Berbincang tentang Hukum Bersama Gubernur Anies Baswedan: Hukum Harus Realistis!
Profil

Berbincang tentang Hukum Bersama Gubernur Anies Baswedan: Hukum Harus Realistis!

Anies berpandangan bahwa hukum harus menjadi instrumen merangsang perilaku manusia secara realistis dan berperan mengentaskan kesenjangan sosial.

Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit

(Baca juga: Dasar Hukum yang Melarang Parkir Kendaraan di Depan Rumah Sendiri).

Kalau begitu, untuk mengatasi pengangguran, pendekatannya apakah dengan regulasi tertentu atau langkah lain? Berkaitan dengan hukum, adakah kebijakan untuk membantu mereka mengurus izin usaha, registrasi, dan semacamnya?

Di sini itu pasarnya besar. Kita harus memberikan pelatihan untuk mereka memiliki kapasitas produksi yang lebih baik. Knowledge, skill (yang pertama). Lalu yang kedua adalah modal. Modalnya juga nggak besar-besar amatlah. Yang ketiga adalah ketersambungan dengan pasar. Kalau ketiganya ada, jalan.

Kalau soal izin usaha, simpel. Kalau orang sudah punya modal, knowledge, dan skill, izin usaha itu jadi sesuatu yang mudah didapat. Kita akan melakukan semuanya untuk mempermudah. Tapi yang tidak kalah penting adalah bagaimana membuat private sector dan public sector, mau membantu mereka yang baru berkembang atas dasar aturan yang kita miliki. Karena itu tadi saya katakan hukum sebagai pembentuk perilaku.

Jadi kalau saya membayangkan nih aturan hukum kita itu bisa merangsang orang untuk mau generous atau tidak. Bukan soal niatnya, tapi soal aturannya menguntungkan untuk generous. Nah kalau aturan hukumnya itu merugikan kalau generous, ya orang nggak mau generous-lah. Tapi kalau justru menguntungkan, akan dilakukan. Misalnya nih, kalau melakukan pendampingan langsung, membina sekian puluh, sekian ratus usaha mikro, maka PBB (Pajak Bumi dan Bangunan)-nya bisa turun, pajaknya bisa turun, ada insentif ekstra. Atau kalau CSR (Corporate Social Responsibility)-nya dilakukan, dia akan dapat apa. Itu contoh-contoh yang saya bayangkan bisa kita bangun di Jakarta.

Untuk mengatasi masalah hukum di Jakarta, apa yang menjadi perhatian penting Anda?

Aturannya harus realistis. Kalau aturannya nggak realistis, ya kita semua melanggar. Kalau aturannya saya nggak boleh menggerakkan jari misalnya (saat wawancara Anies menggerakkan tangannya beberapa kali—red), ya saya melanggar terus dari tadi. Itu salah satu masalah di Jakarta. Kita membuat aturan seakan-akan kita itu mengatur kota yang kosong, kota yang baru dibangun. Saya beri contoh aturan bangunan di Jakarta. Mungkin ya 70-80% melanggar (aturan) di Jakarta ini. Mungkin. Sekarang bayangkan, kalau ukuran rumahnya di bawah 100 meter persegi terus harus pasang GSB (Garis Sepadan Bangunan), lha rumahnya saja cuma 100 meter persegi. Isunya bukan orang melanggar atau tidak, tetapi aturannya benar nggak? Aturannya realistis nggak? Lha kalau aturannya begitu, ya sama seperti tadi aturannya adalah kalau saya duduk makan maka tangan nggak boleh gerak, ya udah saya melanggar terus dari tadi karena nggak realistis saja.

Menurut saya kita harus beroperasi dengan asumsi sudah ada existing situation, lalu kita mengatur yang ada ini. Itu makanya penting bagi kita me-review aturan-aturan ini. Karena banyak sekali aturan yang kita susun itu, tidak dengan mempertimbangkan kenyataan. Sebagai contoh, zona usaha. Kita putuskan zona usaha di daerah-daerah tertentu, lalu bayangkan di kampung-kampung yang punya usaha, yang mereka di rumahnya, di halaman rumahnya punya usaha, terus zona itu zona yang nggak boleh usaha. Sudah belasan, puluhan tahun mungkin di situ. Terus gimana? Nggak bisa dapat kredit bank, karena nggak punya SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan). Kenapa? Karena ini bukan zona usaha. terus mereka harus masuk ke ruko (Rumah Toko), nyewa? Dari mana mereka (punya uang) bisa nyewa? Jadi, itulah yang saya katakan aturannya itu tidak membayangkan ini sebagai kota yang sudah hidup, beroperasi.

Terus saya kasih contoh, PBB kita, kita tahu kan para pendiri Republik rumahnya di Menteng, mereka billiuner gitu? Ya nggaklah, ya karena dulu rumah mereka memang di sana. Sekarang pajaknya gimana tuh? Terus kita nggak memikirkan itu, dan rumah itu satu-satu berganti ke tangan billiuner, itu contoh kasus kita mengatur seperti kita mengatur tanah kosong. Nggak, nggak, kita akan mengubah itu semua. Saya ini nggak tega lihatnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait