Ancaman Pidana Pemalsuan Dokumen Jelang Pemilu 2024
Terbaru

Ancaman Pidana Pemalsuan Dokumen Jelang Pemilu 2024

Peserta pemilu yang melakukan pemalsuan dokumen Pemilu berlaku bagi calon presiden, calon wakil presiden, calon legislatif DPR, calon legislatif DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota serta calon anggota DPD.

Willa Wahyuni
Bacaan 3 Menit
Ancaman Pidana Pemalsuan Dokumen Jelang Pemilu 2024
Hukumonline

Jelang pemilihan umum  2024 mendatang, calon presiden dan calon wakil presiden maupun calon anggota legislatif 2024 bisa dikenakan sanksi tahanan penjara apabila sengaja menggunakan dokumen atau surat palsu yang diajukan sebagai persyaratan.

Mengutip Pasal 520  UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyatakan, hukuman itu berlaku bagi Calon Presiden, Calon Wakil Presiden, Calon Legislatif DPR, Calon Legislatif DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota serta Calon Anggota DPD.

Pasal tersebut berbunyi, setiap orang yang sengaja membuat surat atau dokumen palsu dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang memakai, atau setiap orang yang dengan sengaja memakai surat atau dokumen palsu untuk menjadi pasangan calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, untuk menjadi pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan denda paling banyak Rp72 juta.

Tindak pidana berupa pemalsuan suatu surat dapat dijumpai ketentuannya dalam Pasal 263 KUHP yang berbunyi:

1. Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.

2.  Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.

Kemudian, di dalam Pasal 264 KUHP ditegaskan bahwa:

1.  Pemalsuan surat dengan pidana penjara paling lama delapan tahun jika dilakukan terhadap:

1.  Akta-akta otentik.

2. Surat hutang atau sertifikat hutan dari sesuatu negara atau bagiannya ataupun dari suatu lembaga umum.

3. Surat sero atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dari suatu perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai.

4. Talon, tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu surat yang diterangkan dalam 2 dan 3 atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu.

5.  Surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untuk diedarkan.

2.Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai surat tersebut dalam ayat pertama yang isinya tidak sejati atau yang dipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemalsuan surat itu dapat menimbulkan kerugian.

Kemudian untuk unsur-unsur pidana dari tindak pidana pemalsuan surat di antaranya:

1. Pada waktu memalsukan surat harus dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat itu seolah-olah asli dan tidak dipalsukan.

2. Penggunaannya harus dapat mendapatkan kerugian, kata “dapat: maksudnya tidak perlu kerugian itu betul-betul ada, baru kemungkinan saja akan adanya kerugian itu sudah cukup.

3.Yang dihukum menurut pasal ini tidak saja yang memalsukan, tetapi juga sengaja menggunakan surat palsu. Sengaja maksudnya bahwa orang yang menggunakan itu harus mengetahui benar-benar bahwa surat yang ia gunakan itu palsu. Jika tidak tahu akan hal itu, maka ia tidak dihukum dan sudah dianggap ‘mempergunakan’ misalnya menyerahkan surat itu kepada orang lain yang harus menggunakan lebih lanjut atau menyerahkan surat itu di tempat dimana surat tersebut harus dibutuhkan.

4.Dalam hal menggunakan surat palsu harus pula dibuktikan bahwa orang itu bertindak seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, demikian pula perbuatan itu harus dapat mendatangkan kerugian.

Dalam Pasal 264 ayat (1) angka 1 KUHP, tindak pidana pemalsuan surat sebagaimana Pasal 263 KUHP lebih berat ancaman hukumannya apabila surat yang dipalsukan tersebut adalah surat-surat otentik. Menurut Soesilo, surat otentik adalah surat yang dibuat menurut bentuk dan syarat-syarat yang ditetapkan undang-undang dan oleh pegawai umum seperti notaris.

Apabila didapati calon peserta pemilu yang terbukti menggunakan dokumen palsu, maka partai politik dapat mengajukan penggantinya kepada Komisi Pemilihan Umum untuk selanjutnya berkoordinasi dengan Kepolisian sehingga proses hukum bisa dijalankan.

Tags:

Berita Terkait