Advokat Ini Beberkan 3 Persoalan Koperasi Simpan Pinjam Bermasalah
Utama

Advokat Ini Beberkan 3 Persoalan Koperasi Simpan Pinjam Bermasalah

Seperti masalah di manajemen tingkat pengurus dan pengawas, investasi yang tak terukur, serta literasi anggota koperasi yang minim.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Founding Partner Kantor Hukum Wibhisana & Partners Yudhi Wibhisana. Foto: RES
Founding Partner Kantor Hukum Wibhisana & Partners Yudhi Wibhisana. Foto: RES

Kasus koperasi simpan pinjam (KSP) gagal bayar memunculkan keprihatinan banyak pihak. Kementerian Koperasi dan UKM telah mencatat setidaknya ada 8 koperasi bermasalah. Seperti KSP Indosurya, Koperasi Jasa Berkah Wahana Sentosa, Sejahtera Bersama, Pracico Inti Utama, Pracico Inti Sejahtera, Intidana, Timur Pratama Indonesia, dan Lima Garuda. Khusus Indosurya, proses pidana dan perdata yang telah berjalan ternyata belum sesuai harapan. Sebab, KSP Indosurya belum mampu mengembalikan seluruh dana nasabahnya.

Founding Partner Kantor Hukum Wibhisana & Partners Yudhi Wibhisana, mencatat sedikitnya ada 3 persoalan maraknya koperasi simpan pinjam gagal bayar. Pertama, persoalan manajemen koperasi antara lain terkait pengurus dan pengawas. Kedua, investasi yang tidak terukur dari kegiatan koperasi.

Ketiga, minimnya literasi anggota koperasi yang menganggap uang yang mereka simpan di koperasi sebagai investasi. Padahal uang tersebut bukan investasi karena koperasi bukan lembaga keuangan baik itu bank dan non bank. Uang yang disimpan di koperasi merupakan iuran koperasi yang hasilnya berupa sisa hasil usaha (SHU), bukan uang jasa, bunga, yield atau sebutan lainnya.

“Pengurus dan pengawas memperlakukan koperasi sebagai lembaga keuangan yang rata-rata bunganya 12-14 persen per tahun, itu melebihi rata-rata bunga di lembaga keuangan,” kata Yudhi Wibhisana ketika dihubungi, Minggu (26/2/2023) kemarin.

Baca Juga:

Yudhi berpendapat dengan literasi yang cukup seharusnya dapat dihitung jika bunga yang dijanjikan KSP sebesar 12 persen per tahun berarti KSP butuh biaya untuk operasional seperti komisi marketing dan lainnya yang mencapai 10 persen. Berarti setiap tahun KSP membutuhkan cost of fund yang sangat tinggi sebesar 22 persen.

“Persoalannya itu mis manajemen dan investasi yang tidak terukur mengelabui masyarakat seolah koperasi seperti bank,” tegasnya.

Pria yang juga mantan Wakil Ketua II Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Koperasi Bermasalah Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop dan UKM) ini mengatakan soal dana anggota KSP gagal bayar itu sangat sulit untuk dikembalikan 100 persen. Sebab, yang dilakukan 8 koperasi bermasalah itu bukan menjalankan kegiatan koperasi, tapi berbisnis dengan uang atau ‘money game’.

Dia membandingkan dengan asuransi bank, aset manajemen, dan multifinance yang memiliki ukuran jelas dengan aturan ketat dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Kendati demikian, tidak berarti tanpa masalah, karena terbukti muncul kasus seperti kasus asuransi Wana Artha. Posisi koperasi saat ini lebih rentan, karena pengawasan yang dilakukan Kemenkop dan UKM sifatnya pembinaan. Berbeda dengan OJK dan lembaga keuangan yang memiliki instrumen pengawasan ketat disertai sanksi yang jelas.

“Kementerian Koperasi dan UKM tidak punya perangkat, seperti penyidik pegawai negeri sipil (PPNS),” ujarnya.

Sebagai upaya perbaikan ke depan, pemerintah menggulirkan revisi terhadap Undang-Undang No.17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian. Yudhi mengusulkan beberapa hal untuk revisi tersebut. Antara lain adanya sertifikasi bagi profesi penunjang ekosistem koperasi. Begitu pula batas simpanan anggota koperasi dan lembaga penjaminan koperasi serta lembaga pengawasan.

“Proses revisi UU 17/2012 masih pembahasan di internal pemerintah,” pungkas anggota Kelompok Kerja (Pokja) Revisi UU Perkoperasian Kementerian Koperasi dan UKM itu.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Moh. Mahfud MD mengatakan pemerintah bakal mengusulkan revisi UU 17/2012 pasca putusan bebas kasus penggelapan dana nasabah KSM Indosurya yang diajukan kasasi itu. Keputusan pemerintah mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) bulat setelah melakukan rapat koordinasi dengan sejumlah instansi penegak hukum. Tindak lanjutnya, pemerintah pun bakal membenahi aturan tentang perkoperasian dengan merevisi UU 17/2012.

“Kita memohon pengertian kepada DPR kita akan merevisi UU Koperasi,” ujar Mahfud MD usai menggelar Rapat Koordinasi dengan Menteri Koperasi (Menkop) Usaha Kecil Menengah (UKM), Kejaksaan Agung, dan Mabes Polri sebagaimana disiarkan chanel Youtube Kemenkopolhukam, Jum'at (27/1/2023) kemarin.

Dia menilai ada kelemahan dalam UU 17/2012, khususnya soal pengawasan. Mengacu Pasal 48 UU 17/2012 tidak mengatur pengawasan yang ketat seperti halnya dalam UU No.10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam UU Perkoperasian, aturan yang berlaku koperasi mengawasi dirinya sendiri. Alhasil, pemerintah melalui Kemenkop dan UKM maupun lembaga pengawas lainnya tidak dapat turut terlibat dalam menjalankan fungsi pengawasan secara optimal.

Tags:

Berita Terkait