Badan Arbitrase, Proses Arbitrase, dan Pengadilan Negeri: Sebuah Distingsi
Kolom

Badan Arbitrase, Proses Arbitrase, dan Pengadilan Negeri: Sebuah Distingsi

Distingsi ini, meskipun telah diajarkan sejak di bangku kuliah, masih perlu untuk terus ditegaskan.

Bacaan 6 Menit

Hal ini dilakukan untuk menjaga hubungan bisnis dan kepentingan reputasi para pihak yang bersengketa. Ditambah lagi, unsur kerahasiaan ini juga akan lebih membuat para pihak lebih terbuka dalam mengungkapkan permasalahan pokok sengketa dan bukti-bukti serta pengertian atas transaksi bisnis para pihak sehingga Majelis Arbitrase lebih memiliki banyak data untuk menyelesaikan sengketa secara baik.

Tidak hanya untuk kepentingan para pihak yang bersengketa, terjaganya prinsip ini juga berkaitan dengan kredibilitas BANI atau badan arbitrase lainnya dalam menyelesaikan sengketa bisnis. Badan arbitrase pada dasarnya bukan merupakan lembaga negara, melainkan seperti lembaga independen yang keberlangsungannya tergantung pada apakah para pebisnis yang bersengketa memercayakan penyelesaian sengketa mereka melalui badan arbitrase.

Pada dasarnya, suatu persengketaan dapat berpengaruh terhadap reputasi para pebisnis yang bersengketa. Dengan demikian, di samping membutuhkan arbiter-arbiter yang ahli dan kredibel dalam menyelesaikan sengketa bisnis, para pihak yang bersengketa juga harus memastikan bahwa Majelis Arbitrase dan juga badan arbitrase dapat dipercaya dalam merahasiakan segala proses beracara dan isi pembicaraan dalam persidangan berkaitan dengan persengketaan.

Membedakan antara Badan Arbitrase dan Pengadilan Negeri

Selain adanya pencampuradukkan antara badan dan proses beracara dalam arbitrase, masih ada juga yang mendemonstrasikan bahwa badan arbitrase dengan prosesnya sama dengan proses beracara di Pengadilan Negeri. Salah satu bentuk konkretnya adalah tidak diindahkannya klausul arbitrase sebagai dasar kompetensi absolut arbitrase untuk menyelesaikan sengketa.

Dengan menggunakan prinsip pengadilan tidak boleh menolak perkara (Pasal 10 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman), kompetensi absolut berdasarkan klausul arbitrase tidak diindahkan sebagai dasar untuk menolak permohonan penyelesaian sengketa di pengadilan, sebagaimana dalam beberapa kasus yang kami tidak sampaikan di sini (atas dasar menjaga kerahasiaan). Bahkan, ada juga pihak-pihak yang menuliskan forum penyelesaian sengketa melalui arbitrase secara alternatif dengan Pengadilan Negeri. Kesan yang muncul adalah meskipun forum penyelesaian sengketa yang tertulis dalam perjanjian para pihak adalah arbitrase, penyelesaian sengketa melalui arbitrase adalah sama dengan penyelesaian sengketa di Pengadilan Negeri.

Walaupun Pasal 10 UU Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa pengadilan dilarang menolak perkara, pengadilan juga perlu melihat mengenai kompetensi absolut dalam Pasal 2 UU Arbitrase. Bahkan di dalam Pasal 3 UU Arbitrase, disebutkan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang atau harus menolak suatu permohonan penyelesaian sengketa yang di dalamnya telah terdapat klausul arbitrase. Pernyataan ini tidak bermaksud untuk menggeneralisasi semua pihak, tetapi menunjukkan bahwa masih ada realitas yang mengesankan bahwa arbitrase adalah alternatif penyelesaian sengketa bukan di luar pengadilan.

Di samping itu, ada juga peneliti atau penulis yang menyatakan bahwa Pengadilan Negeri sudah hadir dalam sebelum, saat, dan bahkan sesudah proses berarbitrase. Pernyataan ini didukung dengan merujuk pada beberapa pasal dalam UU Arbitrase dan UNCITRAL Model Law (lihat Tri Ariprabowo, “Pembatalan Putusan Arbitrase oleh Pengadilan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 15/PUU-XII/2014” Jurnal Konstitusi Vol. 14 No. 4 (2017), hlm. 717). Pandangan ini tidak sepenuhnya benar. Sebab, bilamana para pihak telah bersepakat dengan iktikad baik untuk menyelesaikan sengketa mereka melalui arbitrase, Pengadilan Negeri sama sekali tidak perlu hadir.

Tags:

Berita Terkait