Advokat Ini Kembali Uji Aturan Pemberhentian Hakim Konstitusi
Terbaru

Advokat Ini Kembali Uji Aturan Pemberhentian Hakim Konstitusi

Permohonan pengujian Perkara No.17/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Advokat Zico Leonard Djagardo sebagai perkara ulang dari Putusan MK No.103/PUU-XX/2022 mengenai penggantian Hakim Konstitusi Aswanto.

Ferinda K Fachri
Bacaan 4 Menit
Zico Leonard Djagardo Simanjuntak saat membacakan permohonan pengujian UU MK di ruang sidang MK, Kamis (16/2/2023). Foto: Humas MK
Zico Leonard Djagardo Simanjuntak saat membacakan permohonan pengujian UU MK di ruang sidang MK, Kamis (16/2/2023). Foto: Humas MK

Undang-Undang No.7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) kembali diuji. Permohonan kembali diajukan oleh Advokat Zico Leonard Djagardo terhadap Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 27A ayat (2) UU MK terkait proses penggantian hakim konstitusi dengan nomor perkara No.17/PUU-XXI/2023.

“Perkara ini sebenarnya merupakan perkara ulang dari putusan 103 (Putusan MK Nomor 103/PUU-XX/2022) tentang penggantian Hakim Konstitusi Aswanto,” ujar Zico di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK) RI sebagaimana dikutip dari laman resmi MK RI, Kamis (16/2/2023).

Zico mengatakan sangat diperlukan independensi hakim konstitusi ketika memutus perkara. Ia merasa hak konstitusionalnya telah dilanggar sewaktu DPR melakukan intervensi terhadap MK saat terjadinya penggantian hakim yang menjadi perwakilannya.  

Baca Juga:

Selain itu, betapa terkejut dirinya ketika menemukan ada perbedaan pengucapan putusan dengan file putusan dan risalah sidang yang telah diunggah MK dalam pengucapan Putusan MK Nomor 103/PUU-XX/2022. Seperti perubahan semula kata 'Dengan demikian' menjadi 'Ke depan'.

“Saya yakin ini adalah suatu kesengajaan yang sangat terang benderang dan bukan sekedar typo, karena makna kata-kata yang diubah sangat signifikan bedanya. Inilah pertama kali dalam sejarah hukum Indonesia, putusan yang diucapkan berbeda dari putusan yang diterima. Tidak pernah terjadi di pengadilan manapun di Indonesia, hanya di Mahkamah Konstitusi,” ungkapnya.

Oleh karenanya, Zico telah membawa kasus ini ke aparat berwenang dan menempuh segala upaya hukum. Mulai dari lingkup pidana, lingkup tata usaha negara, lingkup tata negara dan institsui MK. Upaya lain yang dilakukan ialah memperkarakan ulang perkara ini ke MK melalui pengujian UU MK.  

Advokat ini juga meminta MK mengecualikan Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan M. Guntur Hamzah mengadili dan memutus perkara a quo, serta mengecualikan Panitera Muhidin dalam pengadiministrasian perkara pengujian Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 27A ayat (2) UU MK itu.

Selengkapnya, Pasal 23 ayat (1) UU MK berbunyi, “Hakim konstitusi diberhentikan dengan hormat dengan alasan: a. meninggal dunia; b. mengundurkan diri atas yang diajukan kepada Konstitusi; c. telah berusia 70 (tujuh puluh) tahun; d. dihapus; atau e. sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama 3 (tiga) bulan sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.”

Pasal 23 ayat (2) UU MK berbunyi, “Hakim konstitusi diberhentikan tidak dengan hormat apabila: a. dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara; b. melakukan perbuatan tercela; c. tidak menghadiri persidangan yang menjadi tugas dan kewajibannya selama 5 (lima) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah; d. melanggar sumpah atau janji jabatan; e. dengan sengaja menghambat Mahkamah Konstitusi memberi putusan dalam waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7B ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; f. melanggar larangan rangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17; g. tidak lagi memenuhi syarat sebagai hakim konstitusi; dan/atau h. melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi.”

Selanjutnya Pasal 27A ayat (2) UU MK berbunyi, “Untuk menegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang keanggotannya terdiri atas: a. 1 (satu) orang hakim konstitusi; b. 1 (satu) orang anggota Komisi Yudisial; c. 1 (satu) orang akademisi yang berlatar belakang di bidang hukum; d. dihapus; dan e. dihapus.”

Pada petitumnya, MK diminta menyatakan Pasal 23 ayat (1) UU MK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang dimaknai “termasuk juga ditarik (di-recall) oleh lembaga pengusungnya dengan alasan tidak disukai oleh lembaga pengusungnya karena mematikan produk yang dibuat oleh lembaga pengusungnya.

Kemudian, menyatakan Pasal 23 ayat (2) UU MK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “termasuk juga mengubah substansi dalam putusan yang telah dibacakan dalam sidang yang terbuka untuk umum.”

Tak hanya itu, Zico turut meminta MK untuk menyatakan frasa “Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi” dalam Pasal 27 ayat (2) UU MK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dibentuk selambatnya dalam waktu 1 bulan setelah perkara a quo diputus.

Di samping perihal frasa “1 (satu) orang hakim konstitusi” dalam Pasal 27 ayat (2) UU MK bertentangan dengan UUD 1945 dan berkekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “ 1 (satu) orang mantan hakim konstitusi”, atau menyatakan frasa “1 (satu) orang hakim konstitusi” dalam Pasal 27 ayat (2) UU MK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai bahwa hakim konstitusi yang menjadi anggota Majelis Kehormatan bukanlah hakim konstitusi yang diperkarakan ataupun diduga terlibat dalam hal yang diperkarakan kepada Majelis Kehormatan.

Hakim Konstitusi Suhartoyo memberikan nasihat untuk lebih menjelaskan alasan pembeda antara permohonan yang diajukan dengan Perkara No.103/PUU-XX/2022. Utamanya terkait legal standing terhadap pasal yang dituju merugikan. Hal ini diamini pula oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams. Tak hanya itu, Suhartoyo meminta pula Zico selaku Pemohon agar memperhatikan petitum yang mengajukan permintaan inkonstitusional dengan argumen dan konstruksi yang jelas.

“Terkait dengan provisi yang diajukan oleh Pemohon dengan mengecualikan atas nama-nama tertentu, maka sebelum adanya putusan atas perkara ini diharapkan Pemohon memperhatikan proses hukum yang masih berlangsung dan perlu dipatuhi proseduralnya,” ucap Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh.

Tags:

Berita Terkait