BPJS Harus Rutin Kunjungi Lokasi Kerja
Berita

BPJS Harus Rutin Kunjungi Lokasi Kerja

Untuk memeriksa setiap perusahaan dan mengklarifikasi kebenaran pengajuan klaim.

ADY
Bacaan 2 Menit
BPJS Harus Rutin Kunjungi Lokasi Kerja
Hukumonline

Koordinator advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, meminta BPJS mewaspadai segala bentuk kecurangan yang berpotensi terjadi dalam penyelenggaraan program jaminan sosial. Pasalnya, BPJS Watch menemukan praktik kecurangan dalam proses pencairan manfaat program Jaminan Hari Tua (JHT) Jamsostek yang dilakukan manajemen di sebuah perusahaan.

Fakta itu diketahui ketika dua hari lalu saat BPJS Watch menginvestigasi beberapa perusahaan yang berlokasi di KBN Cakung, Jakarta. Pihak perusahaan melakukan modus pencairan JHT ke PT Jamsostek dengan cara menerbitkan surat pemutusan hubungan kerja (PHK) secara kolektif kepada pekerja yang masa kerjanya minimal lima tahun.

Dengan iming-iming akan mendapat dana JHT dan karena ketidaktahuannya para pekerja itu sepakat dengan tawaran perusahaan. Merasa mendapat ‘lampu hijau’ dari para pekerja, perusahaan lalu mengajukan klaim pencairan dan dikabulkan pihak Jamsostek. Setelah menerima dana JHT, para pekerja masih bekerja seperti biasa.

Timboel mensinyalir HRD tersebut main mata dengan pihak Jamsostek karena proses pencairan klaim itu tergolong dilakukan dengan mudah. Mengingat pengajuan klaim itu melibatkan ratusan pekerja Timboel berpendapat harusnya pihak Jamsostek melakukan klarifikasi dan konfirmasi. Sehingga modus kecurangan itu dapat dicegah. Sayangnya, hal itu tak dilakukan pihak Jamsostek. “Ada dugaan kuat terjadinya tindakan ilegal yang dilakukan staf Jamsostek, bekerjasama dengan HRD perusahaan untuk mencairkan dana JHT,” katanya kepada hukumonline lewat pesan singkat, Jumat (26/4).

Mengacu UU No 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek jo PP No 53 tahun 2012 tentang perubahan kedelapan atas PP Nomor 14 tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jamsostek, Timboel mengatakan harusnya pencairan dana JHT itu tak dapat dilakukan jika peserta masih bekerja. Akibat dari pelanggaran itu Timboel menilai pekerja yang bersangkutan dirugikan karena tidak lagi menjadi peserta JHT Jamsostek.

Kemudian, manajemen dapat mengklaim kalau pekerja sudah di-PHK. Sekalipun tetap bekerja, masa kerjanya dihitung dari nol dan berpengaruh terhadap besaran upah dan tunjangan yang diperoleh. Sebaliknya, pengusaha diuntungkan karena tak perlu lagi membayar iuran JHT untuk pekerjanya sebesar 3,7 persen tiap bulan.

Melihat adanya kerugian yang dialami pekerja, Timboel mendesak agar direksi PT Jamsostek melakukan investigasi dugaan keterlibatan oknum Jamsostek dalam modus pencairan JHT itu. Jika terbukti, oknum Jamsostek yang bersangkutan dirasa layak dihukum. Untuk mendukung upaya tersebut Timboel menyebut BPJS Watch siap berbagi informasi terkait dan membantu PT Jamsostek.

Mengingat PT Jamsostek tak lama lagi beralih menjadi BPJS Ketenagakerjaan, Timboel berpendapat perlu peraturan pelaksana agar BPJS dapat mencegah terjadinya berbagai bentuk kecurangan yang berpotensi terjadi dalam penyelenggaraan BPJS. Dari temuannya itu Timboel mengatakan ketika memproses klaim, BPJS harus teliti, melakukan pengecekan dan selektif sebelum mencairkan. Menurutnya, BPJS harus melakukan kunjungan rutin ke tempat kerja peserta untuk melakukan pemeriksaan. Pasalnya, lewat kegiatan itu BPJS bisa memeriksa perusahaan apakah semua pekerja sudah didaftarkan menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan atau belum.

Sekaligus menguji kebenaran apakah iuran yang selama ini disetor pengusaha sudah sesuai dengan upah pekerja. Pasalnya, kerap terjadi kecurangan yang dilakukan manajemen dalam membayar iuran Jamsostek. Misalnya, upah pokok pekerja Rp1,5 juta dan tunjangan tetap Rp500 ribu, tapi yang diiur manajemen hanya berdasarkan upah pokok saja. Padahal, merujuk peraturan Jamsostek, yang diiur itu harusnya persentase yang diambil dari upah pokok ditambah tunjangan tetap. Yaitu 3,7 persen ditanggung pemberi kerja dan 2 persen pekerja. Bahkan, ada pula yang melakukan manipulasi sehingga besaran yang diiur jumlahnya kecil.

Atas dasar itu, untuk mengatasi potensi kecurangan yang muncul dalam penyelenggaraan BPJS, Timboel mengatakan peraturan pelaksana perlu diperkuat. Seperti mengatur agar BPJS melakukan kunjungan rutin, klarifikasi dan pengecekan langsung ke tempat kerja peserta. Ketentuan itu, Timboel melanjutkan, dapat dimasukan dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) di tiap program BPJS Ketenagakerjaan. Seperti PP Pensiun, JHT, Kematian dan Kecelakaan Kerja.

Terpisah, Direktur Kepesertaan PT Jamsostek, Junaedi, mengakui bahwa JHT dapat dicairkan oleh peserta yang masa kerjanya minimal 5 tahun. Dalam pengajuan pencairan itu salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah adanya surat PHK resmi dari perusahaan. Namun, ia menegaskan yang mengajukan pencairan itu harus peserta yang bersangkutan dan tidak boleh diwakilkan.

Menanggapi adanya temuan BPJS Watch atas modus pencairan JHT, Junaedi mengatakan pihaknya dapat melakukan dua langkah. Pertama, secara internal memeriksa staf PT Jamsostek yang mengurusi wilayah dimana modus itu terjadi. Kedua, melaporkan modus tersebut ke pengawas ketenagakerjaan di Disnakertrans setempat. “Nanti saya akan investigasi juga kalau ada indikasi itu, apalagi kalau ada keterlibatan orang PT Jamsostek, pasti saya akan benar-benar investigasi,” tegasnya kepada hukumonline lewat telepon, Jumat (26/4).

Namun, ketika PT Jamsostek beralih menjadi BPJS Ketenagakerjaan Junaedi berpendapat tindakan langsung dapat dilakukan jika ditemukan kecurangan. Pasalnya, dalam peraturan perundang-undangan terkait BPJS, ada kewenangan BPJS untuk bertindak. Tapi untuk saat ini, PT Jamsostek tak punya kewenangan untuk turun langsung melakukan pemeriksaan ke perusahaan. Oleh karenanya butuh kerjasama dengan pengawas Disnakertrans.

Sementara Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional, Chazali Husni Situmorang, mengatakan ada celah dalam pelaksanaan program JHT Jamsostek sehingga pekerja dapat mengambil seluruh uang JHT sebelum masuk masa pensiun. Padahal, pada prinsipnya JHT ditujukan sebagai bekal peserta dalam menghadapi masa tua agar punya dana untuk berwirausaha. Celah itu diperparah dengan minimnya kewenangan PT Jamsostek untuk melakukan penindakan ataupun pemeriksaan secara langsung ke perusahaan.

Dalam rangka menutup kelemahan tersebut, Chazali mengatakan ada pembenahan saat program JHT diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan. Yaitu peserta hanya boleh mengambil seluruh dana JHT ketika mendekati masa pensiun. Walau begitu peserta boleh mengambil sebagian uangnnya setelah masa kerjanya lima tahun, namun dana itu dihitung sebagai pinjaman. Sehingga tak semua dana JHT peserta dapat diambil. “JHT baru dapat diambil seluruhnya menjelang masa pensiun,” ucapnya.

Tags: