Ada Beragam Definisi dan Modus Mafia Tanah, Simak Penjelasannya!
Utama

Ada Beragam Definisi dan Modus Mafia Tanah, Simak Penjelasannya!

Mafia Tanah adalah kelompok yang terstruktur dan terorganisir. Melibatkan banyak aktor dan pembagian kerja secara sistematis.

Ady Thea DA
Bacaan 6 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Dalam setahun terakhir, istilah mafia tanah menjadi frasa yang populer menjadi perbincangan di masyarakat. Seiring munculnya banyak kasus sengketa tanah di Indonesia. Salah satunya, kasus sengketa tanah yang dialami artis Nirina Zubir menarik perhatian publik. Aset sekitar Rp17 miliar milik ibu Nirina, Cut Indria Marzuki raib telah berpindah tangan atau dirampas pihak lain diduga dilakukan mantan asisten rumah tangganya yang melibatkan banyak pihak.         

Mengutip KBBI daring, definisi mafia adalah perkumpulan rahasia yang bergerak di bidang kejahatan (kriminal). Tanah adalah permukaan bumi yang diberi batas, permukaan bumi yang terbatas yang ditempati suatu bangsa yang diperintah suatu negara atau menjadi daerah negara. Kasus yang melibatkan mafia tanah banyak terjadi di berbagai tempat. Korbannya tidak hanya masyarakat biasa, bahkan pejabat dan mantan pejabat, bahkan lembaga negara.

Guru Besar Hukum Agraria FH Universitas Gadjah Mada, Prof Nurhasan Ismail, mengatakan mafia tanah merupakan kelompok yang terstruktur dan terorganisir. Terstruktur karena kelompok mafia tanah mempunyai struktur organisasi dengan melibatkan banyak aktor dan pembagian kerja yang sistematis dan tersusun setidaknya 3 bagian. Pertama, ada kelompok sponsor yang berfungsi sebagai penyandang dana, upaya mempengaruhi kebijakan, dan mempengaruhi instansi pemerintah di semua lapisan.

Kedua, ada kelompok garda garis depan yang berfungsi sebagai aktor yang berjuang secara legal (warga masyarakat biasa) dan ilegal (preman dan pengamanan swakarsa). Ketiga, ada kelompok profesi yang berwenang terdiri dari advokat, notaris-PPAT, pejabat pemerintah dari pusat, daerah, camat, kepala desa yang berfungsi sebagai pendukung baik legal maupun ilegal.

“Mereka (mafia tanah, red) tidak main-main, kalau kasus mafia tanah ditangani secara biasa, maka sulit untuk ditangani karena terstrukturnya kinerja mafia tanah,” kata Prof Nurhasan Ismail dalam sebuah webinar, Selasa (9/11/2021) lalu. (Baca Juga: KPA Beberkan Penyebab Tumbuh Suburnya Praktik Mafia Tanah)

Mafia tanah sangat terorganisir karena menggunakan berbagai metode kerja. Antara lain keras-ilegal yakni tindakan perebutan tanah dan pendudukan tanah yang menjadi objek sasaran. Konflik dengan menggunakan kekerasan yang berpotensi mengancam nyawa. Ada juga metode kerja halus-ilmiah dan seolah legal. Misalnya, pencarian dokumen kepemilikan tanah; pemalsuan dokumen kepemilikan tanah dengan tampilan hasilnya mendekati. Bahkan, sama dengan aslinya; Proses pendekatan dalam rangka negosiasi dengan pemilik tanah; Pengajuan gugatan dengan logika berpikir yang sistematis dan logis.

Menurut Prof Nurhasan, berbagai metode kerja itu akan melalui 3 fase. Pertama, sengketa atau perkara sebagai tekanan kepada pemilik tanah sebenarnya. Kedua, fase ajakan damai untuk mempercepat mafia tanah mendapat keuntungan. Ketiga, fase menebar pengaruh pada pelaksana hukum dan penegak hukum dalam rangka mengamankan posisinya untuk ditetapkan sebagai pemilik dan semuanya tidak lepas dari permainan uang.

Dosen dan Peneliti Hukum Pidana FH Universitas Jenderal Soedirman, Kuat Puji Prayitno, menyebut mafia adalah perkumpulan rahasia yang bergerak di bidang kejahatan (kriminal) memiliki konotasi negatif sebagai kelompok kriminal. Kerja mafia tanah tergolong rumit, melibatkan konglomerat, pejabat, politisi, aparat penegak hukum, dan pihak lainnya.

Menurut Kuat, dampak yang ditimbulkan dari kejahatan mafia tanah memiliki daya rusak (mengeksploitasi) sumber daya non-fisik, merusak sustainable development, merusak kualitas kehidupan, merusak kepercayaan dan respek masyarakat. “Mafia tanah itu bahayanya sama seperti korupsi,” ujarnya.

Modus yang digunakan mafia tanah antara lain menggunakan surat hak-hak tanah yang dipalsukan, pemalsuan warkah, pemberian keterangan palsu, pemalsuan surat, jual beli fiktif, penipuan atau penggelapan, sewa menyewa, menggugat kepemilikan tanah dan menguasai tanah dengan cara ilegal. Kuat melihat instrumen hukum pidana bisa digunakan untuk menjerat mafia tanah misalnya delik pemalsuan, penggelapan dan penipuan serta penyertaan dan pembantuan seperti diatur Pasal 263, 266, 372, dan 378, 55 serta Pasal 56 KUHP.

Ada oknum BPN

Dalam acara Instagram Hukumonline Headline Talks bertajuk “Oknum Berulah, Mafia Tanah Bikin Resah”, Senin (29/11/2021) lalu, Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Surya Tjandra, mengakui masih ada oknum dalam Kementerian ATR/BPN yang terlibat dalam kasus mafia tanah. Hal ini terlihat dari kasus penyalahgunaan wewenang sertifikat tanah yang dihadapi aktris Nirina Zubir beberapa waktu lalu. Kasus ini tidak hanya menyeret oknum notaris dan PPAT, namun juga beberapa oknum di Kementerian ATR/BPN. 

Kasus yang mencuat mengenai mafia tanah membuat Kementerian ATR/BPN kembali membuka kasus-kasus mengenai mafia tanah yang terjadi sejak tahun 2019. Kementerian ATR/BPN sudah mengadakan MoU dengan kepolisian dan pada tahun 2020 dan MoU dengan Kejaksaan. “Hal ini adalah bagian dari strategi untuk membersihkan dan mengatasi kejahatan terkait pertanahan,” ujar Surya. 

Dirjen Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan Kementerian ATR/BPN, R Bagus Agus Widjayanto, mencatat modus paling banyak dilakukan dalam kejahatan di bidang pertanahan yakni pemalsuan dokumen (66 persen), penggelapan dan penipuan (16 persen), dan okupasi ilegal (11 persen). Kewenangan ATR/BPN dalam menyelesaikan sengketa pertanahan terutama penyidikan kejahatan di bidang pertanahan sifatnya sangat terbatas. Karena itu ATR/BPN membutuhkan lembaga lain untuk memberantas mafia tanah.

“Dalam menangani kasus pidana terkait mafia tanah, ATR/BPN bekerja sama dengan Polri, Kejaksaan, Komisi Yudisial, dan Mahkamah Agung,” ungkap Agus.

Menurut Agus, modus kejahatan yang dilakukan mafia tanah bentuknya beragam seperti pemalsuan tanda hak atas tanah. Dengan modal dokumen palsu itu, mafia tanah mengklaim kepemilikan bidang tanah tertentu. Di wilayah Banten dan Bekasi ditemukan ada pelaku yang memproduksi girik baru dengan stempel asli dan pelakunya merupakan mantan pegawai pajak. Bahkan mafia tanah tak segan menggugat pidana pemilik tanah asli jika klaim mereka atas tanah dipersoalkan.

Ada juga modus mafia tanah untuk mencari legalitas di pengadilan. Agus memaparkan mafia tanah menggunakan pengadilan untuk memutus agar mereka legal memiliki bidang tanah. Caranya dengan berpura-pura mengajukan gugatan perdata. Padahal pihak penggugat dan tergugat adalah kelompok mafia tanah itu sendiri.

Mereka menggunakan dokumen palsu, misalnya girik atau eigendom verponding. Dalam tuntutannya penggugat meminta agar ditetapkan sebagai pemilik yang sah atas tanah yang diklaim tersebut. Jika amar putusan mengabulkan gugatan maka akan digunakan untuk mengeksekusi. “Putusan itu digunakan untuk mengajukan permohonan hak atas tanah,” bebernya.

Modusnya berulang

Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, mengatakan praktik mafia tanah dalam konflik agraria antara lain berupa persekongkolan untuk melakukan manipulasi data lapangan, pemalsuan dokumen, ancaman, intimidasi, teror dan kekerasan, hingga penerbitan hak atas tanah secara sepihak dan bersifat tertutup.

Mafia tanah adalah kejahatan yang terorganisir, terstruktur, sistematis dan profesional. Praktik mafia tanah tidak pernah bekerja sendiri, modusnya berulang di banyak kasus. Aktor mafia tanah umumnya mereka yang berpendidikan, berjejaring, dan bekerja dengan skala luas dan terorganisir. Para pelaku bekerja sama demi kelangsungan bisnis dan meraup keuntungan besar.

Mengacu dampak yang ditimbulkan, Dewi membagi mafia tanah menjadi kelas Teri dan kelas Kakap. Kasus mafia tanah kelas Teri dapat dilihat dari 6 indikasi. Pertama, pelaku utama, membuat grand design yang terdiri dari pengusaha dan petinggi pemerintah. Mereka berperan memesan serta memenuhi pesanan tanah untuk mencapai ambisi bisnisnya.

Kedua, pelaku di lapangan yang melibatkan oknum advokat, pemuka agama, pemerintah daerah, pemerintah desa, polisi/TNI, dan preman. Mereka berperan menerbitkan rekomendasi desa yang sesuai kebutuhan pengusaha, memberikan izin lokasi sepihak, memalsukan laporan mengenai kondisi penguasaan tanah, memaksa dengan cara kekerasan agar masyarakat menyerahkan tanahnya.

Ketiga, pelaku di ranah administrasi pertanahan, terdiri dari notaris/PPAT yang mengeluarkan akta tanah, AJB, pelepasan hak palsu, menjamin dan mengesahkan tanda tangan, menetapkan kepastian tanggal pembuatan surat di bawah tangan. Keempat, pelaku di kantor pertanahan, melibatkan pejabat kantor pertanahan, panitia A, B, dan C ATR/BPN yang berperan memalsukan pemeriksaan, penelitian dan pengkajian data fisik maupun data yuridis, serta fisik evaluasi tanah telantar.

Kelima, pelaku di ranah penerbitan hak atas tanah (HGU, HGB, HM, HPL dan HP). Pejabat tinggi kementerian memberikan keputusan yang sebelumnya sudah dipesan oleh pengusaha, meskipun pada prosesnya melawan hukum/illegal, cacat prosedur dan lain sebagainya. Keenam, pelaku di ranah peradilan terdiri dari kepolisian, jaksa, advokat dan hakim yang berperan memenangkan gugatan pengusaha atau mengalahkan gugatan masyarakat, meski mengetahui adanya kecacatan hukum di dalamnya.

Kasus mafia tanah kelas Kakap dampak yang ditimbulkan lebih besar ketimbang mafia kelas Teri. Dewi menjelaskan ada 3 indikasinya. Pertama, pelaku di ranah kebijakan, utamanya adalah pengusaha, elit partai politik, petinggi pemerintahan, organisasi pengusaha, yang berperan bersama-sama mengatur peruntukan, pemanfaatan, pemilikan, dan penguasaan tanah untuk kepentingan bisnis skala besar dan jangka panjang. Melalui penerbitan kebijakan/hukum tanpa melihat kondisi agraria, lingkungan, ekonomi dan sosial di lapangan.

Kedua, pelaku di ranah perampasan tanah meliputi pengusaha/badan hukum yang dibentuk oleh pengusaha bersama rekan-rekannya untuk mendapatkan alokasi tanah. Mereka mengeksploitasi sumber agraria atas nama HGU, izin kehutanan, izin usaha pertambangan, KEK, PSN dan lainnya. Ketiga, pelaku di ranah penegakan hukum, antara lain aparat bersenjata baik polisi dan TNI yang membantu mengamankan tanah-tanah hasil perampasan para pengusaha, memenjarakan masyarakat yang melawan atau menolak perampasan tanah.

Menurutnya, keterlibatan pejabat dari tingkat desa sampai provinsi, dan pemerintah pusat tidak mengejutkan. Selama sistem informasi pertanahan itu belum dibenahi praktik mafia tanah tidak akan lenyap karena kondisi tersebut membuat pengawasan publik dan aparat penegak hukum menjadi sulit.

“Berdasarkan pembagian peran di atas, maka aktor mafia tanah adalah mereka yang memiliki modal, akses, dan kuasa. Dengan memiliki ketiga hal tersebut, mafia tanah dapat memanfaatkan berbagai cara untuk menguasai tanah." 

Tags:

Berita Terkait