Ahli Ekonomi dan Hukum Sebut UU Ketenagalistrikan Bermisi Neoliberalisme
Berita

Ahli Ekonomi dan Hukum Sebut UU Ketenagalistrikan Bermisi Neoliberalisme

Pembangkit tenaga listrik, transmisi dan distribusi dalam pengelolaan bisnis ketenagalistrikan harus dikuasai negara. Negara yang mengendalikan.

ASH
Bacaan 2 Menit
Eks Hakim Konstitusi HS Natabaya yang dihadirkan pihak terkait memberikan keterangan dalam sidang pengujian UU Ketenagalistrikan, Rabu (6/4). Foto: Humas MK
Eks Hakim Konstitusi HS Natabaya yang dihadirkan pihak terkait memberikan keterangan dalam sidang pengujian UU Ketenagalistrikan, Rabu (6/4). Foto: Humas MK
Sidang lanjutan uji materi sejumlah pasal UU No. 30 Tahun 2009  tentang Ketenagalistrikan kembali digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) yang dimohonkan pengurus Serikat Pekerja PT PLN. Agenda sidang kali ini, Pihak Terkait dari PT Persatuan Pegawai Indonesia Power menghadirkan ahli ekonomi politik Salamuddin Daeng dan ahli hukum HAS Natabaya.

Dalam keterangannya, Salamuddin Daeng menjelaskan semangat utama UU Ketenagalistrikan adalah melakukan liberalisasi, privatisasi, dan komersialisasi sektor ketenagalistrikan di Indonesia. UU No. 30 Tahun 2009 ini hanyalah pengulangan dari UU No. 20 Tahun 2002  tentang Ketenagalistrikan yang sebelumnya pernah dibatalkan MK.

“Meskipun menggunakan pilihan bahasa dan kata-kata yang berbeda, namun kedua undang-undang tersebut memiliki substansi yang sama, yakni menjalankan misi neoliberalisme di sektor ketenagalistrikan,” kata Salamuddin di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat, Rabu (6/4) kemarin.

Salamuddin melanjutkan ada tiga tanda misi neoliberalisme dalam UU Ketenagalistrikan. Pertama, UU Ketenagalistrikan mengandung semangat komersialisasi listrik, yakni bisnis ketenagalistrikan dijalankan dengan prinsip usaha yang sehat dan harus menguntungkan. Kedua, UU Ketenagalistrikan mengandung misi liberalisasi. Artinya, penyelenggaraan ketenagalistrikan dapat dilakukan secara terpisah-pisah.

Ketiga, UU Ketenagalistrikan mengandung semangat privatisasi sekaligus penjarahan kekayaan negara oleh oligarki nasional. “Semua pihak dapat melakukan bisnis ketenagalistrikan dalam seluruh rantai yang terpisah-pisah,” kata dia.

Natabaya menjelaskan pengertian Pasal 33 UUD 1945 mengenai cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. “Pengertian ‘dikuasai oleh negara’ sesuai putusan MK tahun 2003 telah memberi satu pedoman tentang dikuasai oleh negara. Dalam hal ini fungsi negara dalam pengurusan, dalam pengaturan, dalam pengelolaan, dalam pengawasan,” kata Natabaya mengingatkan.

Menurut Natabaya pengelolaan ketenagalistrikan oleh negara harus ada pembangkit tenaga listrik, transmisi dan distribusi. “Ini tidak dapat dipisah-pisah. Misalnya, hanya memilih apa yang enak menurut mereka yang penting untung. Mereka hanya ingin membuat pembangkit tenaga listrik, tetapi tidak mau membuat transmisi,” ujar Natabaya.

“Karena itu pembangkit tenaga listrik, transmisi dan distribusi dalam pengelolaan bisnis ketenagalistrikan harus dikuasai negara dalam arti negara yang mengendalikan. Disinilah fungsi negara dalam melakukan pengurusan dan pengaturan bisnis ketenagalistrikan,” tegasnya.

Sebelumnya, Serikat Pekerja PT PLN mempersoalkan Pasal 10 ayat (2), Pasal 16 ayat (1), Pasal 33 ayat (1), Pasal 34 ayat (5), Pasal 56 ayat (2) UU Ketenagalistrikan terkait privatisasi listrik. Pemohon menganggap pasal-pasal itu mengakibatkan hajat hidup orang banyak dapat dikuasai korporasi swasta nasional, multinasional, dan perorangan.Akibatnya, negara tidak memiliki kekuasaaan atas tenaga listrik.

Pasal-pasal itu intinya memuat pengelolaan penyediaan usaha tenaga listrik secara terpisah atau unbundling (pemisahan proses bisnis PLN) dengan menerapkan prinsip usaha yang sehat/memupuk keuntungan usaha, perlakuan tarif tenaga listrik yang berbeda setiap regional/wilayah usaha, dan membuka selebar-lebarnya peran korporasi swasta, multinasional, atau perorangan mengelola dan mengusai tenaga listrik.

Menurutnya, pasal-pasal itu mengakibatkan privatisasi sektor ketenagalistrikan dan tenaga listrik menjadi komoditas yang dapat diperjualbelikan antar pengusaha, antar negara, pelaku usaha dengan konsumen semata-mata memupuk keuntungan usaha yang menyebabkan kerugian terhadap para pemohon. Misalnya, dipastikan terjadi kenaikan harga jual listrik yang berlipat-lipat.

Direksi PLN saat ini tengah melakukan proses unbundling vertical sesuai wilayah masing-masing dan menuju unbundling horizontal per operasi bisnis yang menyerahkan operasi distribusi dan transmisi PLN ke Haleyora Power. Sementara pekerjaan administrasi (back office) kepada PT Icon.

Padahal, pengoperasian ini bukan usaha penunjang, tetapi usaha operasi bisnis inti dari PLN. Hal ini bisa berdampak meningkatnya tarif tenaga listrik secara drastis dan perubahan status perusahaan. Belum lagi, keberadaan SDM PLN dapat diintervensi pemilik modal (pembeli PLN sesuai region) dan PHK massal.

Dalam petitumnya, DPP SP PT PLN meminta Pasal 10 ayat (2), Pasal 16 ayat (1) huruf d, e, Pasal 56 ayat (2), Pasal 33 ayat (1), dan Pasal 34 ayat (5) UU Ketenagalistrikan dibatalkan karena bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 11 ayat (1) UU Ketenagalistrikan dinyatakan inkonstitusional sepanjang frasa “badan usaha swasta, koperasi, dan swadaya masyarakat yang berusaha di bidang penyediaan tenaga listrik”. Pasal 11 ayat (1) inkonstitusional bersyarat sepanjang frasa “badan usaha milik daerah” tidak dimaknai “dilaksanakan bersama PT PLN sebagai BUMN di bidang kelistrikan sebagai perusahaan induk”.
Tags:

Berita Terkait