Bahas Money Laundering, MA 'Terbelah'
Utama

Bahas Money Laundering, MA 'Terbelah'

Para hakim agung akan kembali menggelar pertemuan.

ALI SALMANDE
Bacaan 2 Menit
Eks Kepala PPATK Yunus Husein (kiri) dan Hakim Agung Gayus Lumbuun (kanan) beda pendapat terkait predicate crime TPPU. Foto: SGP
Eks Kepala PPATK Yunus Husein (kiri) dan Hakim Agung Gayus Lumbuun (kanan) beda pendapat terkait predicate crime TPPU. Foto: SGP

Kamar Pidana Mahkamah Agung (MA) kembali menggelar pertemuan untuk menyamakan persepsi mengenai suatu isu hukum. Kali ini, topik yang dibahas mengenai tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan pembalikan beban pembuktian dalam perkara korupsi.

“Kami telah mencapai dua kesimpulan,” ujar Ketua Kamar Pidana MA Artidjo Alkostar usai rapat yang menampilkan Hakim Agung Salman Luthan dan mantan Kepala PPATK Yunus Husein sebagai narasumber, di Gedung MA, Kamis (18/7).

Pertama, lanjut Artidjo, para hakim agung mengusulkan agar pimpinan MA membuat Peraturan MA (Perma) yang mengatur kapan dan bagaimana pembalikan beban pembuktian dalam kasus pidana korupsi diterapkan. Kedua, para hakim agung berkesimpulan bahwa dalam penanganan tindak pidana pencucian uang tak perlu dibuktikan pidana asalnya.

Sebelumnya, dalam rapat, mantan Kepala PPATK Yunus Husein menjelaskan saat ini sudah ada sekitar 10 kasus pencucian uang yang masuk ke MA. Beberapa di antaranya sudah berkekuatan hukum tetap. Dari putusan-putusan yang bisa dijadikan yurisprudensi itu, lanjut Yunus, para hakim berpendapat bahwa dalam money laundering, tak perlu dibuktikan tindak pidana asalnya.

“Dakwaan dibuat secara kumulatif, antara korupsi dan pencucian uang. Ini sesuai dengan pedoman jaksa agung. Jadi, tak perlu dibuktikan pidana asalnya dulu. Contohnya kasus Bahasyim,” ujarnya.

Namun, pendapat ini ditolak mentah-mentah oleh Hakim Agung Gayus Lumbuun. Mantan Anggota Komisi III DPR ini menegaskan sudah berkali-kali berdebat dengan Yunus Husein mengenai ini. Gayus termasuk yang berpendapat bahwa dalam pencucian uang, pidana asalnya harus dibuktikan atau diusut terlebih dahulu.

“Bila perbuatan asalnya tak ditemukan. Bagaimana kita bisa adil? Misalnya, kasus Bahasyim. Dia cuma terima Rp1 Miliar dari Kartini Muljadi. Tapi, diusut dengan TPPU hartanya yang bermiliar-miliar. Lalu, pidana asalnya apa?” tuturnya.

Tags:

Berita Terkait