Ahli: Pemanggilan Paksa DPR Mesti Dimaknai Pengawasan terhadap Pemerintah
Berita

Ahli: Pemanggilan Paksa DPR Mesti Dimaknai Pengawasan terhadap Pemerintah

Menanggapi tiga permohonan lain, pemerintah tetap pada pendiriannya sebagaimana yang telah disampaikan dalam Keterangan Presiden empat permohonan sebelumnya.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit

 

“Hal ini bakal menimbulkan inkonsistensi yang mengakibatkan struktur peraturan perundang-undangan itu menjadi berantakan dan jiwa UU ini tidak lagi bisa dimengerti secara tepat oleh para pihak yang dituju. MKD menjadi bingung apa yang harus dilakukan, anggota juga malah kemudian tidak melulu merasa sebagai yang teradu.” (Baca Juga: Majelis Kritisi Argumentasi Pemerintah-DPR dalam Uji UU MD3)

 

Sidang uji materi Pasal 73 ayat (3) dan ayat (4) huruf a dan c, Pasal 122 huruf k, dan Pasal 245 ayat (1) UU MD3 ini diajukan empat pemohon yakni Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK); Partai Solidaritas Indonesia (PSI); Zico Leonard Djagardo Simanjuntak dan Josua Satria Collins; Ketua Umum PB PMII Agus Mulyono Herlambang.

 

Ketiga pasal tersebut mengatur hak DPR memanggil paksa dengan bantuan polisi; melaporkan semua elemen masyarakat yang merendahkan kehormatan DPR; dan hak imunitas ketika ada dugaan tindak pidana di luar tugasnya sebagai anggota DPR yang “menghidupkan” kembali peran Majelis Kehormatan Dewan (MKD) dalam UU MD3 itu.

 

Pada umumnya, para Pemohon mendalilkan pasal-pasal tersebut merupakan bentuk upaya menghadap-hadapkan institusi DPR dengan warga masyarakat selaku pemegang kedaulatan. Hal ini menjadi kontradiktif dengan desain konstitusional DPR yang dihadirkan sebagai instrumen untuk mengontrol perilaku kekuasaan (pemerintahan), bukan mengontrol perilaku rakyatnya.  

 

Pasal 73 ayat (3), Pasal 73 Ayat (4) Huruf a dan Huruf c UU MD3 dinilai membatasi hak warga negara untuk mengajukan atau mengeluarkan pikiran, pendapat serta aspirasinya kepada lembaga legislatif (MPR, DPR, DPRD, DPD). Hal ini sangat bertentangan dengan prinsip kebebasan mengeluarkan pendapat yang dijamin Pasal 28, Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945.

 

Dengan pembatasan tersebut maka warga negara telah kehilangan kesempatan untuk bebas mengeluarkan pikiran atau pendapat, untuk memperjuangkan haknya membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.

 

Dalam kesempatan ini, juga digelar sidang Perkara No. 25/PUU-XVI/2018 yang diajukan Muhammad Hafidz dan Abda Khair Mufti; Perkara No.  26/PUU-XVI/2018  yang diajukan Osmas Mus Guntur, Andreas Joko, Elfriddus Petrus Mega melalui kuasa hukumnya Bernadus Barat Daya; dan Perkara No. 28/PUU-XVI/2018 yang diajukan Soelianto Rusli, Sandra Budiman, Tirtayasa melalui kuasa hukumnya Rinto Wardana.

 

Agenda sidang semula direncanakan untuk mendengarkan keterangan Pemerintah. Namun Pemerintah tetap akan menggunakan keterangan Presiden pada sidang sebelumnya untuk Perkara Nomor 16, 17, 18, 21/PUU-XVI/2018 tersebut. “Pada prinsipnya, Pemerintah tetap pada pendiriannya sebagaimana yang telah disampaikan dalam Keterangan Presiden yang terdahulu,” jelas Purwoko mewakili Pemerintah.

Tags:

Berita Terkait