Beragam Alasan Agar Pengesahan RUU Pertanahan Ditunda
Utama

Beragam Alasan Agar Pengesahan RUU Pertanahan Ditunda

Pengaturan penyelesaian konflik agraria dalam RUU Pertanahan hanya sebagai pelengkap (formalitas), bukan utama. RUU Pertanahan dinilai tidak melindungi dan menjamin rakyat, tapi lebih membuka peluang besar penguasaan tanah bagi korporasi melalui bank tanah dan pengelolaan tanah.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Gedung DPR. Foto: RES
Gedung DPR. Foto: RES

Pemerintah dan DPR masih menggodok RUU Pertanahan. Pembahasan RUU ini ditargetkan selesai dan disahkan sebelum masa jabatan DPR periode 2014-2019 berakhir. Dalam berbagai kesempatan, Pemerintah dan DPR kerap menyebut RUU Pertanahan ini hanya melengkapi ketentuan yang belum diatur UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

 

Namun demikian, banyak kalangan yang mengkritik substansi RUU Pertanahan, salah satunya Komnas HAM. Komnas HAM memandang RUU Pertanahan melanggengkan impunitas, pelanggaran HAM, dan bias konstitusi. Karena itu, Komnas HAM mendesak pemerintah dan DPR menunda pengesahan RUU Pertanahan.

 

Wakil Ketua Bidang Eksternal Komnas HAM Sandrayati Moniaga menilai RUU Pertanahan sejatinya tidak melengkapi UU No.5 Tahun 1960 dan tidak sejalan dengan konstitusi dan TAP MPR No.IX Tahun 2001. “RUU Pertanahan malah bertentangan dengan semangat dan mandat yang terkandung dalam berbagai peraturan itu,” kata Sandrayati saat dikonfirmasi, Jumat (6/9/2019). Baca Juga: DPR Minta Pembahasan RUU Pertanahan Libatkan Kementerian Terkait

 

Menurut Sandra, substansi RUU Pertanahan tidak mengutamakan penyelesaian konflik agraria yang banyak terjadi di masyarakat. Misalnya, RUU Pertanahan belum mengatur mekanisme penyelesaian konflik agraria yang memadai, khususnya dalam hal pemilikan, penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang menimbulkan sengketa.

 

Komnas HAM mencatat sedikitnya ada 9 poin RUU Pertanahan yang berkaitan dengan perspektif HAM. Pertama, pengabaian terhadap asas kemanusiaan yang menekankan pentingnya upaya perlindungan, pemenuhan dan penghormatan HAM dalam pembentukan RUU Pertanahan. Mengacu Pasal 6 huruf b UU No.11 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, asas kemanusiaan adalah kewajiban dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Sebab, persoalan agraria terkait erat dengan masalah HAM.

 

Kedua, Pasal 1 angka 12 RUU Pertanahan mengatur program reforma agrarian hanya diprioritaskan pada penataan aset dan akses dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan dengan menempatkan proses penyelesaian sengketa sebagaimana kondisi faktual yang terjadi saat ini sebagai pelengkap.

 

Ketiga, belum ada mekanisme penyelesaian konflik agraria yang komprehensif sebagai akibat dari kebijakan pemerintahan masa lalu yang otoriter. RUU Pertanahan hanya menyediakan penyelesaian melalui hukum formal melalui pengadilan pertanahan yang berpotensi memiliki keterbatasan wewenang untuk menyelesaikan konflik-konflik agraria yang diakibatkan kebijakan negara di masa lalu.

 

Keempat, Pasal 25 ayat (8) RUU Pertanahan dinilai akan melanggengkan impunitas terhadap korporasi yang dianggap sebagai pemegang hak menguasai lahan secara fisik melebihi luasan haknya. Komnas HAM mencatat dari 2,7 juta hektar lahan yang berkonflik karena konsesi (izin lahan), sebagian besar adalah tanah yang menjadi wilayah hidup masyarakat dan sebagian perusahaan itu diproses hukum oleh KPK.

 

Kelima, RUU Pertanahan dinilai melakukan pembiasan dan degradasi terhadap konsep pengaturan dan pengakuan masyarakat adat sebagaimana Pasal 18 UUD Tahun 1945 yang bersifat deklaratoir. Ini bisa dilihat dalam Pasal 4 ayat (2) dan (4) RUU Pertanahan yang mengatur kriteria masyarakat adat yang diakui dan kewajiban pembentukan peraturan daerah.

 

Keenam, penerapan asas kepastian hukum yang tidak proporsionalitas oleh Lembaga Penjamin (Pasal 56 RUU Pertanahan). Sebab, proteksi hak kepemilikan (property rights) hanya sebatas yang memiliki sertifikat. Padahal secara faktual, tanah-tanah rakyat termasuk masyarakat adat banyak yang tidak memiliki sertifikat. Apabila telah terlanjur diterbitkan sertifikat oleh lembaga pertanahan (BPN) tanpa adanya persetujuan dan mekanisme peninjauan seperti aturan sebelumnya.

 

Ketujuh, Pasal 25 RUU pertanahan dinilai mengabaikan akses masyarakat terhadap lahan/milik yang memperlama jangka waktu penguasaan hak guna usaha bagi konsesi perusahaan dari 35 tahun, diperpanjang 35 tahun dan 20 tahun atau totalnya 90 tahun. Kemudian Pasal 12 ayat (4) RUU Pertanahan permisif (longgar) terhadap penguasaan individual yang luas (5 hektar) dan apabila memiliki lahan di berbagai tempat hanya dikenakan pajak progresif.

 

Kedelapan, kolonisasi negara melalui penghidupan kembali asas domain verklaring melalui pengaturan Hak Pengelolaan yang memberi kewenangan penuh kepada pemerintah untuk mengatur hubungan hukum dan ketentuannya diatur dengan Penetapan Pemerintah. Ketentuan ini ada dalam Pasal 1 (ayat) 7 jo Pasal 8 jo Pasal 101 RUU Pertanahan.

 

Kesembilan, memperluas jerat pidana terhadap rakyat dengan penerapan/ketentuan yang ambigu melalui Pasal 13 RUU Pertanahan dengan mengancam pidana bagi yang menguasai dan memanfaatkan hak atas tanah yang bertujuan spekulatif. “Pengertian tersebut tidak jelas,” kritik Sandra. Baca Juga: Sejumlah Catatan Kritis atas RUU Pertanahan

 

Hanya kamuflase

Sementara YLBHI mencatat sedikitnya ada 3 RUU yang ditujukan mendorong percepatan masuknya investasi di Indonesia, salah satunya RUU Pertanahan. Ketua Manajemen Pengetahuan YLBHI Siti Rakhma Mary menilai secara umum RUU Pertanahan tidak melindungi rakyat. Dari pernyataan beberapa pejabat pemerintahan yang dikutip media, Rakhma yakin RUU ini memang ditujukan untuk memberi kemudahan bagi investasi dan mengakomodir kepentingan perusahaan.

 

Klaim RUU Pertanahan sebagai pelengkap UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, menurut Rakhma itu hanya kamuflase. “RUU Pertanahan justru mereduksi filosofi agraria sebagaimana amanat UU No.5 Tahun 1960. RUU ini menyamakan agraria dengan pertanahan,” kata Rakhma.

 

Rakhma berpendapat RUU Pertanahan membuka peluang besar bagi korporasi melalui bank tanah dan pengelolaan tanah. Tanah yang menjadi target bank tanah yakni tanah menganggur. Bank tanah dibentuk pemerintah berada di bawah Kementerian. Anggaran bank tanah berasal dari banyak sumber dan bisa didanai lewat utang.

 

Selain itu, RUU Pertanahan mengatur hak pengelolaan yang selama ini tidak dikenal dalam UU No.5 Tahun 1960. Hak pengelolaan ini diserahkan kepada perusahaan atau badan hukum. Bahkan setelah memiliki hak pengelolaan, perusahaan atau badan hukum tersebut bisa mendapat hak guna usaha (HGU) di atas tanah tersebut. Masa berlaku hak guna usaha juga diperpanjang maksimal 95 tahun.

 

Soal pengadilan pertanahan, Rakhma melihat Kementerian berfungsi sebagai pelaksana mediasi. Padahal, selama ini Kementerian merupakan salah satu pihak yang terlibat dalam konflik agraria. Rakhma yakin pengadilan pertanahan ini akan melemahkan hak rakyat terhadap tanahnya karena tidak memiliki bukti yuridis untuk dibuktikan di persidangan. Hukum acara yang digunakan dalam pengadilan pertanahan sama seperti peradilan perdata.

 

“Yang membedakan dengan pengadilan perdata yakni pengadilan pertanahan nanti ditangani hakim ad hoc,” kata dia.

 

Ketimbang pengadilan pertanahan, Rakhma mengusulkan penyelesaian konflik agraria dilakukan lewat Komite Nasional Penyelesaian Konflik Agraria. Komite ini sempat masuk dalam draft RUU Pertanahan, tapi sekarang dihapus. Mengenai Reforma Agraria, RUU Pertanahan tidak menjelaskan secara rinci karena hanya mengatur soal definisi, subyek, dan obyek. Kepemilikan tanah masyarakat hukum adat juga dilemahkan karena status masyarakat hukum adat ditetapkan oleh pemerintah.

 

Mengendalikan harga tanah

Terpisah, Ketua Panja RUU Pertanahan, Herman Khaeron, menyebut salah satu ketentuan yang diatur dalam RUU Pertanahan mengenai bank tanah yang diharapkan dapat mengendalikan harga tanah. Mengingat jumlah tanah yang terbatas dan penduduk semakin meningkat, negara harus melakukan intervensi dalam bentuk bank tanah.

 

Menurut Herman, RUU Pertanahan mendefinisikan bank tanah sebagai badan yang dibentuk oleh Pemerintah yang melaksanakan kegiatan menghimpun, mengolah, dan mendistribusikan tanah untuk kepentingan umum, sosial, pembangunan/investasi, dan pemerataan ekonomi.

 

“Jika tidak ada intervensi dari negara, negara tidak dapat mengontrol harga tanah, sehingga laju inflasi tidak dapat ditekan dan ketimpangan penguasaan tanah semakin lebar,” katanya sebagaimana dilansir laman atrbpn.go.id.

 

Senada, Menteri ATR/BPN Sofyan A Djalil mengatakan secara de facto saat ini negara tidak memiliki tanah, sehingga akan sangat sulit melakukan pembangunan. Dalam RUU Pertanahan ini diatur mengenai bank tanah milik negara. “Apabila akan melakukan investasi kita dapat berikan melalui bank tanah, di Vietnam semua tanah merupakan tanah negara, sehingga kemudian Samsung melakukan investasi di sana, karena perolehan tanahnya mudah,” kata dia mencontohkan.

 

Sofyan menambahkan RUU Pertanahan ini memberikan kepastian hukum, mengenalkan hak-hak baru, mengatur hak atas tanah dan ruang bawah tanah. “Semua prinsip tanah modern diatur dalam RUU ini,” katanya.

Tags:

Berita Terkait