak disebutkan secara tegas disebutkan bahwa setiap RUU harus dibuat naskah akademisnya. Tetapi diperlukan naskah akademis untuk memperjelas posisi RUU itu dalam sistem hukum nasional maupun sesuai tidaknya dengan kehidupan masyarakat. Apakah kebutuhan masyarakat, penyelenggara negara atau bagaimana. Sekalipun demikian ada juga yang tidak gunakan naskah akademis terlebih dahulu. Seperti yang dibuat oleh inisiatif DPR itu kelihatannya tidak perlu naskah akademis. Tetapi sekarang ini mereka perlu naskah akademis. Sehingga Baleg DPR mengharapkan ada kerjasama dengan BPHN. Sudah ada pembicaraan mengenai itu dan mengarah pentingnya suatu naskah akademis sekalipun ada UU yang tidak mempunyai naskah akademis. Akhirnya punya persoalan-persoalan seperti judicial review. Naskah akademis disini dibutuhkan untuk mem-backup keterangan pemerintah.

 

Soal kerjasama dengan Baleg apa tidak overlapping mengingat kedudukan BPHN sebenarnya di bawah pemerintah?

Itu betul, tapi dalam hal penyiapan konsep dan naskah akademik boleh saja. Mengingat kita mempunyai banyak naskah akademik. Jadi kerjasama ini tidak terlalu formil tetapi kita hanya bagi-bagi tugas saja.

 

Lalu sejauh mana menurut anda tentang pentingnya partisipasi masyarakat dalam penyusunan undang-undang?

Menurut pendapat saya partisipasi masyarakat perlu sekali. Itulah yang menjadi sebab mengapa perlu sekali dalam UU 10/2004 ada ketentuan yg menyatakan masyarakat mempunyai hak untuk menyampaikan pendapat atau usul dalam pembentukan UU atau Perda baik lisan maupun tertulis. Baik pemerintah maupun DPR harus melibatkan masyarakat. DPR caranya dengan Rapat Dengar Pendapat Umum. Begitu juga dengan pemerintah. Misalnya saja seperti penyusunan Prolegnas 2006 kemarin waktu penyusunan Prolegnas yang dilakukan di Jogjakarta, itu LSM diundang semua untuk ikut serta dalam penyusunan UU. Itu semua melibatkan masyarakat. Tidak ada pilihan masyarakat tertentu, siapa saja boleh walaupun tidak diundang. Sampai ada yang bilang kami sudah ikut serta tetapi usul kami tidak terima. Persoalan ini adalah persoalan politik. Mereka menyampaikan usulan namun tidak menjadi hal yang mengikat bagi DPR. Kalau relevan dipakai kalau tidak bagaimana.

 

Bagi Abdul Gani, membahas UU di DPR adalah pengalaman yang mengasyikkan. Tugas membahas RUU di DPR  Saya bisa enjoy itu. Karena proses pembahasan di DPR yang menginginkan perlunya wawasan yang luas, teoritik, sosiologis. Ketika kita memikirkan sesuatu kita harus memikirkan apa implikasi sosial, finansial, politik. Dimana implikasi ini bisa terjadi tahun depan, tahun depannya lagi hingga 10 tahun kedepan.

 

Enaknya disitu. Berbagi ilmu dengan DPR dengan berbagai cara yang berbeda. Walaupun banyak anggota dewan yang berkata keras, namun saya harus tetap lunak. Kita tidak bisa melawan yang keras dengan yang keras juga. Saya anggap sesuatu sebagai fenomena yang saya pelajari. Namun yang saya pelajari berdasarkan metodologi. Jadi saya melihat sesuatu dari kacamata metodologi. Berarti hukum itu menyelesaikan interaksi konflik. Ketika bertemu dua stelsel hukum saya mencoba menjembatani.

 

Sebagai mantan Dirjen Perundang-undangan menurut anda apakah yang menjadi kendala dalam penyusunan sebuah UU? Apakah anggaran, waktu yang terbatas, atau sikap anggota dewan yang tidak kooperatif?

Kendala utama saya lihat bukan persoalan anggaran. Ada atau tidaknya anggaran pembahasan DPR harus tetap berjalan. Sesuai fungsi masing-masing, dalam konteks ini tidak ada persoalan anggaran. Namun mungkin yang jadi persoalan adalah masalah waktu. Apakah waktu itu cukup untuk menghasilkan suatu RUU yang baik dan berkualitas. Nah, melihat hal ini perlu ada pengaturan waktu untuk proses pembahasan. Umpamanya untuk satu hari berapa sesi pembahasan. Yang terjadi saat ini adalah sehari penuh kadang sampai jam 2 atau jam 4 pagi masih ada pembahasan. Kalau waktunya panjang, kan tidak harus sampai malam. Namun yang menjadi masalah adalah waktu di DPR juga diatur dengan tata tertib berapa waktu yang digunakan untuk membahas suatu RUU karena ada masa resesnya dan lainnya.

 

Masih sebagai mantan dirjen Per-UU an, Bagaimana pendapat anda tentang isu money politics dalam pembuatan UU?

Saya tidak melihat ada money politics, saya sendiri waktu menjabat tidak pernah membawa setumpuk atau sekoper uang untuk dibagikan kepada DPR. Malah saya pikir ini sidang tiap hari buat makan ada atau tidak. Akhirnya ya makan di kantin.

 

Intervensi dari luar?

Kalau mengambil contoh dari pembahasan UU KDRT (Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga) tidak ada intervensi itu. Paling-paling dari organisasi perempuan yang mendesak agar UU itu segala diselesaikan. Kemudian UU lain seperti UU Batam (Kawasan Perdagangan Bebas, red) tidak ada itu. Selama ini tidak tidak ada yang datang pada saya untuk intervensi soal UU. Tetapi saya tidak tahu bagaimana di DPR. Itu kan urusannya lain. Mengenai kompromi namanya di DPR adalah proses politik, nah suatu proses sulit untuk mendapatkan suatu kesepakatan bulat. Bulat itu seperti ini (ujarnya sambil mengilustrasikan lewat gambar). Namun yang disini bentuknya lonjong. Tentu dari yang lonjong inikan ada bagian yang tidak ada. Maka bagian tersebutlah yang dikatakan tidak setuju. Contoh saja calon Pilkada, dalam RUU pemerintah mengajukan calon independen boleh masuk. Namun di DPR tidak setuju, dimana untuk calon Pilkada harus masuk dari koridor partai politik. Itulah yang terjadi sekarang, contoh kesepakatan yang tidak bulat. Pemerintah ya harus setuju.

 

Melihat kondisi BPHN saat ini, apakah ada rencana untuk merevitalisasi peran BPHN?

Sebenarnya tidak ada rencana untuk proses revitalisasi. Namun hanya mengaktualisasikan yang ada saja. Bagaimana seluruh Fakultas Hukum merasa butuh kepada BPHN dan serasa memiliki BPHN itu sendiri.

 

Fungsi BPHN salah satunya adalah mengembangkan sistem jaringan hukum, apakah  ini sudah dijalankan?

Kalau Pusat Jaringan Hukum sudah ada. Itu dibentuk dengan Keputusan Presiden. Seluruh biro-biro hukum di kantor Gubernur, kantor bupati sudah bisa akses. Karena sudah termasuk anggota jaringan. Ini sudah dibuat sejak dua tiga tahun lalu.

Orang lebih mengenal lembaga yang satu ini sebagai penyusun naskah akademis sebagai pelengkap sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU). Fungsi lembaga ini sebenarnya tak hanya itu. Sebab, mereka juga berfungsi membina dan mengembangkan sistem jaringan dokumentasi hukum, informasi hukum dan perpustakaan hukum.

 

Kini, lembaga yang telah berusia 47 tahun ini dinakhodai oleh Prof. Abdul Gani Abdullah. Dunia menyusun dan membahas RUU pastilah tak asing bagi Abdul Gani mengingat ia sebelumnya empat tahun menjabat sebagai Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Depkum HAM.

 

Dalam sebuah perbincangan dengan hukumonline di kantornya di daerah Cawang, Jakarta Timur, ia memaparkan pentingnya naskah akademis dan partisipasi masyarakat dalam sebuah penyusunan RUU. Bahkan, kata dia, kalau selama ini BPHN hanya mem-backup RUU yang disusun pemerintah, ada kemungkinan Badan Legislasi DPR juga akan melibatkan peranan BPHN untuk menyempurnakan RUU inisiatif DPR.

 

Pria kelahiran Bima, NTB, 17 Agustus 1946 silam yang punya kebiasaan datang ke kantor jam 7 pagi ini bercerita panjang lebar mengenai pengalamannya membahas RUU sebelum dia diangkat sebagai Kepala BPHN bulan Maret silam. Kalau masyarakat awam memandang proses pembahasan RUU adalah sesuatu yang rumit, bertele-tele, dan bahkan berbau money poltics, ayah empat anak yang punya hobi senam dan berjalan kaki diatas kerikil ini punya pandangan lain.

 

Saya merasa enjoy dan tidak merasa berat. Walaupun memakan waktu. Lebih asyik lagi soal perdebatannya, tuturnya.

Tags: