Apa Kabar Perubahan Hukum Acara Perdata Nasional?
Mengupas Hukum Acara Perdata:

Apa Kabar Perubahan Hukum Acara Perdata Nasional?

Gagasan merevisi hukum acara perdata sudah lama diusung. Perlu mengakomodasi perkembangan teknologi dan kompleksitas transaksi, khususnya dalam pembuktian dan eksekusi putusan.

Oleh:
Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Gagasan revisi hukum acara perdata sudah lama diusung. Foto ilustrasi buku acata perdata: HOL
Gagasan revisi hukum acara perdata sudah lama diusung. Foto ilustrasi buku acata perdata: HOL

Pertemuan di salah satu ruangan Badan Pembinaan Hukum Nasional di kawasan Cililitan Jakarta tak terpublikasi di media massa meskipun agenda yang dibahas teramat penting untuk dilewatkan. Para pemangku kepentingan diundang dalam dua sesi diskusi untuk melakukan analisis dan evaluasi hukum acara perdata nasional. Wakil-wakil dari lembaga yang berkaitan datang, dan sebagian menyampaikan pandangan mereka. Mantan hakim yang kini jadi akademisi Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Asep Iwan Iriawan, dan dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia Teddy Anggoro, termasuk yang didaulat untuk bicara di forum akademis itu.

 

Asep enggan diwawancarai terkait perkembangan materi hukum acara. Teddy Anggoro secara terbuka menyatakan pandangannya bahwa hukum acara perdata nasional sudah waktunya direvisi. Gagasan ini pula yang terus didengungkan tak hanya di Badan Pembinaan Hukum Nasional, tetapi juga dalam perhelatan asosiasi pengajar hukum acara perdata, dan di forum-forum akademik lainnya. Kepala Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum BPHN, Pocut Eliza, bahkan mengulang kembali pentingnya mengevaluasi dan merevisi hukum peninggalan kolonial, termasuk hukum acara perdata, dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional kerjasama BPHN dengan Unit Kerja Presiden untuk Pembinaan Ideologi Pancasila, pekan terakhir Oktober lalu.

 

Meskipun Indonesia sudah lebih dari 70 tahun merdeka, masih banyak peninggalan hukum nasional yang dipakai, misalnya KUH Pidana, Burgerlijk Wetboek (BW) yang lebih dikenal orang sebagai KUH Perdata, dan hukum acara perdata yang tersebar pada HIR (Herziene Inlandsch Reglement), RBg (Rechtreglement voor de Buitengewesten)dan RV (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering). Upaya mengubah peraturan hukum peninggalan Belanda memang terus dilakukan sejak merdeka tetapi belum semua berhasil.

 

(Baca juga: Perbedaan Antara HIR dan RBg)

 

Perubahan dalam lingkup hukum pidana bisa disebut lebih maju dibandingkan lapangan hukum perdata, termasuk hukum formilnya. Komisi III DPR dan Pemerintah sudah berhasil merampungkan Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana. Dalam bidang hukum formil Indonesia sudah menghasilkan ‘karya agung’ bernama KUHAP, yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Sebaliknya, BW dan hukum acara perdata nyaris tak tersentuh meskipun gagasan-gagasan perubahan sudah muncul sejak puluhan tahun silam.

 

BPHN dan Direktorat Jenderal Perundang-Undangan dua satuan kerja yang banyak bergelut dalam ide perubahan hukum acara perdata. Pada tahun 2001, misalnya, Direktorat Jenderal Perundang-undangan melansir informasi bahwa pembahasan RUU Hukum Acara Perdata sudah selesai, tinggal dibawa ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Tiga tahun kemudian, RUU Hukum Acara Perdata memang termasuk satu dari 75 daftar RUU prioritas yang akan dibahas. Tetapi kemudian, tahun demi tahun terlewat, alih-alih dibahas RUU Hukum Acara Perdata itu lenyap dari daftar.

 

(Baca juga: DPR Tetapkan 75 RUU Prioritas)

 

Belum ada tanda-tanda untuk membawa kembali RUU itu ke dalam list RUU prioritas. Dirjen Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Widodo Ekatjahjana menjelaskan hukum acara perdata nasional masih tersebar dalam berbagai undang-undang akibat belum adanya keinginan yang kuat dari pemegang kewenangan legislasi untuk menyatukannya. “Karena memang belum ada upaya membuat kodifikasi, mestinya harus ada kodifikasi di tingkat nasional,” jawabnya singkat saat diwawancarai hukumonline di sela Konferensi Hukum Tata Negara Nasional di Jember, Jawa Timur, Sabtu (11/11).

 

Gagasan merevisi hukum acara perdata nasional kian sulit karena ada pandangan yang menyebut hukum materilnya (yakni BW) harus diubah lebih dahulu, baru ke hukum formil. Dirjen Widodo juga punya pandangan yang sama. “Terutama KUH Perdata. Hukum materilnya dulu, nanti baru hukum formil,” ujarnya.

 

Teddy Anggoro, dosen hukum perdata bidang ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) justru menganggap hukum acara perdata sangat mendesak untuk direvisi. Pasalnya, hukum formil dalam sengketa perorangan antar warga masyarakat berkaitan erat dengan pemenuhan hak asasi mendapatkan keadilan. “Hukum acara itu tidak boleh kaku banget. Ini kan cara orang mendapat keadilan,” katanya saat diwawancarai hukumonline.

 

Perubahan tak hanya dalam hukum acara pada hukum perdata umum (HIR), tetapi juga hukum perdata khusus. Sebagai akademisi hukum ekonomi yang juga berpraktek advokat Teddy menilai ada dua isu penting dalam agenda revisi hukum acara perdata nasional. Pertama, mengenai aspek pembuktian yang harus menyesuaikan dengan kemajuan teknologi serta ragam model transaksi keperdataan. Kedua, mengenai eksekusi hasil putusan pengadilan yang selama ini banyak gagal dieksekusi dengan tidak adanya keterlibatan aparat penegak hukum. Alasannya karena aparat penegak hukum merupakan alat negara dalam bidang hukum publik dan bukan hukum privat.

 

Teddy menilai ada banyak perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang seharusnya dipertimbangkan sebagai metode bahkan alat bukti dalam prosedur peradilan perdata. “Kalau ditanya apa yang perlu kita ubah: pembuktian, sudah berubah banget (kebutuhannya),” ujar Teddy melalui sambungan telepon.

 

Teddy memberikan contoh mengenai kekuatan pembuktian akta otentik yang dibuat notaris dalam pembuktian di pengadilan perdata. “Contohnya, mana yang lebih kuat, akta notaris atau rekaman video atau CCTV yang menunjukkan orang bersepakat?” kata Teddy mengajukan pertanyaan.

 

Berdasarkan doktrin hukum perdata nasional peninggalan kolonial Belanda, kekuatan akta otentik merupakan alat bukti kuat. Dengan keterlibatan notaris sebagai pejabat umum yang diangkat negara untuk mengesahkan berbagai akta, setiap pihak yang memiliki akta otentik dari notaris akan dipertimbangkan hakim sebagai pihak yang meyakinkan.

 

(Baca juga: Sita Perdata, Terobosan Baru dalam RUU Tipikor)

 

Hal ini tidak terlepas dari doktrin hukum lainnya bahwa pembuktian pada peradilan perdata bersifat kebenaran formil sementara pada peradilan pidana bersifat materiil. Bahkan peran Hakim pun berbeda dimana Hakim akan bersifat aktif ikut meminta dihadirkannya bukti-bukti di persidangan perkara pidana. Jika Hakim merasa belum cukup bukti, mereka diharuskan ikut meminta dihadirkannya bukti-bukti lain untuk memberikan keyakinan atas suatu perkara.

 

Dalam persidangan perkara perdata peran hakim pasif hanya menunggu para pihak menghadirkan bukti-bukti untuk dipertimbangkan. Hakim hanya akan memutus perkara sebatas pada alat bukti yang dihadirkan padanya. Sebagian besar alat bukti yang diterima pada pengadilan perdata adalah alat bukti surat. Bagi Teddy, konsep tersebut sebenarnya memiliki ruh kolonialisme yang disisipkan dalam prosedur mencari keadilan. “Perdata harus (kebenaran) formil, pidana (kebenaran) materil, itu dulu dipakai Belanda untuk merebut tanah kita, kekayaan kita, dipaksakan pembuktian formil sehingga pasti orang kita kalah,” tandasnya.

 

Teddy merujuk kenyataan bahwa di masa penjajahan, yang bisa mengakses pembentukan akta-akta hanyalah kalangan yang bersekutu dengan kolonial Belanda. Banyak rakyat kecil yang harus rela kehilangan haknya atas tanah perkebunan hingga tempat tinggal karena tidak memegang surat bukti kepemilikan. Padahal administrasi yang ada sepenuhnya dalam kendali pemerintahan kolonial Belanda kala itu.

 

Kembali pada soal akta notaris, di masa kini Teddy menilai bahwa transfomasi teknologi juga harus menjadi media pembuktian yang kuat dalam pengadilan perdata. “Apa coba arti akta notaris dibanding dengan faktual orang merekam saya dengan kamu berjanji, ini saya bayar gitu kan,” lanjutnya. Karena itu, Teddy berharap transformasi penting seperti yang ia contohkan harusnya diakomodasi dalam Hukum Acara Perdata.

 

(Baca juga: Ini yang Perlu Diperhatikan dalam Pembentukan RUU Hukum Acara Perdata)

 

Mengenai eksekusi, Teddy berpendapat seharusnya aparat penegak hukum bisa dilibatkan dalam pelaksanaan putusan pengadilan untuk perkara perdata. “Harusnya penegak hukum seperti jaksa dan polisi bisa digunakan untuk eksekusi, mereka kan (tugasnya) menjaga ketertiban,” ujarnya.

 

“Kita saat ini kalaupun sudah menang, eksekusinya susah,” tambah akademisi yang juga berpraktek sebagai kurator ini.

 

Lebih lanjut Teddy mendorong pembuat undang-undang untuk tidak ragu berinovasi dengan mengambil berbagai konsep yang ada dalam sistem hukum dunia. “Kita nggak usah juga kayak sekarang ter-stigma common law-civil law. ‘Ah itu kan pola common law’.  Kita ini sudah lama mendikotomikan keduanya tapi hasilnya nggak ada,” ungkapnya.

 

Dengan kenyataan globalisasi hukum, menurut Teddy sudah tidak relevan bersikap kaku soal pengadopsian konsep hukum dari berbagai sistem hukum yang ada. “Sudah nggak relevan bicara common law-civil law. Hukum acara itu harus dinamis,” imbuhnya.

 

Ketika ditanya apa sebabnya hingga saat ini hukum acara perdata nasional belum juga mendapatkan perhatian serius untuk direvisi—mengingat hukum acara pidana telah diganti dengan KUHAP sejak 1981—Teddy mengaku tidak bisa memastikan. Padahal dalam sengketa perdata yang terlibat berkepentingan adalah antar anggota masyarakat secara langsung. “Kalau pidana memang orang mengadu kepada negara, kalau perdata kan orang per orang yang memperjuangkan dirinya, harusnya lebih prioritas,” kata Teddy.

 

Ia menduga bisa jadi karena dalam sengketa perdata tidak berkaitan langsung dengan kerja instansi pemerintah, maka kurang mendapat perhatian. “Kita ini mentang-mentang nggak ada institusi (pemerintah) yang berkepentingan jadi santai-santai,” tutupnya.

Tags:

Berita Terkait