Birokrasi Patronasi dan Kasus Brigadir Yosua
Kolom

Birokrasi Patronasi dan Kasus Brigadir Yosua

Melihat betapa seriusnya persoalan ini, solusi-solusi normatif seperti perbaikan sistem rekruitmen dan promosi berdasarkan merit system hanya akan menjadi paper-tiger tanpa dibarengi komitmen politik yang serius.

Bacaan 4 Menit
Aristo Pangaribuan. Foto: Istimewa
Aristo Pangaribuan. Foto: Istimewa

Kasus penembakan Brigadir Yosua Hutabarat telah menyita perhatian publik selama dua bulan ini. Saat ini, kepolisian, sedang berusaha keras untuk menyelesaikan perkara ini dan mengembalikan legitimasi institusinya di mata publik, seperti yang diminta berulangkali oleh presiden. Sampai artikel ini ditulis, setidaknya lima orang sudah menjadi tersangka dan tidak kurang sebanyak delapan puluh tiga polisi diperiksa karena terindikasi menghalangi penyidikan pembunuhan berencana.

Terlepas dari kerja-keras polisi untuk mengungkap peristiwa ini, ada satu pertanyaan fundamental yang tidak boleh terlupakan: bagaimana bisa sistem birokrasi kepolisian tidak mampu mencegah peristiwa pembunuhan sekaligus rekayasa kasus yang terjadi di dalam institusinya? Terlebih lagi, seluruh rangkaian peristiwa dirancang oleh seorang jenderal yang memegang kuasa atas penegakan etika profesi. Pengungkapan kasus tentunya penting, akan tetapi, peristiwa ini haruslah menjadi momentum untuk melakukan perbaikan sistemik terhadap institusi kepolisian.

Mengakarnya praktik birokrasi patronasi di organisasi kepolisian (sebagaimana juga ditemukan di institusi lain) memungkinkan peristiwa seperti ini terjadi. Budaya birokrasi patronasi, atau sistem birokrasi “persaudaraan” yang mendominasi pengisian jabatan-jabatan strategis telah menjadi bagian dari kultur kerja kepolisian (occupational culture).

Baca juga:

Penggunaan kekuasaan sehari-hari berjalan di atas platform relasi patronasi antara sang patron dengan kliennya. Jaringan patronasi tersebut dibangun berdasarkan konsep “hutang-budi” yang melibatkan sisi emosional seorang manusia. Konsep birokrasi macam ini mempunyai sejarah yang panjang di dalam kultur masyarakat Indonesia. Puncak birokrasi patronasi di republik ini terjadi di zaman orde baru, dengan konsep “bapakisme” nya, di mana Soeharto menjadi “bapak” untuk semua pihak. Loyalitas terhadap sang bapak menjadi hal yang paling utama dalam menjalankan birokrasi pemerintahan.

Baker (2012) dalam disertasi etnografi doktoralnya mengenai institusi kepolisian di Indonesia di London School of Economics and Political Science bahkan menyatakan bahwa kepolisian Indonesia mempraktikkan apa yang dia sebut “anti-birokrasi birokrasi.” Anti-birokrasi birokrasi digambarkan sebagai sebuah birokrasi yang tidak memiliki sistem lain selain jaringan loyalitas antara patron-klien (hal. 75). Di dalam literatur yang membahas kultur kerja kepolisian, pola hubungan “persaudaraan” ini dikenal dengan konsep abang-adik asuh.

Di dalam tipe birokrasi ini, kecapakan seorang adik asuh utamanya dinilai dari banyaknya “manfaat” yang dapat diberikan sang adik kepada “abangnya.” Lebih jauh lagi, Baker juga mengatakan sangat penting bagi aparatur kepolisian untuk memiliki patron eksternal, yang berasal dari luar institusi kepolisian untuk membiayai operasional institusi yang selalu mengalami defisit (hal.88).

Tags:

Berita Terkait