Belajar Perbandingan Sistem Peradilan Pidana Melalui Drama Korea (Bagian 2)
Kolom

Belajar Perbandingan Sistem Peradilan Pidana Melalui Drama Korea (Bagian 2)

​​​​​​​Melalui kerja sama para periset hukum dengan para sineas serta produser film bisa secara cepat membuat film yang menguliti konteks dan budaya penegakan hukum di tanah air.

Bacaan 5 Menit

Seperti halnya telah dikemukakan oleh banyak studi, pembuktian kasus kekerasan seksual utamanya yang melibatkan pelaku dengan latar belakang politik yang kuat cukup sulit. Sebagaimana tergambar dalam film ini, upaya untuk meyakinkan aparat peradilan terkait adanya alasan pembelaan diri dalam kasus kejahatan seksual juga menjadi cukup menantang. Ini yang barangkali menjadi perhatian banyak pihak di Indonesia saat mendesakkan urgensi pengaturan penghapusan kekerasan seksual.

Kasus lain yang mungkin dapat kita refleksikan dari drakor ini dengan situasi di Indonesia saat ini adalah proses pemidanaan terhadap para buzzer yang dibayar oleh politisi untuk menaikkan pamor mereka sekaligus menjatuhkan lawan politik atau masyarakat yang kritis terhadap kebijakan yang mereka keluarkan.

Setting dalam drakor ini nampaknya juga diilhami oleh beberapa kasus riil di negeri ginseng tersebut. Pada tahun 2017 yang lalu misalnya, Pengadilan Tinggi Korea Selatan menghukum mantan direktur Badan Intelijen Nasional Won Sei-hoon empat tahun penjara karena memberikan perintah kepada agen intelijen untuk memposting ribuan komentar online dan 1,2 juta postingan di Twitter yang menyebarkan isu bahwa oposisi pemerintah merupakan simpatisan Korea Utara.

Preseden serupa dapat kita lihat di kasus mantan menteri pertahanan Kim Kwan-jin yang dijatuhi hukuman penjara dua tahun enam bulan penjara pada Februari 2019 karena telah memobilisasi unit komando di dunia maya untuk melakukan kampanye kotor melawan kandidat dari oposisi dalam pemilihan umum tahun 2012 demi kepentingan petahana.

Absennya pengaturan tentang perlindungan data pribadi dan belum adanya pengaturan pemidanaan terhadap buzzer yang merisak dan menghalalkan segala cara untuk mempengaruhi opini publik menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan saat ini di tanah air. Dari film ini kita tahu, bukan tidak mungkin melakukan pemidanaan terhadap buzzer yang melakukan manipulasi fakta demi kepentingan politik praktis.

Sebagaimana film-film Korea Selatan dengan plot hukum lainnya kita juga akan disuguhi sekuen tentang perselingkuhan politik antara aparat penegak hukum dengan para politisi yang sedang berkuasa. Dari banyak riset, sesungguhnya kita akan mafhum bahwa isu penegakan hukum tidak akan jauh dari kepentingan politik rezim yang berkuasa (Skinner 2015).

Khusus di Korea Selatan, kewenangan yang cukup besar yang dimiliki oleh Kejaksaan membuat para politisi bahkan hingga level Presiden pun memilih untuk melakukan kompromi politik dengan para jaksa. Simbiosis mutualisme antara jaksa dan politisi ini dapat kita baca dalam disertasi Sun Woo Lee pada tahun 2014. Ini tentu tidak beda dengan kondisi sistem peradilan pidana di Indonesia, riset Jacqueline Baker (2012) tentang Polisi, Sebastiaan Pompe (2012) tentang pengadilan dan riset disertasi tentang Kejaksaan yang saya pertahankan di Leiden Januari 2021 kemarin menunjukkan keterkaitan erat antara sistem peradilan pidana dengan rezim politik yang berkuasa.

Tags:

Berita Terkait