Belajar dari Keteladanan Kartini di Bidang Politik
Terbaru

Belajar dari Keteladanan Kartini di Bidang Politik

Perempuan harus didorong dapat berkarya, perlu representasi perempuan di mana saja.

Willa Wahyuni
Bacaan 3 Menit
Para narasumber seminar hukum dalam kegiatan Indonesian Law Debating Competition Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Minggu (21/4/2024). Foto: WIL
Para narasumber seminar hukum dalam kegiatan Indonesian Law Debating Competition Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Minggu (21/4/2024). Foto: WIL

Masih dalam suasana Hari Kartini yang jatuh setiap tanggal 21 April lalu, sosok Kartini dalam memberangus dominasi patriarki diperbincangkan para pakar hukum dalam kegiatan Indonesian Law Debating Competition Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Minggu (21/4/2024) lalu. Guru Besar Hukum Pidana Harkristuti ‘Tuti’ Harkrisnowo, pakar Hukum Tata Negara Bivitri ‘Bibi’ Susanti, dan pakar Hukum Pemilu Titi Anggraini hadir sebagai narasumber.

“Kartini berani melawan dengan menuliskan pandangannya yang pada saat itu jarang dilakukan oleh banyak perempuan. Ia putri seorang bangsawan yang disekolahkan di sekolah bangsawan serta dikelilingi oleh bangsawan laki-laki, sehingga protesnya terhadap kondisi itu bukan untuk dirinya melainkan untuk lingkungan sekelilingnya,” ujar Tuti di hadapan para peserta.

Kartini menjadi pendobrak yang menghasilkan konsep modern yang dikenal saat ini sebagai emansipasi. Upayanya menjadi tonggak awal partisipasi aktif perempuan di Indonesia. Kini, perempuan masih harus membuktikan kompetensi dan kapasitasnya dalam bermasyarakat. Tidak terkecuali dalam bidang sosial dan politik. Berkat emansipasi yang diusung Kartini, perempuan Indonesia lebih diakui punya posisi seimbang dengan laki-laki.

Baca juga:

Tuti menilai bahwa masyarakat perlu mencatat seluruh kisah yang diceritakan oleh Kartini soal kondisi tidak bebas yang dialami perempuan pada masanya. Pergerakan perempuan di Indonesia yang terjadi sesudah Kartini tidak lepas dari inspirasi Kartini melalui bukunya. Tuti menyebut banyaknya organisasi perempuan yang lahir setelahnya seperti Putri Mardika dan Wanita Utomo sebagai bukti.

“Kita menyadari bahwa eksistensi kaum perempuan yang bisa bicara dengan bebas walaupun terkadang terjadi intimidasi itu banyak rintangannya. Tetapi partisipasi perempuan sudah mulai lebih baik dengan laki-laki di kehidupan saat ini,” imbuh Tuti.

Meski belum optimal, peran perempuan adalah unsur penting dalam demokrasi. Setidaknya saat ini perempuan memiliki hak dalam kebebasan berbicara. Perempuan tidak akan mencapai hal-hal yang ada saat ini tanpa inklusivitas untuk memenuhi aspirasi dan keinginan mereka.

Urgensi keikutsertaan perempuan dalam memperjuangkan hak-haknya juga ditekankan oleh Bibip selaku pakar Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera. Ia mengatakan dalam memperjuangkan hak tersebut perlu partisipasi perempuan dalam aktivisme politik.

“Perempuan memiliki beban ganda ketika bersaing di politik. Contohnya, demi mewujudkan impiannya, ia disodorkan dengan kewajiban rumah tangga dan pekerjaan rumah lainnya,” jelasnya. Untuk terus mendorong perempuan dapat berkarya, perlu representasi perempuan di di dalam sektor pengambilan kebijakan. Hal itu karena perempuan perlu menyadari bahwa posisinya sebagai pemangku kepentingan kebijakan publik akan ikut memengaruhi posisi kaum perempuan.

Menurutnya, setiap kebijakan bisa mempunyai dampak yang berbeda pada kelompok orang yang berbeda. Kelompok tersebut tidak hanya perempuan, tetapi juga kelompok terpinggirkan lainnya seperti masyarakat adat maupun kelompok disabilitas.

“Maka dengan itu, setiap pengambilan keputusan oleh pengambil kebijakan harus menyasar kelompok yang mempunyai kekhususan. Karena kita diciptakan itu berbeda, tidak ada yang sama,” ujarnya menambahkan.

Bibip menyinggung soal keterwakilan perempuan hanya sebanyak 22,1% di kursi legislatif untuk periode 2024-2029. Porsi ini harus ditelaah lagi. Ia mempertanyakan apakah persentase tersebut dapat mewakili kepentingan perempuan atau hanyalah soal keterwakilan simbolis semata.

“Apakah dalam tugasnya keterwakilan perempuan dalam DPR itu dapat memastikan undang-undang soal kekerasan seksual atau dapat menangani isu dalam negeri soal diskriminasi terhadap perempuan? Kalau mereka tidak mewakili itu semua, berarti keterwakilan ini hanyalah sebagai simbolis,” ujar Bibip.

Bibip melihat bahwa pesta demokrasi Indonesia cenderung tidak memberi ruang representasi yang seluas-luasnya bagi perempuan dan kelompok marginal. Persoalan bias gender ini tidak selalu dapat dikembalikan kepada moral. Bisa jadi masalahnya bukan soal moral, tetapi masalah struktural.

“Yang membuat perempuan tidak bisa masuk ke dalam perdebatan dan memperjuangkan kepentingannya dalam politik dapat tercermin dari kebijakan yang susah didorong keterwakilan perempuan di dalamnya,” ujar Bibip.

Tags:

Berita Terkait