Batas Waktu Penerbitan Dokumen Kependudukan: Teror Bagi Disdukcapil
Kolom

Batas Waktu Penerbitan Dokumen Kependudukan: Teror Bagi Disdukcapil

​​​​​​​Permendagri 19 Tahun 2018 mengharuskan proses penerbitan dokumen kependudukan dalam rentang waktu 1 sampai 24 jam menjadi ancaman yang nyata bagi seluruh Kepala Disdukcapil di Indonesia. Alih-alih meningkatkan kualitas layanan adminduk, peraturan tersebut berpotensi memperburuk layanan pengurusan dokumen kependudukan.

Bacaan 2 Menit

 

Tidak Menyasar Pada Permasalahan Utama

Permasalahan yang sering dialami oleh Disdukcapil adalah tidak stabilnya akses jaringan daring pada Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) ke server Kemendagri, perangkat komputer yang tidak berfungsi, atau tidak stabilnya aliran listrik di daerah. Dalam layanan KTP-el, Disdukcapil merekam data pemohon dan mengirimkan data tersebut ke server yang ada di pusat melalui SIAK untuk verifikasi dan penunggalan data. Jika jaringan tidak bermasalah, pembuatan KTP-el bisa selesai dalam 10-15 menit.

 

Lain cerita ketika jaringan bermasalah. Proses bisa mencapai 2 hari bahkan 2 minggu. Sebagai contoh, cuitan akun Twitter resmi Disdukcapil Kabupaten Blora menyatakan masyarakat perlu menunggu 2 hari hingga 1 minggu setelah direkam datanya. Selain itu, mengutip artikel Tirto.id, Kepala Satuan Pelaksana Dukcapil Kelurahan Joglo, Jakarta Barat menyatakan pihaknya sering mengalami kendala penunggalan data sehingga proses penerbitan dokumen memakan waktu berbulan-bulan.

 

Selain kendala teknis, masyarakat masih dihadapkan dengan sulitnya memenuhi persyaratan dan besarnya biaya transportasi karena harus bolak-balik ke lokasi layanan. Terlebih jika persyaratan yang perlu dipenuhi melibatkan instansi lain. Sebagai contoh, agar bisa mendapatkan akta kelahiran dengan kedua nama orang tua, salah satu persyaratannya harus ada bukti perkawinan orangtua yang sah. Bagi pasangan menikah beragama Islam harus memiliki Buku Nikah, sementara untuk pasangan menikah beragama lainnya perlu menunjukkan akta perkawinan secara agama masing-masing.

 

Berdasarkan survei rumah tangga di wilayah terpilih (Bappenas, 2015), sebanyak 41% pasangan menikah tidak bisa menunjukkan bukti perkawinannya. Begitupula untuk mendapatkan KTP-el, penduduk harus memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK) atau namanya tercantum di dalam KK. Berdasarkan studi yang sama, ada 22% anak di rumah tangga sampel yang belum terdaftar di KK keluarganya. 

 

Kemampuan masyarakat melengkapi persyaratan juga dipengaruhi oleh akses mereka pada layanan yang hanya ada di pusat kota atau kabupaten. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2016 setidaknya terdapat  33,7% atau sebanyak 27,6 juta anak tidak memiliki akta kelahiran dan menyatakan memiliki tetapi tidak dapat menunjukkan akta kelahiran. Sebanyak 33,9% (9,3 juta) dari jumlah tersebut menyatakan alasan tidak memiliki akta kelahiran karena tidak mempunyai biaya untuk mengurus dokumen. Sementara sebanyak 19,8% (5,4 juta) anak yang tidak memiliki akta kelahiran menyatakan dokumennya sedang diurus dan belum terbit.

 

Upaya perbaikan kualitas layanan administrasi kependudukan perlu didukung oleh penguatan kebijakan di tingkat pusat. Kebijakan, mekanisme dan sistem yang tersebar dan tidak terhubung dalam konteks administrasi kependudukan dan pencatatan sipil merupakan kendala utama di tingkat pusat. Sistem pengelolaan data kependudukan yang terdapat dalam dokumen KTP-el dan KK tidak terhubung dengan sistem pengelolaan data dokumen pencatatan sipil, seperti Akta Kelahiran, Akta Perkawinan dan Akta Kematian.

 

Hal ini menyebabkan banyaknya terjadi duplikasi data sehingga menyulitkan masyarakat dan penyedia layanan di daerah karena harus melakukan proses verifikasi dan validasi ketika mengurus dokumen kependudukan. Oleh karena itu, pemerintah pusat tidak bisa dengan mudah selalu menyalahkan pemerintah daerah karena masih banyak terdapat kendala yang sumbernya ada di tingkat pusat.

Tags:

Berita Terkait