Ahli: Pengesahan Revisi UU KPK Tidak Sah
Berita

Ahli: Pengesahan Revisi UU KPK Tidak Sah

Karena tidak memenuhi tata cara pembentukan UU.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit

Menurutnya, Putusan MK No. 36/PUU-XV/2017 mengukuhkan KPK sebagai lembaga eksekutif. Karena itu, materi muatan RUU KPK yang masuk dalam prolegnas seharusnya juga terkait penguatan KPK sebagai lembaga eksekutif. “Apabila tidak, maka seharusnya itu bukan termasuk RUU kumulatif terbuka dan tidak sah dalam perencanaan RUU,” lanjutnya.

Dia juga melihat memiliki keganjilan lain yaitu pengundangan dahulu, baru pengesahan yang terletak di bagian penutup. “Pembentukan undang-undang merupakan proses pembuatan undang-undang yang mencakup beberapa tahap, mulai dari tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan dan pengundangan. Namun dalam naskah ini diundangkan dulu, baru disahkan.”

Tak hanya itu, Aan menilai RUU KPK tidak memenuhi syarat dalam pembentukan undang-undang karena tidak disertai naskah akademik. “Hal ini mengakibatkan salah alamat karena tidak mengargumentasikan masalah-masalah dalam RUU KPK yang sedang disusun,” tegas Aan.

Seperti diketahui, pengujian Perubahan UU KPK ada beberapa permohonan. Permohonan pertama diajukan 25 orang yang berprofesi sebagai advokat yang mengajukan uji formil dan materil atas Perubahan UU KPK. Pengujian formil UU No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK dan pengujian materiil terhadap Pasal 21 ayat (1) huruf a UU ini terkait konstitusionalitas keberadaan Dewan Pengawas KPK.

Permohonan kedua, diajukan oleh Gregorius Yonathan Deowikaputra yang berprofesi sebagai pengacara. Dia merasa dirugikan dengan kinerja DPR yang telah dipilih dan diberi mandat menjalankan fungsinya, antara lain fungsi legislasi yang tidak melaksanakan amanah tersebut secara baik, jujur, adil, terbuka, itikad baik, dan bertanggung jawab.  

Gregorius menilai proses pembentukan Perubahan Kedua UU KPK dapat dikatakan telah dilakukan secara tertutup dan sembunyi-sembunyi tanpa melibatkan atau meminta masukan masyarakat luas. Karena itu, dalam petitum permohonannya, pemohon meminta Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan proses pembentukan UU a quo bertentangan dengan UUD 1945 dan oleh karenanya harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Baca Juga: 25 Advokat Perkuat Alasan Uji UU KPK

Sementara permohonan ketiga diajukan oleh Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Fathul Wahid; Abdul Jamil (Dekan Fakultas Hukum UII); Eko Riyadi (Direktur Pusat Studi Hak Asasi Manusia UII); Ari Wibowo (Direktur Pusat Studi Kejahatan Ekonomi FH UII); dan Mahrus Ali (Dosen FH UII). Mereka telah mendaftarkan permohonan uji formil dan materil terhadap Perubahan UU KPK ke MK pada 7 November 2019 lalu.

Tags:

Berita Terkait