Begini Proses Penyelesaian Pelanggaran Kode Etik Advokat di Peradi
Utama

Begini Proses Penyelesaian Pelanggaran Kode Etik Advokat di Peradi

Penindakan adanya dugaan pelanggaran kode etik advokat, harus terdapat laporan terlebih dahulu yang diterima Dewan Kehormatan Peradi agar bisa diperiksa. Putusan DKD bisa diajukan banding ke DKP sebagai putusan tingkat akhir.

Ferinda K Fachri
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi organisasi advokat: BAS
Ilustrasi organisasi advokat: BAS

Di tengah hebohnya perihal pengunduran diri Advokat Senior Hotman Paris Hutapea dari keanggotaan DPN Peradi, terdapat pengaduan dugaan pelanggaran kode etik atas dirinya di Dewan Kehormatan Peradi yang dilayangkan oleh Hotma P.D. Sitompoel. Atas pengaduan tersebut, Dewan Kehormatan Daerah (DKD) Peradi DKI Jakarta telah mengeluarkan Putusan No.45/PERADI/DKI-JAKARTA/PUTUSAN/IX/2021 pada 29 September 2021 yang menyatakan Hotman Paris tidak terbukti melakukan pelanggaran kode etik. Kemudian putusan itu diajukan banding.

Akan tetapi, sesuai permohonan banding yang diajukan, Dewan Kehormatan Pusat (DKP) Peradi memutus sebaliknya. Dalam amar Putusan No.19/DKP/PERADI/I/2022 pada 12 April 2022 lalu, membatalkan Putusan Dewan Kehormatan Daerah DKI Jakarta. Dewan Kehormatan Pusat juga menyatakan teradu Hotman Paris terbukti melanggar Pasal 6 huruf b, d, dan f UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat, Pasal 4 huruf a dan Pasal 3 huruf g dan h Kode Etik Advokat Indonesia.

Untuk itu, Hotman mendapat hukuman berupa pemberhentian sementara dari profesi Advokat selama 3 bulan. Dalam putusan yang telah berkekuatan hukum tetap itu disebutkan Hotman dilarang menjalankan profesi advokat di luar maupun di muka pengadilan selama masa pemberhentian sementara (skorsing) yang dimulai dari tanggal 20 April 2022 sampai 20 Juli 2022. 

Baca:

Lalu, melalui Surat Resmi Komisi Pengawas Peradi selaku pelaksana eksekusi tertanggal 20 April 2022, isi putusan Dewan Kehormatan Pusat Peradi tersebut telah disampaikan kepada Ketua Mahkamah Agung RI M. Syarifuddin agar dapat diteruskan kepada pimpinan-pimpinan pengadilan guna mengefektifkan penindakan pelanggaran kode etik advokat yang dilakukan oleh Organisasi Advokat Peradi. Hal itu sesuai SK DPN Peradi Nomor: KEP. 179/PERADI/DPN/XI/2021 tentang Perubahan SK DPN PERADI Nomor: KEP. 137/PERADI/DPN/XII/2016 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Eksekusi Putusan Dewan Kehormatan yang Telah Berkekuatan Hukum Tetap. 

Dalam keterangan resmi yang diterima Hukumonline, Hotma Sitompoel mengatakan materi pengaduannya terhadap Hotman Paris Hutapea kepada Dewan Kehormatan Peradi, bukan tentang pamer harta dan pamer perempuan, tapi terkait Hotman Paris Hutapea dalam menangani perkara rumah tangganya tidak mengupayakan jalan damai. Hotman Paris Hutapea dalam menangani perkara rumah tangga malah melakukan konferensi pers berkali-kali yang membuat perkara rumah tangganya semakin mencuat ke publik tanpa penyelesaian secara hukum.

“Hotman Paris Hutapea melakukan konferensi pers dan membuat postingan-postingan yang mendiskreditkan saya,” ujar Hotma dalam keterangannya, Selasa (19/4/2022) kemarin.

Hotma mengatakan Putusan Majelis Dewan Kehormatan Pusat Peradi tersebut telah berkekuatan hukum tetap, sehingga menurut hukum segala bentuk tindakan yang dilakukan oleh Advokat yang bernama Hotman Paris Hutapea dalam menjalankan profesi Advokat baik di dalam maupun di luar Pengadilan adalah cacat menurut hukum karena yang bersangkutan telah dijatuhi hukuman berupa pemberhentian sementara selama 3 bulan.

“Demi Hukum kami meminta kepada seluruh Institusi Penegak Hukum dan Institusi terkait lainnya untuk menolak segala bentuk pendampingan/bantuan hukum yang dilakukan oleh Hotman Paris Hutapea (Law Firm Hotman Paris & Partners),” kata Hotma.   

Hukumonline telah berupaya menghubungi untuk meminta keterangan/tanggapan Hotman Paris Hutapea mengenai putusan ini. Akan tetapi, hingga berita ini diterbitkan, Hotman Paris masih belum memberi tanggapan atas kasus pelanggaran kode etik ini.

Yang menjadi pertanyaan, bagaimana sebetulnya proses penyelesaian perkara kode etik advokat di Peradi? Simak penjelasan berikut ini!

Sebelumnya, Ketua Umum DPN Peradi Otto Hasibuan pernah mengatakan dalam penindakkan adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh seorang advokat, harus terdapat laporan terlebih dahulu yang diterima oleh Dewan Kehormatan agar bisa diperiksa.

"Sepanjang tidak ada pengaduan ke Dewan Kehormatan, kami tidak mencampuri kehidupan orang lain. Itu strictly harus saya sampaikan. Anda mau melakukan apa saja di luar sana, itu bukan urusan Peradi. Tapi kalau Anda dilaporkan, ya itu menjadi urusan Peradi. Jadi jangan pikir kami mencampuri urusan pribadi orang lain, tidak. Mau diperiksa atau tidak, harus ada pengaduan," ujar Otto saat konferensi pers di Sekretariat Nasional DPN Peradi, Senin (18/4/2022) lalu.

Pengaduan tersebut mulanya bisa dikirimkan kepada Dewan Kehormatan Daerah sesuai wilayah keanggotaan advokat Teradu. Terdapat sejumlah pihak yang bisa menjadi Pengadu kepada Dewan Kehormatan apabila terdapat dugaan adanya pelanggaran kode etik seorang advokat. Hal itu sebagaimana diatur Pasal 11 Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI).    

“Berdasarkan Pasal 11 KEAI yang dapat mengajukan pengaduan adalah klien, teman sejawat, pejabat pemerintah, anggota masyarakat serta DPP/DPD/DPC dari organisasi profesi dimana teradu menjadi anggota,” terang Ketua Dewan Kehormatan Daerah Jakarta Rivai Kusumanegara kepada Hukumonline melalui pesan singkatnya, Jum’at (22/4/2022).

Setelah mendapatkan pengaduan, dalam 7 hari Dewan Kehormatan Daerah terlebih dahulu akan memeriksa kelengkapan berkas pengaduan. Untuk selanjutnya dicatat pada buku register dan DKD membentuk Majelis Kehormatan Daerah yang akan memeriksa dan memutus pengaduan. Majelis Kehormatan dapat melakukan pemeriksaan pendahuluan bila dirasa perlu. Lalu berkas pengaduan akan dikirimkan kepada Teradu.

Selama 21 hari, Majelis Kehormatan Daerah akan menunggu dikirimkannya jawaban dari Teradu. Jika tidak kunjung dikirimkan jawaban maka akan disampaikan surat pemberitahuan resmi dengan tenggat waktu 14 hari untuk Teradu mengirimkan jawaban. Jika masih tidak mengirimkannya maka akan dijatuhkan putusan.

Sedangkan bila Teradu mengirim jawabannya, Majelis akan menetapkan hari sidang pertama. Dalam hal Pengadu dan Teradu menghadiri seluruh sidang, setidaknya terdapat 3 kali sidang hingga lahirnya putusan majelis. Tetapi jika Teradu tidak kunjung datang setelah dipanggil secara patut 2 kali berturut-turut, maka usai Sidang I akan dikeluarkan putusan.

“Pemeriksaan pertama ke DKD (Dewan Kehormatan Daerah) sesuai wilayah keanggotaan teradu, lalu atas putusan DKD bisa mengajukan banding ke DKP (Dewan Kehormatan Pusat). Putusan DKP itu tingkat akhir (final, red),” jelas Rivai.

Ia membeberkan khusus DKD DKI Jakarta, statistik perkara etik yang ditangani menunjukkan bahwa pengaduan terbanyak diterima atas aduan yang diajukan oleh klien. Dimana pengaduan-pengaduan yang diterima oleh DKD DKI Jakarta diperoleh melalui melalui e-mail [email protected] atau pos dengan alamat DKD Peradi DKI Jakarta Grand Slipi Tower lantai 11 Jl S. Parman Kav 22-24 Jakarta Barat 11480 untuk mempermudah akses pengaduan atas dugaan terjadinya pelanggaran kode etik.

“Kita mau langsung kerja karena sudah banyak pengaduan yang perlu ditindaklanjuti. Tadi kami lakukan rapat koordinasi dengan seluruh anggota DKD DKI Jakarta setelah beberapa hari lalu dilantik. Segera kami proses pengaduan-pengaduan yang masuk dimulai dengan proses pemeriksaan pendahuluan (hearing),” katanya.

Tags:

Berita Terkait