Begini KPK Memaknai Kiswah yang Diterima Suryadharma Ali
Berita

Begini KPK Memaknai Kiswah yang Diterima Suryadharma Ali

Suryadharma : Berarti doa untuk pejabat juga bisa disebut gratifikasi.

NOV
Bacaan 2 Menit
Suryadharma Ali membacakan eksepsi di ruang sidang Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (7/9). Foto: RES
Suryadharma Ali membacakan eksepsi di ruang sidang Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (7/9). Foto: RES

Mantan Menteri Agama Suryadharma Ali bersikukuh dirinya tidak diperkaya atau diuntungkan dalam penyelenggaraan haji 2010-2013. Bahkan, dalam eksepsinya, Suryadharma mempermasalahkan tindakan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menjadikan sepotong kiswah sebagai barang bukti untuk perkaranya.

Kiswah sendiri adalah kain penutup ka'bah yang biasa diganti setiap tahun ketika jemaah haji berjalan ke Bukit Arafah pada bulan Zulhijah. Dahulu, kiswah dianggap berharga karena bertaburan emas dan permata. Suryadharma berdalih kiswah yang diterimanya bisa jadi tidak asli dan dijual toko kaki lima di Mekkah dan Madinah.

Akan tetapi, menurut penuntut umum KPK Abdul Basir, pengertian "memperkaya" atau "menguntungkan" yang didapat dari tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor tidak melulu diukur dengan nilai uang, melainkan dapat dinilai dari sisi historis dan religiusitas.

Oleh karena itu, Abdul menilai, tidak relevan jika suatu benda hasil korupsi dimaknai semata-mata dengan nilai uang. "Banyak benda mahal justru bernilai bukan dari nilai intrinsiknya, tapi dari penilaian sisi lainnya, seperti faktor historis dan religiusitas," katanya saat membacakan tanggapan atas eksepsi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (14/9).

Abdul menjelaskan, para pendiri bangsa, sejak tahun 1958 telah merumuskan tindak pidana korupsi tidak hanya memperkaya atau menguntungkan diri sendiri, tetapi juga orang lain atau korporasi. Rumusan tindak pidana korupsi yang diatur dalam berbagai peraturan sejak tahun 1957 itu ternyata sejalan pula dengan doktrin para ahli hukum.

Sebut saja ahli hukum Leisle Palmer. Dalam bukunya yang berjudul "The Control of Birocratic Corruption", Palmer menyatakan "The term of private is to be understood as not limited to the official, but also including a group or class with which he identifies, while profit should be taken to cover all forms of advantages or benefit, not merely financial".

Berdasarkan pendapat Palmer tersebut, lanjut Abdul, dapat disimpulkan bahwa pendapat pihak Suryadharma yang menganggap suatu benda yang didapat oleh terdakwa akibat tindak pidana korupsi yang dilakukannya semata-mata diukur dengan nilai uang. Pasalnya, banyak benda mahal yang dianggap bernilai dari sisi lain.

Selain itu, Abdul menyayangkan dalil tim pengacara Suryadharma yang memaknai secara sempit frasa "memperkaya" atau  "menguntungkan" dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Tipikor. Padahal, jika dibaca secara lengkap frasa itu berbunyi “memperkaya” atau "menguntungkan" diri sendiri, orang lain, atau korporasi.

Jadi, Abdul berpandangan, sangat naif jika pengacara Suryadharma memaknai tindak pidana korupsi yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Tipikor hanya dari berapa banyak uang hasil korupsi yang dinikmati terdakwa. Pemaknaan seperti itu dianggap sebagai kemunduran berpikir dan berhukum dalam pemberantasan korupsi.

"Pemikiran seperti itu secara langsung mengkerdilkan upaya pemberantasan korupsi, karena korupsi hanya dipandang sebagai perbuatan memperkaya/menguntungkan terdakwa saja, sehingga tidak dapat menjangkau tindak pidana korupsi yang memperkaya/menguntungkan keluarga, orang dekat, kader dari partai terdakwa, serta pihak lainnya," ujarnya.

Lebih lanjut, Abdul membantah jika surat dakwaan kabur (obscuur libel), serta tidak disusun secara cermat, jelas, dan lengkap. Menurutnya, walau dalam surat dakwaan terdapat kesalahan ketik mengenai alamat terdakwa yang seharusnya Jl. Jaya Mandala menjadi Jl. Mandala, tidak mengakibatkan dakwaan menjadi kabur.

Begitu pula dengan tidak dicantumkannya titel Haji dan gelar Suryadharma sebagaimana yang tercantum dalam KTP. Abdul menilai tidak dicantumkannya titel Haji dan gelar Suryadharma dalam surat dakwaan tidak menjadikan dakwaan error in persona. Terlebih lagi, Pasal 143 KUHAP hanya mengharuskan pencantuman nama lengkap terdakwa.

Mengenai uraian dakwaan yang dianggap pengacara tidak cermat, dan tidak lengkap, Abdul berpendapat, dalil tersebut tidak beralasan secara hukum. Sebab, penuntut umum telah mencantumkan tempus dan locus delicti, serta menguraikan perbuatan sesuai unsur-unsur pasal yang didakwakan  terhadap Suryadharma.

Terkait materi eksepsi lainnya, seperti adanya pihak-pihak lain yang menerima sisa kuota haji, keikutsertaan istri Suryadharma dalam rombongan haji yang telah mendapat persetujuan tertulis dari Presiden, serta kiswah yang bisa jadi tiruan karena banyak dijual di toko kaki lima di Mekah dan Madinah, Abdul tidak ingin menanggapi.

Abdul menyatakan materi-materi eksepsi tersebut tidak masuk dalam lingkup materi eksepsi yang diatur KUHAP, melainkan sudah masuk materi pembuktian pokok perkara. Dengan demikian, Abdul meminta majelis hakim yang dipimpin Aswidjon untuk menolak seluruh eksepsi Suryadharma dan pengacaranya.

"Memohon kepada majelis menyatakan surat dakwaan No.Dak-28/24/08/2015 tanggal 21 Agustus 2015 yang telah kami bacakan pada tanggal 31 Agustus 2015 telah memenuhi syarat sebagaimana ditentukan dalam KUHAP dan menetapkan untuk melanjutkan persidangan ini berdasarkan surat dakwaan penuntut umum," tuturnya.

Suryadharma merasa kecewa dengan tanggapan atas eksepsi yang disampaikan penuntut umum. Selain karena penuntut umum tidak menanggapi sejumlah materi eksepsi, juga karena adanya perbedaan pandangan soal kiswah. Ia berpendapat, sepotong kiswah tidak mempunyai nilai ekonomis, melainkan hanya nilai agamis dan spiritual.

Selain itu, Suryadharma merasa tindakan KPK yang menjadikan kiswah sebagai barang bukti dalam perkara korupsi sebagai bentuk penistaan agama. Menurutnya, penindakan hukum tidak seharusnya menistakan agama. Ia menduga majelis hakim akan menolak eksepsinya karena banyak materi eksepsi yang dinilai harus dibuktikan di persidangan.

"Kalau menurut penuntut umum (kiswah) bisa dijadikan barang bukti, bisa riskan penyelenggaraan hukum di Indonesia. Artinya, doa untuk pejabat bisa disebut gratifikasi. Hukum itu harus mempertimbangkan aspek sosiologis, filosofis, adat istiadat, dan agama. Kalau agama tidak lagi jadi pertimbangan, hapus saja Pancasila," tandasnya.

Tags:

Berita Terkait