Bahasa Hukum: ‘Forensik Akustik’, Jalan Menuju Pembuktian Similaritas Suara dalam Tindak Pidana
Utama

Bahasa Hukum: ‘Forensik Akustik’, Jalan Menuju Pembuktian Similaritas Suara dalam Tindak Pidana

Membuktikan kemiripan suara seseorang yang tersadap bukan perkara mudah. Perlu keahlian khusus. Ahli forensik akustik sudah sering digunakan.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi penyadapan dan perekaman suara. Ilustrator: HGW
Ilustrasi penyadapan dan perekaman suara. Ilustrator: HGW

Tiba-tiba saja nama Fumitada Itakura dan Shuzo Saito mencuat di sidang Pengadilan Tipikor Jakarta. Adakah nama kedua warga keturunan Jepang itu terseret pusaran korupsi? Tidak! Sama sekali tidak. Nama mereka justru muncul dari perbedaan pandangan dua ahli forensik yang dihadirkan ke persidangan di pengadilan Indonesia, ketika majelis hakim menangani perkara dugaan menghalang-halangi proses penyidikan.

 

Nama Fumitada Itakura (lahir 6 Agustus 1940) dan Shuzo Saito terhubung dengan metode pengukuran kesamaan suara antara suara yang asli (original spectrum) dengan suara yang mirip. Metode pengukuran kemiripan (similarity) suara yang mereka kembangkan menggunakan rumus-rumus matematika akhirnya dikenal sebagai Itakura-Saito Distance, atau Itakura-Saito Divergence. Metode ini diperkenalkan dan dikembangkan sejak 1960-an.

 

Itakura-Saito Distance merupakan salah satu metode yang dipakai dalam persidangan kasus-kasus pidana. Nama mereka berkaitan dengan proses pembuktian forensik suara yang dijadikan bukti oleh para pihak ke persidangan.

 

Forensik berkaitan dengan pembuktian atau alat bukti sah guna memberikan keyakinan kepada hakim untuk memutuskan apakah terdakwa bersalah atau tidak melakukan kejahatan. Apakah forensik itu? ‘Forensik berhubungan dengan ketentuan hukum; berkenaan dengan pemberian alasan’. Begitulah definisi yang tertuang dalam Kamus Hukum dan Yurisprudensi karangan HM Fauzan dan Baharuddin Siagian (2017).

 

Dalam Black’s Law Dictionary, lema forensic dimaknai dalam tiga arti: lazim digunakan di pengadilan atau debat (used in or suitable to courts of law or public debate); retorikal, argumentative yang berkaitan dengan kemampuan forensic; dan eksterior, asing. Kalau disebut forensic engineering, kamus ini mengartikan sebagai the use of engineering principles or analysis in lawsuit, yakni melalui ‘expert witness’s testimony’.   

 

Dalam Buku Pintar Forensik karya HR Abdussalam dan Adri Desasfuryanto (2013), disebutkan bahwa penggunaan ilmu forensik itu berkembang dalam hukum pidana, dan spesialisasinya juga ikut berkembang. Kini dikenal medicine forensic (antara lain dipakai dalam kasus orang meninggal karena keracunan), forensik fisika (misalnya dipakai untuk meneliti jejak roda kendaraan yang dipakai untuk melakukan kejahatan), forensik kimia dan biologi (dipakai untuk memastikan kandungan kimia tertentu), forensik metalursi dan balistik, forensic foto, daktiloskopi (sidik jari), dan forensik rekaman suara. Yang terakhir ini berkaitan dengan spektografi suara. Ini berarti forensik suara sudah dikenal dalam pembuktian kasus-kasus pidana.

 

Ketika ingin membuktikan kejahatan komputer, katakanlah peristiwa penipuan online, penyidik harus berkutat dengan urusan yang sangat teknis, sehingga acapkali membutuhkan seorang ahli forensik komputer. Atau dalam kasus lain, penyidik sangat terbantu keterangan seorang ahli forensik yang berdasarkan keilmuannya dapat memastikan sidik jari yang tertinggal pada suatu alat adalah sidik jari orang yang dicurigai. Yang paling jelas adalah ketika terjadi kecelakaan pesawat, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) biasanya langsung mencari cockpit voice recorder (CVR).

 

(Baca juga: Forensik dan Ruang Lingkupnya dalam Mengungkap Tindak Pidana)

 

Penggunaan keterangan ahli forensik sudah sering terjadi di pengadilan Indonesia. Dalam kasus pembunuhan berencana atas nama terdakwa Jessica Kumala Wongso, misalnya, masyarakat dapat menyaksikan langsung perdebatan-perdebatan akademis antara ahli forensik yang dihadirkan penuntut umum dengan yang dihadirkan penasihat hukum terdakwa.

 

Dosen hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin Daddy Fahmanadie mengatakan menghadirkan ahli forensic ke persidangan adalah bagian tak terpisahkan dari proses pembuktian. Forensik adalah interdisipliner yang dipergunakan untuk menguatkan bukti yang dihadirkan para pihak. “Forensik sangat melekat dalam perkara pidana sebagai bagian penting dari elemen pembuktian,” ujarnya kepada Hukumonline.

 

Robert C. Maher dari Montana State University, Amerika Serikat, menulis sebuah artikel menarik tentang masalah ini: “Lending an Ear in the Courtroom: Forencic Acoustics (2015). Menurut pengajar Departemen Electrical and Computer Engineering itu, suara acapkali menjadi pusat perhatian dalam persidangan pengadilan atau dalam proses penegakan hukum. “There are some circumstances in which the sounds around us become the subject of a law enforcement investigations, an accident review, or some other legal proceeding that ends up in a courtroom”. Ia melanjutkan “Although most acousticians might reasonably prefer to syat out of a courtroom, except perhaps to improve the architectural acoustic of the facility, there are surprisingly many circumstances in which the knowledge of acoustical scientists can be helpful to legal ans investigative proceedings”.

 

Seperti pernyataan Maher di atas, kini aparat penegak hukum di Pengadilan Tipikor Jakarta sedang menimbang-nimbang similaritas suara terdakwa dan saksi yang tersadap oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Upaya pembuktian similaritas suara oleh masing-masing pihak muncul antara lain dalam sidang atas nama terdakwa Lucas. Advokat ini duduk di kursi terdakwa lantaran diduga menghalang-halangi proses penyidikan.

 

Namun, upaya membuktikan surat dakwaan dengan memutar atau memperdengarkan suara hasil sadapan sudah sering dilakukan penuntut umum KPK. Nyaris di setiap kasus besar operasi tangkap tangan, KPK menyodorkan bukti suara tersadap yang diduga mirip suara saksi atau suara terdakwa. Sebelum memperdengarkan suara, biasanya jaksa meminta konfirmasi apakah nomor telepon tersadap adalah milik terdakwa/saksi atau bukan. Sebagian orang yang dikonfirmasi membenarkan suaranya, tetapi tidak sedikit juga yang menyangkal. Lucas termasuk yang mempertanyakan kebenaran suara yang diputarkan jaksa.

 

(Baca juga: Rekaman Mirip Suara Barack Obama di Pengadilan Tipikor)

 

Penuntut umum dan terdakwa atau penasihat hukum berada dalam posisi berhadap-hadapan. Penuntut meyakini suara itu benar mirip suara terdakwa; sebaliknya penasihat hukum pada umumnya meragukan karena suara seseorang dapat ditiru orang lain. Jalan tengah dalam pembuktian ini adalah menghadirkan seorang ahli, yang lazim dikenal sebagai ahli forensik akustik.

 

Seorang ahli forensik akustik adalah orang yang terlatih dalam bidang ilmu bicara (speech science), ponetik suara (acoustic phonetic), pengetahuan tentang penerbangan (aviation science), rekayasa suara (acoustical engineering), fisika, dan linguistik. Para ilmuan terus mengembangkan metode perhitungannya. Hafiz Malik (University of Michigan-Dearbon) dan Hany Farid (Dartmouth College Hanover), misalnya, pernah membuat analisis forensik tentang gema suara (acoustic reverberation). Menurut mereka, rekaman suara pasti meninggalkan jejak dan mungkin saja mengalami distorsi. Persistensi suara mungkin saja dipengaruhi suasana ruangan, waktu, dan spektrum.

 

Daddy Fahmanadie berpendapat kehadiran seorang ahli sangat penting dalam persidangan. Pasal 186 KUHAP menyebutkan keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Tetapi keterangan ahli, sesuai Pasal 184 KUHAP, bukan satu-satunya alat bukti yang dapat dipergunakan karena masih ada alat bukti saksi, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Yang sering jadi persoalan adalah acapkali ahli memberikan penilaian terhadap  kasus konkret  padahal seharusnya tidak demikian. Untuk menghindarinya, penyidik atau penutut umum seharusnya mengajukan pertanyaan yang bersifat hipotesis atau umum, jangan sampai memberi penilaian salah atau tidaknya terdakwa berdasar fakta persidangan.

 

Tugas seorang penuntut ketika memutar rekaman suara, kata Daddy, adalah menghubungkan materi komunikasi terdakwa atau saksi dengan mens rea atau actus reus-nya melakukan kejahatan. Cuma, ia berharap penuntut umum juga menerapkan kehati-hatian ketika mengajukan rekaman suara sebagai bukti ke persidangan. Penuntut harus memastikan sungguh-sungguh bahwa cara memperoleh rekaman dilakukan berdasarkan mekanisme yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Tags:

Berita Terkait