Arbiter Harus Mendua
Edisi Lebaran 2010:

Arbiter Harus Mendua

Jangan harap 'besar tiang' dari profesi ini meski dilirik banyak orang.

Inu
Bacaan 2 Menit

 

Menyoal tempat bersidang, arbitrase menyerahkan pada pihak bersengketa. Semisal Peruri-Pura, dilakukan di sebuah hotel di Jakarta selama tiga hari berturut-turut dengan biaya dari masing-masing pihak.

 

Banjir Peminat

Karena daya tarik tersebut, BANI menurut Krisnawenda tak hanya kebanjiran permohonan arbitrase. Bahkan permohonan menjadi arbiter pun membludak, timpal Krisnawenda. “Bahkan, ada yang kami tawarkan karena integritas bersangkutan bagus seperti Abdul Hakim Garuda Nusantara,” tambah mantan eksekutif perusahaan pengembang itu.

 

Bahkan, tak perlu persyaratan sarjana bidang hukum untuk menjadi arbiter. Krisnawenda sendiri adalah sarjana ekonomi dan meraih gelar magister dalam bidang sama. “Telinga lebar, lapang dada, memang modal utama arbiter ditambah sikap hati-hati.”

 

Mengenai permohonan arbitrase, dia ungkapkan berfluktuasi. Namun, apabila ditarik garis lurus, jumlah permohonan menunjukkan kenaikan. Terutama setelah diundangkan UU No 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Peningkatan, urainya mencapai dua kali lipat terutama sengketa yang terjadi pada sektor pertambangan mineral, minyak, dan gas. Kemudian konstruksi yang nilainya miliaran rupiah.

 

Meski kebanjiran permohonan dan tentunya menjadi pemasukan bagi arbiter, Krisnawenda mengaku pendapatan yang dia peroleh tak sebesar profesi hukum seperti notaris ataupun pengacara. Karena itu bagi sebagian kalangan arbiter, profesi ini tak akan jadi gantungan hidup. Karena beberapa arbiter jarang ditunjuk menangani sengketa. “Saya punya percetakan dan usaha lain untuk mencari pendapatan,” ungkapnya dan hal serupa juga dijalankan arbiter BANI lain.

 

Namun demikian, BANI membuat aturan main. Masing-masing arbiter tak disarankan menangani lebih dari tiga perkara. Namun hal itu bukan karena menjaga agar arbiter tak rakus. Tetapi karena menjaga agar konsentrasi penanganan sengketa terjaga.

 

Arbiter BANI hanya diberi maksimal memutus perkara selama enam bulan. Waktu singkat, tetapi putusan harus tepat. Sekali memutus maka, tak ada kesempatan banding. “Beban ini cukup berat, tetapi tantangan buat arbiter BANI, sehingga diatur sedemikian rupa dengan penerapan kode etik yang tegas,” papar Krisnawenda.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait