Berbincang tentang Hukum Bersama Gubernur Anies Baswedan: Hukum Harus Realistis!
Profil

Berbincang tentang Hukum Bersama Gubernur Anies Baswedan: Hukum Harus Realistis!

Anies berpandangan bahwa hukum harus menjadi instrumen merangsang perilaku manusia secara realistis dan berperan mengentaskan kesenjangan sosial.

Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit

Khususnya produk hukum yang mana Pak? Peraturan Daerah atau Peraturan Gubernur yang tidak saling sinkron?

Peraturan Gubernur atau Perda. Produk hukum itu seringkali dikerjakan dengan tidak terintegrasi. Ketika kita menyusun aturan mengenai pariwisata, itu belum tentu memikirkan link dengan aturan tentang pendidikan. Bayangkan, kota sebesar Jakarta itu adalah ruang private sector yang besar sekali. Ada nggak aturan pendidikan yang membuat mereka nyambung dengan private sector di Jakarta? Nggak ada. Lah mana kota di Indonesia yang punya private sector sebanyak Jakarta? Nggak ada. Aturan jalan sendiri-sendiri. Itu sebabnya saya katakan, kenapa? Karena visi besarnya nggak diterjemahkan jadi rujukan.  Kita melakukan itu.

Bagaimana rencana Anda mengenai industri kreatif, start up business, untuk mereka memulai usaha dan perizinannya, karena potensinya besar di kota sebesar Jakarta?

Saya tidak terlalu khawatir dengan start up. Start up ini mayoritas highly educated. Bukan highly school ya, belum tentu sekolahnya tinggi. Tapi terdidik, umumnya terdidik. Umumnya mengikuti perkembangan zaman. Peran Pemerintah itu fasilitator, simpel. Saya lebih concern mereka yang di bawah. Yang dengar kata start up saja nggak tahu apa itu. Anda tahu tidak berapa persen orang di Jakarta Utara yang tidak lulus SMA? Yang lulus SMA di Jakarta Utara hanya 52%, separuh nggak pernah lulus SMA. Mau jadi office boy saja nggak bisa. Jadi saya usul kepada hukumonline, lihat realita. Jangan baca wacana online. Meskipun Anda di (bisnis) online. Ini yang tadi Anda bicarakan soal start up itu bagus, tapi begitu Anda datang ke kampung, yang dibutuhkan beda lagi.

Jadi Anda melihat bahwa kalau bicara pembangunan dari aspek hukum, hukum harus melihat realita apa yang terjadi di masyarakat begitu?

Yang tadi saya bilang, hukum itu harus memikirkan soal disparitas (kesenjangan sosial). Kalau hukum nggak mau memikirkan soal disparitas, maka problem disparitas ini akan berkelanjutan. Kalau saya tanya pada semua yang hadir di sini, berapa persen yang pernah nginap di kampung kumuh? Nggak usah nginap deh, pernah datang saja ke kampung kumuh. Nginap coba. Jadi saya merasa sekarang itu kita yang sudah terdidik, yang sudah mapan, agak disconnect dengan kenyataan lengkap di Jakarta.

Kalau orang ditanya, apa sih masalah terbesar di Jakarta? Hampir pasti (jawabannya) macet, kemudian banjir, itulah. Tapi kalau Anda tanya warga Jakarta pada umumnya, mereka akan bilang masalah nomor 1: lapangan pekerjaan! Yang punya masalah macet itu siapa sih? Orang yang sudah kerja, Mas. Orang nganggur nggak punya masalah macet. Dan mereka yang sudah kerja ini yang aktif di twitter, di facebook, di media sosial, lalu itu noise yang kita dengar. Mereka yang nganggur nggak punya media sosial. Itu sebabnya kenapa saya katakan ini para pegiat konferensi law and governance di sini, Anda lihat dong disparitas ini. Kalau Anda nggak lihat soal disparitas, ini akan terus menerus dan menciptakan masalah yang luar biasa besar. Di situ peran ahli hukum.

Tags:

Berita Terkait