Bayu Seto H, Ketua Asosiasi Pengajar HPI: RUU HPI Mengatur Boleh Tidaknya Memilih Hukum Asing
Wawancara

Bayu Seto H, Ketua Asosiasi Pengajar HPI: RUU HPI Mengatur Boleh Tidaknya Memilih Hukum Asing

Ikatan Alumni FH UI dan Kementerian Hukum dan HAM menggagas pentingnya RUU Hukum Perdata Internasional. Hubungan lintas negara berpotensi menimbulkan sengketa hukum keperdataan.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Bayu Setyo Hardjowahono. Foto: Aji Prasetyo
Bayu Setyo Hardjowahono. Foto: Aji Prasetyo

Globalisasi dan semakin intensifnya hubungan antarnegara membuat hubungan-hubungan hukum semakin kompleks. Konflik antar warga negara yang terikat hukum yang berbeda, sengketa dalam keluarga yang terikat perkawinan campuran, dan kontrak-kontrak pengusaha lintas batas hanya sebagian contoh kecil yang membuat pentingnya hukum perdata internasional (HPI).

 

Kehadiran HPI semakin dirasakan pentingnya ketika muncul kasus-kasus hukum yang mengandung anasir asing. Persoalan hukum keperdataan dapat sewaktu-waktu muncul -- dan sudah sering terjadi—manakala salah satu atau kedua pihak dalam relasi lintas-negara berselisih mengenai hubungan hukum mereka, masalah kontrak misalnya. Sengketa melalui arbitrase internasional sudah beberapa kali menyeret pemerintah Indonesia berhadapan dengan perusahaan multinasional.

 

Asosiasi pengajar Hukum Perdata Internasional telah lama menaruh perhatian pada masalah ini. Asosiasi telah mendorong lahirnya suatu Rancangan Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia (RUU HPI) bekerjasama dengan para pemangku kepentingan. Badan Pembinaan Nasional bersama Asosiasi juga telah mengadakan diskusi membahas beragam isu HPI. Pada 22 November lalu, misalnya, BPHN dan Ikatan Alumni Fakultas Hukum UI menggelar konsinyasi RUU HPI di Tangerang Selatan.

 

Di sela-sela acara itu, hukumonline berkesempatan mewawancarai Bayu Seto Hardjowahono, Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Perdata Internasional. Pria yang sehari-hari mengajar di Fakultas Hukum Universitas Parahyangan Bandung itu menyampaikan apa urgensi HPI dan implikasinya dalam perundang-undangan. Salah satu yang mendapat sorotan akademisi lulusan doctor dari Rijksuniversiteit Groningen Belanda ini adalah putusan pengadilan asing. Orang yang mau investasi di Indonesia, kata Bayu, akan melihat bagaimana HPI dari negara tersebut.

 

Berikut petikan wawancara Aji Prasetyo dari hukumonline dengan Bayu Seto Hardjowahono, yang berlangsung pada Jum’at (22/11) lalu.

 

Apa sebenarnya urgensi usulan RUU HPI?

Rencana pembangunan Indonesia diarahkan terutama peningkatan ekonomi, peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan menciptakan berbagai aturan hukum. Cuma, kalau aturan hukum sudah melibatkan (orang asing) atau hubungan kontraktual ada unsur asingnya, maka mau tidak mau melibatkan hukum asing, melibatkan pengadilan asing. Sistem hukum Indonesia, walaupun bagaimana hukum materiilnya tapi kalau tidak ada undang-undang HPI-nya pengadilan Indonesia boleh tidak mengadili perkara yang melibatkan Indonesia tapi ada unsur asingnya? Di situ undang-undang HPI yang bekerja. Lalu, kalau pengadilan Indonesia memeriksa perkara yang ada unsur asingnya, memberlakukan hukum mana, mungkinkah dia tidak memberlakukan hukum asing dalam perkara itu? Kenapa memberlakukan hukum asing? Karena menurut dia itu lebih adil menyelesaikan perkaranya lebih melindungi kepentingan Indonesia. Hukum Indonesia belum tentu melindungi kepentingan Indonesia dalam kasus tertentu, mungkin hukum asing yang lebih bisa mem-protect Indonesia. Undang-Undang HPI itu bisa memberikan pedoman boleh tidaknya memilih hukum asing. Di samping itu, kalau ada putusan pengadilan asing, misalkan kepailitan, sebuah perusahaan yang punya aset di Indonesia, didirikan di Hongkong misalnya, apakah putusan pengadilan Hongkong mau diakui  di sini dan bisa dilaksanakan? Kenapa? Karena kalau bisa dilaksanakan kita membayangkan kurator dari Hongkong datang ke sini dan menyita tanah di Indonesia. Ya jangan seenaknya dong. Ini (berkaitan dengan) kedaulatan negara. Hakim (di Indonesia) dalam hal itu apa dia selalu menolak putusan asing atau kalau dianggap perlu dan adil malah bisa mengakui putusan asing, bagaimana soal-soal itu diatur dalam UU HPI? Karena tidak ada yang mengatur selain di Pasal 16,Pasal 17, dan Pasal 18 AB (Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesiered), peninggalan Belanda itu. Kalau kita mau membangun UMKM, Omnibus Law dan sebagainya itu yaitu dibarengi dengan Undang-Undang HPI yang mumpuni karena bisa dalam peristiwa hukum tertentu menyebabkan peraturan perundang-undangan yang mau melindungi kepentingan UMKM atau kesempatan kerja dijamin bisa berlaku.

 

Prakteknya selama ini apakah pengadilan di Indonesia mengakomodasi putusan pengadilan asing, atau malah menolaknya?

Menolak, karena Pasal 436 dari RV (Rechtsvordering—Red) mengatakan pengadilan Indonesia tidak mengakui putusan pengadilan asing. Baru bisa diterima kalau diajukan perkara baru. Padahal itu kan bertentangan dengan prinsip kalau putusan pengadilan asing berkekuatan hukum tetap harusnya tidak bisa diajukan lagi dengan perkara yang sama, fakta yang sama tapi karena RV itu ya tolak saja, orang asing malas untuk mengajukan. Itu karena selain prosesnya mahal biaya, putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap pengadilan asing tidak diakui di Indonesia.

 

Apa implikasinya jika RUU HPI ini tak dibahas dan masuk Prolegnas?

Kita punya sistem HPI yang sangat tertinggal karena dibuat di abad ke-18 oleh Belanda yang dulu kepentingannya sama sekali jauh dari kebutuhan perkembangan sekarang. Mana ada kebutuhan zaman dahulu atas, misalnya,  keuangan virtual (e-money) dan sebagainya. Orang tidak berpikir eksternal saat itu. Tapi sekarang orang melihat HPI Indonesia bagaimana. Orang mau berinvestasi, melihat HPI-nya agar ada jaminan jika sengketa diadili di pengadilan Indonesia. Mereka ingin tahu diselesaikan dengan cara apa. Lawyer-lawyer asing itu pasti ingin kepastian hukum. Kalau tidak ada mereka bisa bilang ke kliennya agar jangan ke Indonesia.

 

(Baca juga: RUU Ini Bakal Atur Hubungan Keluarga yang Mengandung Unsur Asing)

 

Kalau sisi akademis, seperti apa?

Dari sisi akademis, kalau sampai ini jadi Undang-Undang HPI berarti seluruh sistem pengajaran HPI berubah, karena sekarang cuma pakai Pasal 16, Pasal 17, dan 18 AB itu saja diutak-utik. Sementara teori sekarang ya masih ada di situ, ditambah sejarah perkembangan. Padahal banyak yang baru. Kalau kita sudah udah punya undang-undang HPI, itu para hakim, jaksa, dan stakeholders lain seperti lawyer dan notaris menjadi terikat undang-undang. Itu pentingnya RUU itu menjadi Undang-Undang.

 

Kalau HPI tidak jadi undang-undang, dari sisi akademis akibatnya apa?

Hukum Perdata Internasional jadi dipertanyakan. Itu pertama kali yang ditanyakan sebelum orang mau masuk ke Indonesia untuk berinvestasi. Di Korea Selatan jauh lebih maju.

 

Ada berapa negara di sekitar kita yang sudah menggunakan UU HPI?

Ada Vietnam, China, Jepang, dan Korea Selatan itu mitra dagang ASEAN. Filipina lagi membangun tapi dia tertinggal juga sama kayak kita. Seperti negara-negara seperti Brunei, Singapura, mereka kan Common Law jadi putusan-putusan pengadilan yang lebih berarti tapi asas HPI nya mengikuti perkembangan jaman karena hakimnya melihat apa ada asas baru yang up to date, harusnya Indonesia seperti ini tapi karena Indonesia tradisi hukumnya Civil Law, ya kita harus pakai pola yang dipakai di Belanda, Korea, China. Kalau Anda perhatikan UU HPI China itu ada bagian khusus yang khusus melindungi kepentingan nasional.

 

Itu berpengaruh tidak sama minat mahasiswa yang ingin mengambil Fakultas Hukum, mereka tertarik perdata tetapi tidak ada HPI? Jadi mereka kuliah di luar negeri, tapi kan nanti belum bisa diterapkan di Indonesia?

Ya iya, kalau dia nanti balik ke Indonesia, ya enggak kepake, itu yang menyebabkan sebagian praktek ke luar negeri saja.

 

Bagian HPI yang paling krusial?

Tergantung perspektifnya, iya (banyak aspek) makanya diatur nanti di bidang hukum khusus, bukan di UU HPI, UU HPI nanti hanya menjamin bahwa hukum Indonesia itu berlaku atau nanti mungkin hukum asing yang berlaku.

 

Jadi itu apa hukum Indonesia yang berlaku atau hukum asing yang berlaku di beberapa kasus?

Iya, makanya saya bilang tadi jalannya harus seiring. UU HPI kita sebagus UU HPI Belanda, bermaksud untuk melindungi tapi hukum Indonesia sendiri belum melindungi, hukum materiilnya, hukum sektoralnya, jual-beli, ekspor impor ya tidak ada gunanya UU yang bagus itu.

 

(Baca juga: Urgensi RUU HPI Menurut Tokoh Hukum)

 

Siapa saja pihak yang harusnya memperhatikan HPI ini?

Sebenarnya menurut pendapat saya yang paling utama hakim, cara yang tau metode yang tau berfikirnya hakim. Langkah berfikirnya saja dulu. Sampai sekarang masih kita jumpai hakim yang sudah tahu berlakunya hukum asing. Tapi kan ini diajukan di Indonesia, sehingga yang berlaku hukum di Indonesia. Keliru itu. Sudah jelas ada pilihan hukum, tapi karena dia di Indonesia pilihan hukumnya bisa diabaikan. Keliru lagi itu. Jadi yang paling concern itu, baru lawyer-lawyer, untuk menyusun kontraknya, untuk membela kliennya. Argumentasi HPI yang modern kan harus bisa diperjuangkan di pengadilan. Tapi ketika diperjuangkan hakimnya masih seperti itu, ya percuma juga.

 

Jadi kalau lawyernya sudah concern, sudah bisa meyakini kliennya tapi hakimnya masih menganggap HPI tidak bisa digunakan, kita pakai aturan lama saja?

Itu sering sekali negatif ya. Situasi itu digunakan lawyer asing untuk menasihati kliennya gugat aja di Indonesia kenapa karena lawyer asingnya tau hukum di Indonesia lemah dan kalau diadili itu kan pakai hukum di Indonesia dan pakai hukum di Indonesia klien mereka yang orang asing itu bisa untung, kita yang rugi.

 

Banyak contoh perkara seperti itu?

Tidak banyak dalam arti peradilan di Indonesia yang menangani unsur asingnya penyelesaiannya sangat terbatas pada pasal 16, Pasal 17, dan pasal 18 AB. Kalau kasusnya banyak terus terang saya harus riset. Tapi dari beberapa perkara yang saya tahu itu pemikiran hakim kita perlu dibangun.

 

Program asosiasi terkait HPI?

Pertama asosiasi mau bersama-sama meningkatkan kualitas dosen-dosen HPI di Indonesia dan itu sekarang anggotanya dari Aceh sampai Indonesia Timur. Pertama kita menyusun bahan ajar yang minimal sama di seluruh Nusantara. Minimal ada standar minimum. Tapi kalau dibandingkan dengan UI yang sudah maju, mungkin mereka pakai teori yang lanjut. Tapi terserah, yang penting lulusan sarjana hukum di Indonesia yang lolos mata kuliah HPI punya basic yang kurang lebih sama, mereka tahu a, b, c, dan d saja. Kalau di UI atau di Unpad jadi e, f, g, dan h terserah tapi basic-nya sama semua, tujuan utamanya itu, karena itu menjadi asosiasi pengajar. Tapi karena minat dari lawyer, “Saya juga ingin, saya bukan pengajar saya birokrat” karena itu ditambah asosiasi pengajar dan pemerhati. Birokrat juga masuk terutama Kemenlu dan Kemekumham itu ya kita mau ikutan dong. Awalnya itu asosiasi kita mau ada standar mutu.

Tags:

Berita Terkait