BPOM Bantah Pelabelan BPA Berdampak Bagi Industri Air Kemasan
Terbaru

BPOM Bantah Pelabelan BPA Berdampak Bagi Industri Air Kemasan

Pelabelan risiko BPA pada dasarnya hanya menyasar produk air galon bermerek alias punya izin edar.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 3 Menit
BPOM Bantah Pelabelan BPA Berdampak Bagi Industri Air Kemasan
Hukumonline

Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) melakukan revisi terhadap Peraturan BPOM No.31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan. Revisi difokuskan terhadap pelabelan bahan kimia Bisfenol A (BPA) pada galon guna ulang beredar di masyarakat.

Namun aturan ini menjadi kekhawatiran sendiri bagi industri air kemasan. Menurut Direktur Kebijakan Persaingan Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Marcellina Nuring Ardyarini, revisi peraturan BPOM terkait labelisasi galon berpotensi merusak persaingan usaha.

"Ada potensi persaingan usaha tidak sehat dalam revisi Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan yang hanya fokus untuk pelabelan BPA terhadap kemasan galon berbahan Polikarbonat (PC)," katanya dilansir dari Antara.

Ia mengatakan wacana perubahan telah muncul ke publik sehingga pihaknya akan mulai berkoordinasi dengan BPOM untuk melihat bagaimana perkembangan dari rencana perubahan ini. Hal itu sejalan dengan salah satu tugas dari KPPU berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1999 Pasal 35 huruf “e” adalah memberikan saran dan pertimbangan atas kebijakan pemerintah yang mengarah pada persaingan usaha tidak sehat.

Baca Juga:

Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Rita Endang menampik tudingan bahwa pelabelan BPA adalah vonis mati bagi industri air kemasan. Menurutnya, pandangan tersebut keliru karena pelabelan risiko BPA pada dasarnya hanya menyasar produk air galon bermerek alias punya izin edar.

"Regulasi pelabelan BPA tidak menyasar industri depot air minum. Sejauh ini sudah ada 6.700 izin edar air kemasan yang dikeluarkan BPOM," kata Rita, Kamis (11/8).

Rita merinci, saat ini sekitar 50 juta lebih warga Indonesia sehari-harinya mengkonsumsi air kemasan bermerek. Dari total 21 miliar liter produksi industi air kemasan per tahunnya, 22 persen diantaranya beredar dalam bentuk galon isi ulang. Dari yang terakhir, 96,4 persen berupa galon berbahan plastik keras polikarbonat.

"Artinya 96,4 persen itu mengandung BPA. Hanya 3,6 persen yang PET (Polietilena tereftalat). Inilah alasan kenapa BPOM memprioritaskan pelabelan risiko BPA pada galon guna ulang," katanya.

Sejauh ini, hanya segelintir negara berkembang yang masih belum mengatur ketat  kemasan galon BPA dengan regulasi, beberapa diantaranya adalah Vietnam dan Indonesia. Sementara, di negara maju kemasan plastik BPA sudah dilarang melalui regulasi; utamanya karena dinilai bisa memicu gangguan jantung, ginjal, kanker, gangguan hormon pada laki-laki dan perempuan,  hingga gangguan mental pada anak.

Galon BPA bernomor 7 misalnya. Selain sulit didaur ulang, juga sangat rentan terhadap gesekan dan sinar matahari dalam proses distribusinya dari pabrik hingga ke tangan konsumen, yang sangat berpotensi melepaskan senyawa BPA hingga menyebabkan air di dalam kemasan terkontaminasi.

Belum lagi tidak adanya kontrol terhadap galon BPA di pasaran yang sudah berusia di atas lima tahun, atau galon isi ulang yang dicuci dengan deterjen di pinggir jalan selama bertahun-tahun. Meski diklaim tahan panas, tidak ada juga yang mengontrol sejauh mana kontaminasi yang terus menerus terjadi pada air dalam kemasan galon BPA, baik karena kenaikan suhu temperatur maupun karena sebab lain seperti gesekan atau perlakukan saat pembersihan galon.

Galon BPA pastinya sangat berbeda dari plastik berbahan Polyethylene Terephthalate berkode plastik nomor 1, atau disingkat PET, yang dikenal relatif aman dan digunakan di seluruh dunia. Namun di Indonesia masih ada informasi keliru tentang galon PET sebagai alternatif yang lebih aman dibanding galon BPA.

Menurut ahli teknologi polimer Fakultas Teknik Universitas Indonesia (UI), Assoc. Prof. Dr. Mochamad Chalid, S.Si., M.Sc. Eng, warga di negara maju lebih mudah memilih plastik PET untuk kemasan makan dan minuman yang paling dominan. Hal tersebut dikarenakan banyak pertimbangan, salah satunya adalah teknologi.

“Ada banyak pertimbangan, utamanya tentu pertimbangan teknologi. Tetapi, di samping itu, masyarakat di sana sudah terdidik dari awal, sehingga mereka sejak awal sudah sangat memahami kebijakan untuk memilih plastik PET,” katanya.

Amannya plastik PET bisa dilihat dari penggunaannya dalam skala masif di seluruh dunia. Termasuk oleh market leader pasar AMDK di Indonesia. Belum ada satupun negara di dunia ini yang melarang penggunaan plastik PET untuk kemasan air minum.

Lebih jauh, Mochamad Chalid mengatakan, sejauh riset yang ada sudah bisa dikonfirmasi bahwa tidak ditemukan pelepasan senyawa antimon berbahaya dalam kemasan plastik PET. “Di sisi lain, juga belum ditemukan adanya indikasi munculnya endokrin disruptor (senyawa yang  bisa mengganggu sistem hormon tubuh, seperti yang terkandung dalam plastik BPA) dalam penggunaan  plastik PET,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait