Asal Muasal 400 Ribu Amplop Bowo Sidik Terungkap
Berita

Asal Muasal 400 Ribu Amplop Bowo Sidik Terungkap

Bowo Sidik didakwa terima suap dan gratifikasi belasan miliar rupiah.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Terdakwa kasus dugaan suap dan gratifikasi Bowo Sidik Pangarso mendengarkan pembacaan dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (14/8). Foto: RES
Terdakwa kasus dugaan suap dan gratifikasi Bowo Sidik Pangarso mendengarkan pembacaan dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (14/8). Foto: RES

Masih ingat Bowo Sidik Pangarso, Anggota DPR RI Komisi VI yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan ditemukan amplop sekitar 400 ribu lembar yang rencana akan digunakan serangan fajar pada saat Pemilu Legislatif 2019 lalu? Kasus Bowo ini ternyata sudah dalam proses persidangan.  

 

Dalam sidang pertama dengan agenda pembacaan dakwaan terhadap Bowo, penuntut umum mengungkap rincian jumlah amplop termasuk berapa uang yang diterima olehnya. Bowo sendiri dijerat dengan dua dakwaan, pertama suap dan kedua gratifikasi. 

 

Menurut penuntut Pada tanggal 29 Maret 2019, setelah penangkapannya dan dilakukan penggeledahan di kantor PT Inersia Ampak Engineers (PT IAE) yang merupakan perusahaan miliknya yang beralamat di Salihara No.12 Pasar Minggu Jakarta Selatan, ditemukan uang tunai sebesar Rp8 miliar dengan pecahan Rp20 ribu dalam amplop berwarna putih sebanyak 400.015. Uang itu tersimpan dalam 4.000 box amplop dalam 81 kardus dan 2 kontainer plastik berwarna orange.

 

Untuk kasus dugaan suap, Bowo menerimanya dari Marketing Manager PT Humpuss Transportasi Kimia (HTK) dan Direktur Utama PT HTK Taufik Agustono sebesar AS$163.733 atau setara Rp2,3 miliar dan Rp311 juta. Tujuannya agar ia membantu PT HTK mendapatkan kerja sama pekerjaan pengangkutan dan atau sewa kapal dengan PT Pupuk Indonesia Logistik (PT PILOG).

 

Penuntut umum KPK Ikhsan Fernandi memaparkan PT HTK merupakan perusahaan yang pengelola kapal MT Griya Borneo yang sebelumnya memiliki kontrak kerja sama dengan anak perusahaan PT Petrokimia Gresik, PT Kopindo Cipta Sejahtera (KCS) untuk pengangkutan amonia dalam jangka waktu 5 tahun.

 

Namun pada tahun 2015 setelah perusahaan induk untuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bidang pupuk di Indonesia didirikan yaitu PT Pupuk Indonesia Holding Company (PT PIHC), kontrak kerja sama PT HTK tersebut diputus dan pengangkutan amoniak dialihkan kepada anak perusahaan PT PIHC yakni PT PILOG dengan menggunakan kapal MT Pupuk Indonesia. 

 

Lalu, Asty Winasty meminta bantuan Bowo agar mengupayakan PT PILOG dapat menggunakan kapal MT Griya Borneo yang dikelola PT HTK untuk mengangkut amoniak. Sedangkan kapal milik PT PILOG yaitu kapal MT Pupuk Indonesia akan dicarikan pasarnya oleh Asty. 

 

"Atas permintaan Asty Winasty tersebut, Terdakwa bersedia membantu dan untuk itu Terdakwa meminta Asty mengirimkan kronologis kerja sama sebelumnya dan progress hubungan kerja sama antara PT HTK dan PT PILOG," terang Jaksa dalam persidangan. Baca Juga: Pemilu Makin Dekat Ingat Kasus OTT Serangan Fajar

 

Singkat cerita, setelah terjadi beberapa pertemuan, PT HTK mendapat apa yang diinginkan karena bantuan Bowo. Namun bantuan ini tidak gratis, ada sejumlah uang yang diberikan sebagai imbalan kepada Bowo melalui Indung yang totalnya mencapai AS$163.733 atau setara Rp2,3 miliar dan Rp311 juta.

 

Selain dari PT HTK, Bowo juga mendapat uang suap dari Lamidi Jimat, Direktur Utama PT Ardila Insan Sejahtera. Bowo membantu Lamidi menagih hutang kepada PT Djakarta Llyod serta membantu mendapat pekerjaan penyediaan BBM jenis MFO (Marine Full Oil) dari kapal Djakarta Llyod. Uang yang diterima oleh Bowo sebesar Rp300 juta. 

 

"Terdakwa mengetahui atau patut menduga bahwa uang tersebut diberikan karena Terdakwa selaku anggota Komisi VI DPR RI yang bermitra dengan Kementerian BUMN dan seluruh BUMN di Indonesia telah membantu PT HTK mendapat kerjasama pekerjaan pengangkutan dan/atau sewa kapal dengan PT PILOG serta membantu PT Ardila Insan Sejahtera menagihkan pembayaran utang ke PT Djakarta Lloyd dan agar mendapat pekerjaan Penyediaan BBM jenis MFO yang bertentangan dengan kewajiban Terdakwa selaku anggota DPR RI," jelas penuntut umum. 

 

Gratifikasi 

Selain didakwa menerima suap dari dua pengusaha tersebut, Bowo juga didakwa menerima gratifikasi sebesar Rp600 juta dan Sing$700 ribu (sekitar Rp7,79 miliar) secara bertahap. Pertama menerima uang sejumlah Sing$250 ribu terkait posisinya selaku anggota Badan Anggaran DPR RI yang mengusulkan Kabupaten Kepulauan Meranti mendapatkan dana alokasi khusus fisik APBN 2016.

 

"Sekitar tahun 2016, Terdakwa menerima uang tunai sejumlah 50.000 dollar Singapura saat Terdakwa mengikuti acara Musyawarah Nasional Partai Golkar di Denpasar, Bali untuk pemilihan Ketua Umum Partai Golkar Periode tahun 2016-2019," ungkap jaksa.

 

Pada 26 Juli 2017, Bowo menerima uang 200.000 dollar Singapura dalam kedudukannya selaku Wakil Ketua Komisi VI DPR RI yang membahas Peraturan Menteri Perdagangan tentang Gula Rafinasi. Selanjutnya, pada 22 Agustus 2017, Bowo menerima uang sejumlah Sing$200.000 dalam kedudukannya selaku Wakil Ketua Komisi VI DPR RI yang bermitra dengan PT PLN.

 

Selanjutnya, sekitar bulan Februari 2017 Bowo juga pernah menerima uang sejumlah Rp300 juta di Plaza Senayan Jakarta dan pada tahun 2018 menerima uang sejumlah Rp 300 juta di salah satu restoran yang terletak di Cilandak Town Square, Jakarta. 

 

"Penerimaan gratifikasi berupa uang tersebut tidak pernah dilaporkan oleh Terdakwa kepada KPK dalam tenggang waktu 30 hari kerja sejak diterima sebagaimana disyaratkan undang-undang, sehingga sudah seharusnya dianggap sebagai pemberian suap karena berhubungan dengan jabatan Terdakwa selaku wakil ketua sekaligus anggota Komisi VI DPR-RI dan selaku anggota Badan Anggaran DPR RI," terang Jaksa. 

 

Atas dua dakwaan ini, Bowo tidak mengajukan eksepsi. Persidangan akan dilanjutkan pekan depan dengan agenda pemeriksaan saksi. 

Tags:

Berita Terkait