Beragam Kendala Advokat Lakukan Pro Bono
Pro Bono Champions 2020:

Beragam Kendala Advokat Lakukan Pro Bono

Masih berbeda persepsi, tidak ada punish/reward hingga pihak yang bertanggung jawab terhadap pelaporan pro bono.

Aji Prasetyo
Bacaan 4 Menit
Hukumonline menggelar webinar bertema Tantangan dan Strategi Pelaksanaan Pro Bono di Tengah Pandemi, Rabu (16/12). Webinar ini merupakan rangkaian dari acara Hukumonline Award 2020 Pro Bono CHampions. Foto: RES
Hukumonline menggelar webinar bertema Tantangan dan Strategi Pelaksanaan Pro Bono di Tengah Pandemi, Rabu (16/12). Webinar ini merupakan rangkaian dari acara Hukumonline Award 2020 Pro Bono CHampions. Foto: RES

Pemberian bantuan hukum secara gratis yang dilakukan para advokat (Pro Bono) merupakan amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang menegaskan kewajiban advokat memberi bantuan hukum secara cuma-cuma bagi mereka yang tidak mampu. Namun sayangnya belum semua advokat melakukan hal itu, meskipun pro bono adalah kewajiban yang melekat kepada setiap individu advokat.

Kepala sub bagian Program bantuan hukum BPHN, Masan Nurpian, dalam diskusi daring dengan tema “Tantangan dan Strategi Pelaksanaan Pro Bono di Tengah Pandemi” yang diadakan Hukumonline mengugkap beragam kendala yang dihadapi para advokat dalam melakukan pro bono. Dari hasil evaluasi yang dilakukan para advokat yang bekerjasama dengan BPHN kendala pertama yaitu adanya perbedaan persepsi antar advokat mengenai pro bono.

Menurutnya, perlu ada panduan yang lebih rinci mengenai pro bono yang mengatur masalah teknis maupun opersional, sehingga tidak ada lagi persepsi yang berbeda tentang pro bono. “Kalau saat ini panduan yang sudah ada apa sudah terimplementasi dengan baik, siapa yang mereview. Solusi perlu ada panduan pro bono bagi advokat,” ujar Masan.

Kemudian mengenai skema penganggaran untuk pro bono juga dianggap belum jelas dan tegas. Bagaimana sumbangsih firma hukum untuk pro bono, apakah itu dalam bentuk insentif, atau dalam bentuk lain. Selanjutnya mengenai sanksi bagi mereka yang tidak melakukan pro bono juga belum ada kejelasan dan ketegasan. (Baca: Ini Para Pemenang Pro Bono Award 2020)

Selanjutnya sistem pelaporan atau data base dari setiap kegiatan pro bono juga belum diketahui kemana atau siapa yang mengurusnya. Apakah para advokat atau kantor hukum setelah melakukan pro bono melaporkan kepada asosiasi, pemerintah, atau lembaga tertentu? Terkait pelaporan ini juga menjadi permasalahan tersendiri.

“Kita juga harus beri penghargaan biar pelaku pro bono ini merasa diapresiasi. Apa yang dilakukan Hukumonline ini kita tidak perlu berdebat sanksi atau kewajiban, tapi konteks menggalakkan pro bono melalui reward yang dilakukan Hukumonline ini bagus sekali,” terangnya.

Masalah lain yang jelas-jelas dialami Masan yaitu tidak ada pendidikan pro bono dalam PKPA. “Saya pernah ikut PKPA, tapi materi probono tidak ada sama sekali, ya solusinya diagendakan pendidikan pro bono di setiap bar associate. Itu kan pro bono dari hati, mahasiswa masih murni dan ditunjukkan ke mereka untuk pro bono.

Meningkatkan kultur pro bono

Setelah menjelaskan berbagai kendala pro bono, Masan juga memberi saran bagaimana meningkatkan kultur pro bono para advokat khususnya di kantor hukum. Pertama memberi insentif yang tidak hanya dalam bentuk pembiayaan uang, tetapi juga memberi ruang dan apresiasi kepada mereka melakukan kewajiban tersebut.

Sementara terkait dengan unsur pemerintah, Masan mengakui Kementerian Hukum dan HAM khususnya BPHN tidak bisa sendiri mendorong pemberian bantuan hukum gratis. Harus ada pihak lain yang juga ikut bekerjasama agar budaya pro bono terus bisa dilakukan para advokat, misalnya adanya pengurangan pajak dan pro bono menjadi salah satu syarat kerjasama dengan BUMN.

“Peran pemerintah bukan bphn tapi instansi lain yang mampu mengarahkan advokat untuk pro bono, contoh pengurangan pajak untuk advokat yang melakukan pro bono. Apa ini bisa kita suntikkan ini ke iinstansi terkait, tapi database harus kuat dan kejelasan pro bono apa dan bagaimana. BUMN, itu mengharuskan lawfirm melakukan pro bono sekian tahun misalnya baru bisa kerjasama dengan perusahaan BUMN, dan advokat yang lakukan pro bono ngerasa dihargai,” terangnya.

Perspektif diperluas

Sementara, Direktur LBH Jakarta Arif Maulana menerangkan kriteria pro bono harusnya memang sudah diperluas tidak hanya masyarakat miskin semata tetapi juga mereka yang rentan hak asasinya dilanggar. Contohnya yaitu perempuan, anak, difabel, dan buruh migran yang juga mempunyai hak mendapatkan bantuan hukum secara cuma-cuma.

“Australian Pro Bono Center, memperluas siapa penerima probono, jadi bukan hanya miskin secara ekonomi tapi mereka yang bekerja di organisasi nirlaba yang memberi layanan masyarakat miskin, bisa dapat layanan pro bono. Dan tidak dibatasi konsultasi, pendampingan di pengadilan, pendidikan hukum termasuk mengadvokasi kebijakan,” ujarnya.

Di masa pandemi sekarang ini, kegiatan pro bono yang dilakukan LBH Jakarta dalam satu tahun terakhir lebih kepada pendidikan hukum secara online. Awalnya, LBH Jakarta mengunjungi beberapa lokasi kemudian berbincang mengenai pendidikan hukum, dan setelah itu perbincangan tersebut diunduh sehingga bisa disaksikan khalayak ramai.

Selain itu, pada 2018 lalu LBH Jakarta juga meluncurkan sistem rujukan pro bono. Menurutnya salah satu hambatan advokat enggan melakukan pro bono karena mereka tidak mempunyai klien untuk pro bono itu sendiri. Pada kondisi ini, LBH Jakarta berperan menjadi penghubung para pencari bantuan hukum dengan advokat yang membuka layanan pro bono. Hingga saat ini menurutnya LBH Jakarta sudah mempunya 71 partner dari 11 kantor hukum.

David Tobing, founder Adams & Co sependapat jika perspektif pro bono juga harus diperluas, tidak lagi hanya diberikan kepada orang tidak mampu tetapi juga demi kepentingan umum. “Pro bono awalnya itu untuk publik atau kepentingan umum, disempitkan peraturan perundangan kita orang miskin dan harus pakai surat miskin jadi beda lagu bukan untuk publik. Ini harusnys tidak miskin secara ekonomi kita luaskan, terpinggirkan dan marjinal sehingga tidak terkotak-kotak, tapi jangan juga masyarakat miskin yang harusnya dapat porsi lebih banyak malah ditinggalkan,” terangnya.

Selain itu David juga berharap adanya peran dari organisasi advokat untuk mengakomodir laporan pro bono yang dilakukan para advokatnya, termasuk membantu memberi fasilitas jiika memang kantor hukum tidak mempunyai klien pro bono. “Kantor hukum yang melakukan pro bono, berdasarkan aturan, dia tidak ada klien pro bono bisa minta ke peradi. Kalau dia punya klien pro bono, dilaporkan ke Peradi untuk dicatatkan. Aturan ini harus direvisi, penctaatan lebih dimudahkan kalau bisa secara online,” tuturnya.

Tidak hanya advokat lokal saja, advokat asing menurutnya juga mempunyai kewajiban Pro Bono sesuai dengan Peraturan Menkumham Nomor 26 Tahun 2017. Kegiatan pro bono yang dilakukan advokat asing meliputi pendidikan, penelitian dan membantu melakukan pengembangan hukum di instansi pemerintah.

Tags:

Berita Terkait