Belanda meminta maaf dan memberikan kompensasi kepada korban dan keluarganya karena kejahatan perang selama periode 1945-1949 (pembantaian Rawagede dan Westerling). Begitu pula Belgia, Jerman, Afrika Selatan, Amerika Serikat yang secara resmi dan terbuka meminta maaf kepada korban pelanggaran HAM berat masa lalu.
Pasal 14 Konvensi Anti Penyiksaan (Committee Against Torture) mengatur permintaan maaf negara adalah bentuk penebus kesalahan terhadap korban pelanggaran HAM berat masa lalu. Pelaku pelanggaran HAM berat harus diadili di Pengadilan HAM untuk mempertanggungjawabkan kesalahannya, bukan malah menggantinya dengan mekanisme non yudisial. Korban dan keluarganya berhak atas kebenaran dan keadilan terkait peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi.
LBH Jakarta merekomendasikan pemerintah untuk melakukan 5 hal. Pertama, Presiden Jokowi menghentikan pembahasan dan/atau membatalkan dan/atasu tidak melanjutkan pembahasan RPerpres UKP-PPHB. Kedua, Komnas HAM dan Jaksa Agung segera menyerahkan hasil penyelidikan dan penyidikan pelanggaran HAM berat masa lalu ke DPR.
Ketiga, DPR segera merekomendasikan dan/atau mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc atas peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu. Keempat, Presiden dan DPR membentuk UU tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang sesuai konstitusi, hukum humaniter, dan HAM internasional sebagaimana mandat putusan MK No.006/PUU-IV/2006.