Apakah Menjebol Program Pengunci Tidak Bertentangan dengan Hukum?
Edmon Makarim(*)

Apakah Menjebol Program Pengunci Tidak Bertentangan dengan Hukum?

Sehubungan dengan pemberitaan di Harian Kompas 14 April 2005 lalu, ada beberapa hal yang cukup menarik untuk dikaji secara hukum.

Bacaan 2 Menit

 

Perspektif Etika Bisnis dan Hukum Perikatan

Terakhir, kita perlu mengkajinya dalam perspektif etika dan hukum perikatan. Dalam sistem perdagangan, umumnya kita akan dibedakan menjadi konsumen (pengguna akhir) dan pelaku usaha. Selanjutnya pelaku usaha juga dapat dibedakan menjadi produsen dan kalangan profesional (contoh dokter, pengacara, akuntan). Dalam melakukan usaha, biasanya para pelaku usaha mempunyai code of conduct sebagai pernyataan hukum ataupun patokan bagi mereka untuk bertindak sesuai dengan etika bisnis dan sebagai upaya nyata untuk mematuhi hukum yang berlaku.

 

Hal ini sangat diperlukan oleh perusahaan agar sebagai suatu bentuk organisasi dan manajemen yang terdiri dari banyak orang, maka sepatutnya kesalahan individual tidak ditimpakan sebagai suatu kesalahan kolektif yang akan ditanggung oleh perusahaan sebagai satu subjek hukum mandiri.

 

Dalam konstelasi hubungan hukum antara pelaku usaha dan konsumen, idealnya berlaku strict liability dimana setiap pelaku usaha harus bertanggung jawab terhadap produk barang dan jasa yang ditawarkannya kepada konsumen. Jika ia produsen, maka harus bertanggung jawab terhadap cacat produknya (product liability), dan terhadap kalangan profesional ia harus bertanggung jawab terhadap substansi pengetahuannya (intellecutal liability) yang dikemasnya sebagai jasa kepada konsumen. Konsekuensinya, akibat hukum yang terjadi pada konsumen harus dapat dimintakan pertanggung jawabannya kepada pelaku usaha.

 

Satu contoh sebagai suatu ilustrasi. Jika kita pergi ke dokter, maka dokter menjadi tahu tentang diri kita dan ia terikat pada sumpah profesinya untuk tidak menceritakannya kepada orang lain dan tidak melakukan apapun yang dapat merugikan kita dan tentunya ia juga akan bertanggung jawab terhadap dampak pengobatan yang diberikannya kepada kita. Lantas, jaminan apakah yang diberikan oleh pihak yang menawarkan jasa penjebolan tersebut kepada konsumen?

 

Sementara, terkait dengan syarat sahnya perjanjian untuk melakukan transaksi perdagangan, pelaku usaha tentunya harus menawarkan objek dagangan yang harus sesuai dengan hukum (kausa yang halal). Jika objeknya tidak halal maka akibatnya perikatan/kontrak tersebut menjadi batal demi hukum atau dianggap tidak pernah terjadi.

 

Akhirnya timbul pertanyaan, bagaimanakah mekanisme pertanggung jawabannya kepada konsumen jika objek yang ditransaksikan tidak halal?

 

Dalam konteks jasa penjebolan tersebut, apakah yang akan dapat dilakukan oleh konsumen sekiranya hal itu berdampak buruk kepada konsumen? Jika si pelaku berdalih bahwa ia hanya disuruh oleh konsumen, apakah konsumen bisa lepas dari segala macam tuntutan hukum dan/atau gugatan hukum sebagai pihak yang turut serta melakukan perbuatan melawan hukum?

Tags: