Aturan Pidana Akuntan Publik Diuji ke MK
Berita

Aturan Pidana Akuntan Publik Diuji ke MK

Pemohon diminta untuk memperbaiki permohonan dalam jangka waktu 14 hari.

ASh
Bacaan 2 Menit
Aturan pidana akuntan publik diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK). Foto: SGP
Aturan pidana akuntan publik diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK). Foto: SGP

Beberapa akuntan publik mengajukan permohonan uji materi Pasal 55 dan 56 UU No 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik terkait aturan pidana ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka adalah M Achsin, Anton Silalahi, Yanuar Mulyana, Rahmat Zuhdi, dan M. Zainudin.

 

Para pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 55 dan 56 UU Akuntan Publik. Para pemohon merupakan terpidana dalam tindak pidana perbankan pada Bank OCBC NISP Cabang Kelapa Gading sebesar Rp385,520 juta berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara No. 86/Pid.Sus/2011/PN Jakut tertanggal 20 April 2011.

 

Kuasa hukum pemohon Aan Eko Widiarto menilai Pasal 55 dan 56 UU Akuntan Publik, khususnya kata “manipulasi”, menimbulkan ketidakpastian hukum. “Kata ‘manipulasi’ dalam Pasal 55 huruf a UU Akuntan Publik menimbulkan makna ambigu dan multitafsir,” tutur Aan dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang diketuai Ahmad Fadlil Sumadi di ruang sidang MK, Jum’at (16/12).

 

Selengkapnya, Pasal 55 menyebutkan, “Akuntan Publik yang: a. melakukan manipulasi, membantu melakukan manipulasi, dan atau memalsukan data yang berkaitan dengan jasa yang diberikan. b. dengan sengaja melakukan manipulasi, memalsukan, dan atau menghilangkan data atau catatan pada kertas kerja atau tidak membuat kertas yang berkaitan dengan jasa yang diberikan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan pidana denda paling banyak Rp300 juta.”

 

Sedangkan Pasal 56 menyebutkan “Pihak terasosiasi yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan pidana denda paling banyak Rp300 juta.”   

 

Aan mengatakan adanya kata “manipulasi” sulit dipahami karena perbuatan manipulasi tidak ditemukan dalam rumusan dasar KUHP sebagai ketentuan pokok hukum pidana. Hal yang diatur dalam KUHP hanya mengenai pemalsuan surat. “Pasal 55 dan 56 itu ditinjau dalam perpektif hukum pidana yang humanitas adalah tidak tepat dan tidak proporsional,” kata Aan.   


Menurutnya, frasa perbuatan “menghilangkan data atau catatan pada kertas kerja” seharusnya tidak termasuk tindak pidana, tetapi masuk ke wilayah pelanggaran administratif. “Kertas kerja juga bukan dokumen final pekerjaan Akuntan, melainkan opini. Frasa ini juga bisa bias di lapangan karena kertas kerja adalah pendukung,” dalihnya.


Hal lain yang dipersoalkan para pemohon adalah ancaman hukuman pidana dan denda yang dirumuskan dalam dua pasal itu. Menurutnya, ancaman hukuman selama lima tahun penjara dinilai tidak adil/proporsional karena dapat menjadi dasar penyidik untuk menahan tersangka karena dianggap tindak pidana berat. 

 

“Seharusnya profesi jangan mudah ditahan karena menyangkut bisnis. Jika ditahan habislah bisnis mereka (Akuntan Publik, red) karena ini menyangkut mata pencaharian pemohon sebagai warga negara.”

 

Karena itu, Pasal 55 dan Pasal 56 UU Akuntan Publik dinilai bertentangan dengan pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 karena telah menciptakan rasa ketakutan atau tidak aman yang mengakibatkan para pemohon merasa tidak bebas menjalankan profesinya untuk berbuat atau tidak berbuat.    

 

“Pemohon berharap MK dapat menyatakan kedua pasal itu tidak memiliki kekuatan hukum mengikat atau dicabut,” pintanya.  

 

Anggota majelis panel hakim, Harjono menilai permohonan ini sudah menguraikan kerugian yang dialami oleh pemohon. Namun, permohonan belum menjelaskan apakah kerugian itu disebabkan karena pemohon melanggar aturan yang diuji yang dinyatakan bertentangan dengan konstitusi.  

 

“Kerugian sudah dinyatakan, tetapi apa kerugian itu disebabkan karena pemohon melanggar pasal yang diuji yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945 itu? Hak yang dirugikan pemohon juga harus jelas,” saran Harjono.

 

Ahmad Fadlil Sumadi memberikan kesempatan bagi para pemohon untuk memperbaiki permohonannya dalam jangka waktu 14 hari.

Tags: