Belajar dari Polemik Putusan MK
Kolom

Belajar dari Polemik Putusan MK

Jelas terlihat, salah paham terhadap putusan merupakan episentrum persoalan. Fatal akibatnya.

Bacaan 2 Menit

 

Ketiga, bila ragu harus bertanya. Putusan MK berisi bangunan ide dan logika konstitusional dengan bahasa-bahasa hukum yang orang awam agak sulit memahami dengan sekali dua kali baca. Putusan 46/PUU-XIV/2016 sendiri, penuh dengan bahasa hukum yang familiar bagi penstudi hukum, tetapi asing bagi orang awam.

 

Hal inilah yang membuat orang lebih suka bertanya ketimbang membaca. Itu boleh-boleh saja dilakukan. Tetapi, seperti kata Confusius, bertanyalah kepada orang yang tepat, yang betul-betul paham. Dnegan begitu, jawaban yang dicari diketemukan.  

 

Terkhusus bagi orang yang kecewa karena pendapatnya tak dipakai MK, perlu diingat bahwa MK bisa memutus dengan pertimbangan sendiri, dengan keadilannya sendiri. Hal demikian dijumpai dalam redaksional pada setiap bagian akhir permohonan perkara pengujian UU. Setelah menyampaikan apa yang diminta (petitum), Pemohon menyatakan: Jika Majelis Hakim berpendapat lain, mohon putusan seadil-adilnya (ex aequo et bono).

 

Kalimat itu memiliki makna filosofis mendalam, yaitu sebagai bentuk penyerahan sepenuhnya kepada MK untuk menjawab persoalan hukum konstitusi yang sedang dialami. Konsekuensi dari penyerahan itu, apapun putusan MK haruslah diterima, dihormati dan ditaati sebagai hukum, betapapun tak sesuai dengan pendapatnya.

 

Sesudah ada putusan MK, tak boleh lagi menyalah-nyalahkan putusan yang sudah menjadi hukum yang berlaku mengikat. Itulah ukuran dan bentuk kedewasaan dalam berhukum. Kultur itu pula yang dibutuhkan bangsa ini untuk menegakkan supremasi hukum.

 

Akhirnya, segala penjelasan terhadap Putusan 46/PUU-XIV/2016 sudah banyak diberikan. Mengutip cuitan Nadirsyah Hosen, penjelasan hanya bermakna bagi mereka yang masih mau saling belajar, membuka hati dan pikiran. Tapi gak ngefek buat mereka yang terlanjur mengidap virus kebencian. Jika virus benci kepada MK sudah bersarang, entah kepada hakimnya, kepada putusannya, atau kepada apapun yang beraroma MK, kemanapun MK melangkah tak akan ada benarnya.

 

*)Fajar Laksono Suroso. Menyelesaikan Studi di Program Doktor Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Brawijaya.

 

Catatan Redaksi:

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline

Tags:

Berita Terkait