Anggota DJSN: Putusan MK Ini Perlu Ditindaklanjuti dengan Revisi UU BPJS
Terbaru

Anggota DJSN: Putusan MK Ini Perlu Ditindaklanjuti dengan Revisi UU BPJS

Agar transformasi PT Taspen dan PT Asabri melebur ke dalam BPJS Ketenagakerjaan dapat memenuhi asas, tujuan, dan prinsip jaminan sosial.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Putusan MK No.6/PUU-XVIII/2020 menyatakan Pasal 57 huruf e dan Pasal 65 ayat (1) UU No.24 Tahun 2011 tentang BPJS inkonstitusional. Ketentuan tersebut memandatkan pengalihan program asuransi dan pensiun yang dikelola PT Asabri kepada BPJS Ketenagakerjaan paling lambat 2029. Amar tersebut hampir sama seperti Putusan MK No.72/PUU-XVII/2019 yang menyatakan Pasal 57 huruf f dan Pasal 65 ayat (2) UU BPJS inkonstitusional. Pasal tersebut mengatur pengalihan program tabungan hari tua dan pensiun yang diselenggarakan PT Taspen kepada BPJS Ketenagakerjaan paling lambat 2029.

Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Asih Eka Putri, mengatakan putusan MK bersifat final dan harus dilaksanakan. Mengacu putusan itu penyelenggaraan program jaminan hari tua ke depan sifatnya menjadi terfragmentasi, seperti yang berlangsung saat ini.

Padahal, tujuan dari ketentuan yang dinyatakan inkonstitusional oleh MK itu agar penyelenggaraan program jaminan hari tua bisa berlaku universal untuk seluruh kaum pekerja di Indonesia. Putusan MK ini membuat program jaminan pensiun dan tabungan hari tua atau jaminan hari tua bagi PNS/TNI/Polri berfungsi sebagai insentif tenaga kerja, bukan sebagai hak konstitusional warga negara.

“Fragmentasi penyelenggaraan program JHT dan pensiun terus berlanjut dengan filosofi dan pengelolaan yang berbeda-beda (antara pekerja swasta dan PNS/TNI, red). Program tersebut bentuknya sebagai insentif ketenagakerjaan dimana hak atas jaminan pensiun dan hari tua dapat hilang bila pegawai melakukan kesalahan,” kata Asih kepada Hukumonline, Selasa (6/10/2021). (Baca Juga: Putusan MK Soal Uji UU BPJS Berpotensi Memunculkan Diskriminasi)  

Asih menjelaskan pengelolaan program jaminan pensiun dan hari tua yang dikelola oleh badan hukum privat (persero) dana yang dihimpun adalah kekayaan negara yang dipisahkan dari pengembangan dana. Peruntukan dana tersebut bukan untuk sebesar-besarnya kepentingan PNS selaku peserta.

Untuk itu, dia mengusulkan dua Putusan MK tersebut perlu ditindaklanjuti dengan menjalankan Ketentuan Peralihan Pasal 52 ayat (2) UU No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) serta merevisi UU BPJS untuk mentransformasi kedua persero itu menjadi BPJS. Menurutnya, transformasi itu penting guna memenuhi asas, tujuan, dan prinsip jaminan sosial sebagaimana diatur Pasal 2, 3, 4 UU SJSN.

Pasal 52 ayat (2) UU SJSN menyebutkan saat Undang-Undang ini mulai berlaku: (2) semua ketentuan yang mengatur mengenai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan Undang-Undang ini paling lambat 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.  

Pasal 2 UU SJSN mengatur SJSN diselenggarakan berdasarkan asas kemanusiaan, manfaat, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pasal 3 menyebut SJSN bertujuan untuk memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya. Pasal 4 mengatur 9 prinsip SJSN meliputi kegotong-royongan; nirlaba; keterbukaan; kehati-hatian; akuntabilitas; portabilitas; kepesertaan bersifat wajib; dana amanat; dan hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial digunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besarnya kepentingan peserta.

“Putusan MK ini harus ditindaklanjuti dengan revisi UU BPJS untuk menuntaskan transformasi jaminan sosial yang mendudukkan jaminan sosial sebagai hak konstitusional setiap warga negara yang tidak dikaitkan dengan kinerja dan hubungan kepegawaian, serta dananya bersifat dana amanah yang hasil pengembangannya untuk kepentihgan peserta,” tegas Asih.

Sebelumnya, Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar memperkirakan dengan adanya Putusan MK No.72/PUU-XVII/2019 dan No.6/PUU-XVIII/2020 itu berarti akan ada 4 BPJS. Selain BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan sebagaimana yang ada sekarang, ke depan akan ada BPJS Asabri dan BPJS Taspen.

Dia melihat pemisahan program jaminan sosial berdasarkan status kepesertaan berpotensi menyebabkan diskriminasi manfaat dan pelayanan. “Jika program jaminan sosial dilebur dalam satu program seperti Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), maka tidak akan terjadi diskriminasi manfaat. Seharusnya program jaminan sosial tidak boleh dilaksanakan dengan cara diskriminatif,” ujarnya.

Menurutnya, pemisahan program jaminan sosial ini mengancam prinsip gotong-royong dalam penyelenggaraan jaminan sosial. Prinsip ini penting untuk keberlanjutan program karena menggunakan teori bilangan besar dimana semakin banyak peserta, maka makin banyak juga iuran yang terkumpul. Dengan terwujudnya prinsip gotong-royong maka program yang digelar dapat membayar klaim peserta.

Tags:

Berita Terkait