Begini Usulan Serikat Buruh untuk RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak
Terbaru

Begini Usulan Serikat Buruh untuk RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak

Pemeliharaan kandungan tak hanya menjadi beban ibu karena banyak faktor yang mempengaruhi kesehatan janin dalam kandungan seperti situasi kerja, hingga mendorong adanya daycare bagi anak buruh.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi. Foto: RES
Ilustrasi. Foto: RES

Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) ters menggelinding pembahasannya di DPR. Terakhir, Komisi VIII DPR mengundang sejumlah organisasi masyarakat sipil dan lembaga negara untuk memberikan masukan dalam rangka pengayaan materi RUU KIA.

Ketua Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI) Dian Septi Trisnanti, mengatakan organisasinya telah menyampaikan masukan untuk RUU KIA kepada Komisi VIII DPR. Sejumlah masukan yang diberikan antara lain batas usia anak 1.000 hari pertama kehidupan atau sampai 2 tahun sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (4) RUU KIA sebaiknya tidak dibatasi.

“Karena kalangan buruh berkepentingan mendorong daycare bagi anak buruh dan daycare itu tidak terbatas hanya 2 tahun tapi sampai usia sekolah,” kata Dian dikonfirmasi, Rabu (14/6/2023).

Baca juga:

Pemerintah harus mendukung ibu hamil memiliki kandungan yang sehat dan mekanisme kerja buruh agar tidak membebani ibu hamil. Jika pemberi kerja tidak mampu, negara harus memberikan insentif atau subsidi. Usulan itu perlu dilakukan untuk membenahi Pasal 3 RUU KIA, sehingga pemeliharaan kandungan tak hanya menjadi beban ibu karena banyak faktor yang mempengaruhi kesehatan janin dalam kandungan seperti situasi kerja.

Berbagai fakta yang kerap ditemui di tempat kerja selama ini seperti ruang laktasi jauh dari ruang kerja buruh atau ada digudang. Kemudian sistem kerja menggunakan target sehingga berkurangnya waktu kerja akan mengurangi target. Masih ada perusahaan yang memberikan cuti kelahiran hanya 1 bulan dan situasi kerja yang mendukung kesejahteraan ibu dan anak harus diatur dalam perubahan UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Soal cuti melahirkan 3 bulan dan tambahan cuti 3 bulan jika ada kondisi khusus yang dibuktikan dengan keterangan dokter sebagaimana diatur Pasal 4 ayat (3) RUU KIA menurut Dian ketentuan ini harus menjadi dasar untuk dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Diusulkan setiap perusahaan menyediakan fasilitas penitipan anak berbasis tempat kerja. Mempertegas ketentuan Pasal 11 ayat (2) RUU KIA, pemerintah daerah harus menyediakan fasilitas penitipan anak berbasis komunitas misalnya RPTRA difungsikan sebagai fasilitas penitipan anak.

Pasal 5 ayat (2) RUU KIA yang mengatur upah sebesar 75 persen pada bulan ke-5 dan ke-6 pada saat cuti melahirkan, pekerja dianggap sakit berkepanjangan, Dian menilai pasal ini diskriminatif bagi ibu melahirkan yang mengalami kondisi khusus seperti sakit. Aturan ini membuat ibu yang bekerja memilih untuk tetap bekerja dan tidak mengaku sakit untuk menghindari pemotongan upah.

Frasa ‘sesuai kesepakatan’ sebagaimana Pasal 7 ayat (2) huruf a RUU KIA diusulkan dihapus dan ditambah frasa ‘tanpa pengurangan upah’. Hal itu untuk mengantisipasi relasi kuasa yang tidak imbang antara pemberi kerja dan pekerja karena kadang terjadi intimidasi kepada buruh dari pihak pemberi kerja. Ketentuan ini harusnya menegaskan cuti tersebut tanpa mengurangi upah buruh.

“Kalau tidak disebut secara eksplisit tidak mengurangi upah buruh dalam praktiknya dapat terjadi pemotongan upah,” ujar Dian.

Pasal 9 RUU KIA yang mengatur ketentuan terkait cuti melahirkan merupakan bagian tak terpisahkan dari UU Ketenagakerjaan menurut Dian ketentuan ini lebih baik dihapus mengingat UU 13/2003 atau UU No.6 Tahun 2003 tentang Penetapan Perppu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU tidak mengatur cuti melahirkan 3 ditambah 3 bulan. Kemudian perlu ada indikator yang terukur untuk menetapkan suatu keluarga dapat berperan sebagai “keluarga pengganti” sebagaimana Pasal 11 RUU KIA.

Selanjutnya Pasal 21 RUU KIA menurut Dian harus dijelaskan lebih lanjut apakah kesejahteraan sosial yang dimaksud terkait BPJS atau dinas sosial?. Mengingat faktanya program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang digelar BPJS Kesehatan tidak mencakup manfaat berupa check up dan USG untuk buruh. Pasal 26 ayat (3) diusulkan ditambah “huruf d.keringanan Kerja,” dan menghapus frasa “dengan tetap memperhatikan kondisi dan target capaian kerja” sebagaimana tertuang dalam Pasal 26 ayat (4).

Kemudian Pasal 26 ayat (5) mengubah frasa “sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” menjadi “Dukungan fasilitas, akomodasi yang layak, sarana dan prasarana di tempat kerja sebagaimana di maksud pada ayat (3) wajib disediakan pemberi kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Dian menilai peraturan perundang-undangan yang dimaksud ketentuan itu adalah UU Cipta Kerja yang tidak mengatur kewajiban pemberi kerja untuk menyediakan dukungan fasilitas di tempat kerja yang mendukung kesejahteraan ibu dan anak.

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi VIII DPR Diah Pitaloka, mengajak seluruh organisasi masyarakat sipil dan serikat buruh untuk memberikan masukan pasal per pasal RUU KIA. Dia mengamini berbagai faktor sosial ekonomi dan politik menimbulkan persoalan terhadap ibu dan anak sehingga banyak regulasi yang mengatur hak normatif belum terlaksana optimal.

“Mari jadikan kesempatan masukan bagi RUU ini supaya menghasilkan kebijakan yang lebih baik bagi perlindungan dan kesejahteraan ibu dan anak,” imbuh politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu.

Tags:

Berita Terkait