Bila Premium Dihapus, Rakyat Tambah Sengsara
Berita

Bila Premium Dihapus, Rakyat Tambah Sengsara

Menteri ESDM akan dituntut mundur.

RFQ
Bacaan 2 Menit
SPBU. Foto: RES
SPBU. Foto: RES
Wacana pemerintah yang bakal menghapus Bahan Bakar Minyak (BBM) premium menjadi produk baru bernama petralite dengan Ron 90 dengan harga lebih mahal dinilai akan memperparah kehidupan masyarakat kelas menengah ke bawah. Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Sudirman Said, dituntut mundur jika tetap memaksakan penghapusan BBM berjenis premium.

Demikian disampaikan anggota Komisi VII DPR, Ramson Siagian, dalam sebuah diskusi di Gedung DPD, Rabu (22/4). “Kebijakan itu akan menyulitkan rakyat. Kalau premium dihilangkan saya dan DPR akan menuntut Menteri ESDM mundur,” ujarnya.

Menurutnya, dengan menghilangkan BBM premium di tengah masyarakat dan tidak memberikan alternatif lain, maka bertentangan dengan konstitusi. Pemerintah seolah ingin menyerahkan harga BBM seluruhnya melalui mekanisme pasar. Harga BBM petralite dengan Ron 90 bakal dipatok dengan harga Rp8.000, jauh lebih mahal dari premium dengan Ron 88 seharga Rp7.300. Ironisnya, harga petralite bakal dilepas sesuai mekanisme pasar. Hal itu menunjukan betapa pemerintah mengikuti sistem ekonomi liberal.

Ramson tak mempersoalkan jika pemerintah ingin membuat produk BBM jenis baru sebagai alternatif. Hanya saja, BBM jenis premium tak dihapuskan begitu saja. Pasalnya, masyarakat masih membutuhkan BBM jenis premium yang  harganya dapat dijangkau semua kalangan. Mengkonfirmasi hal tersebut, Komisi VII pun melakukan rapat dengan PT Pertamina (Persero).

“Setelah ita klarifikasi ke Pertamina, mereka menjadikan petralite produk BBM alternatif,  tapi pemerintah mau menyerahkan ke pasar, “ katanya.

Politisi Partai Gerindra itu mengatakan, Pertamina seolah tertekan oleh Tim Tata Kelola Migas pimpinan Faisal Basri. Menurutnya, rekomendasi yang diberikan Tim Tata Kelola Migas, kata Ramson, bersifat teknis. Padahal Tim Tata Kelola Migas semestinya menemukan adanya mafia Migas, hingga dugaan penyalahgunaan bisnis Migas menjadi tugasnya.

Terlepas tekanan Tim Tata Kelola Migas, Pertamina tetap diminta menyediakan BBM premium Ron 88. Sekalipun BBM jenis petralite direalisasikan di tengah masyarakat, tetap tidak boleh menggantikan premium secara total.  Ia berpandangan belum adanya uji coba minyak mentah diolah menjadi petralite Ron 90.

“DPR menolak, apalagi Gerindra jika pertalite menggantikan premium. Kalau di spbu tetap ada premiun tidak menjadi masalah,” katanya.

Direktur Eksekutif Institute For Development Economy And Finance (INDEF), Ahmad Erani Yustika, berpandangan sejak terbitnya UU Migas, sektor energi menjadi liberal. Menurutnya, sekalipun pemerintah mengambil kebijakan dengan menetapkan BBM jenis petralite mesti mempertimbangkan dampaknya. Namun, ia tidak sependapat dengan menghapus BBM jenis premium.

“Soalnya ini tidak punya pengaruh terhadap kesehatan fiskal kita. Ada agenda di balik kepentingan bisnis, lembaga multilateral itu buldosernya untuk kepentingan bisnis asing,” ujarnya.

Persoalan Migas tak saja di hilir, tetapi juga di hulu. Ia menilai tak ada pihak manapun yang berani menjadi data produksi BBM sebanyak 820 ribu barel perhari. Menurutnya, sekalipun Tim Tata Kelola Migas, ia menyangsikan keberaniannya untuk memverifikasi terkait produksi volume BBM.

“Tidak ada yang berani menyentuh, karena akan berhadapan dengan tembok besar. Kalau Tim Tata Kelola Migas ini berani ambil itu, kita angkat topi,” katanya.

Guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya Malang itu berpandangan, jika subsidi diberikan, pemerintah beragumen yang menikmati adalah kelas menengah ke atas.Sebaliknya jika mencabut subsidi BBM kemudian menghapus premium dan menggantikan dengan petralite yang harganya lebih mahal bakal menyengsarakan masyarakat. “Bayangkan beban itu ditambah, subisidi dicabut,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait