Buruh-Pengabdi Bantuan Hukum Kecam Kekerasan Polisi
Utama

Buruh-Pengabdi Bantuan Hukum Kecam Kekerasan Polisi

Sebanyak 23 buruh dan 2 pengabdi bantuan hukum LBH Jakarta ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka.

ADY
Bacaan 2 Menit
Suasana demonstrasi di depan Istana Negara, Jumat (30/10). Foto: RES
Suasana demonstrasi di depan Istana Negara, Jumat (30/10). Foto: RES
Sejumlah serikat buruh dan pengabdi bantuan hukum mengecam kekerasan yang dilakukan kepolisian dalam menangani aksi unjuk rasa yang dilakukan buruh pada 30 Oktober 2015 di depan Istana Negara. Dari pembubaran itu 23 buruh dan 2 pengabdi bantuan hukum LBH Jakarta ditangkap dan mengalami kekerasan. Mereka juga ditetapkan sebagai tersangka karena dianggap melanggar Pasal 216 dan 218 KUHP juncto Pasal 15 UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

Sekjen FBTPI, Presly Manulang, menyayangkan sikap kepolisian yang menangani demonstrasi buruh pada 30 Oktober 2015. Ia menuding aparat kepolisian melakukan pemukulan menggunakan bambu. Presly sendiri mengalami luka memar di kepala, badan dan jatuh pingsan. Di mobil polisi Presly mengaku masih dipukuli aparat kepolisian. Setelah BAP di Polda Metro Jaya, ia langsung dijadikan tersangka.

Presly mengklaim hanya memperjuangkan kesejahteraan bagi buruh dan keluarga. Isunya adalah menuntut pencabutan PP Pengupahan. “Peraturan itu membuat upah buruh rendah sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari,” kata Presly dalam jumpa pers di kantor LBH Jakarta, Senin (2/11).

Walau mengalami kekerasan, ditangkap dan dijadikan tersangka, Presly menegaskan tidak akan mundur memperjuangkan kesejahteraan. Upah adalah urat nadi buruh. Tanpa upah yang layak, buruh dan keluarganya tidak akan hidup sejahtera. “Kami akan terus berjuang sampai PP Pengupahan dicabut,” tegasnya.

Korban lain, Dian Septi, mengatakan 25 orang yang ditangkap dan dijadikan tersangka akan terus berjuang. Pasca demonstrasi 30 Oktober 2015 serikat buruh masih  menyiapkan mogok kerja nasional pada 18-20 November 2015. Itu akan dilakukan jika pemerintah tidak merespon positif tuntutan buruh: pencabutan PP Pengupahan.

Dian menyebut tindakan polisi terhadap buruh dilakukan secara sadar dan  menunjukkan sikap pemerintah yang tetap mempertahankan penerapan upah murah lewat PP Pengupahan. “Pemerintah dan kepolisian yang bersalah karena memberikan upah murah kepada buruh dan melakukan kekerasan,” tukas Sekjen FBLP itu.

Presiden FSPASI, Herry Hermawan, mengecam sikap tidak responsif pemerintah. Pemerintah tidak memberi jawaban atas tuntutan meskipun massa buruh sudah menunggu di depan Istana. Menteri Ketenagakerjaan, Hanif Dhakiri dan Menteri Sekretariat Negara, Pratikno, memang menemui pimpinan buruh. Yang terjadi kemudian adalah aksi kekerasan.  “Menurut kami tindakan polisi itu bukan upaya pengendalian massa tapi kekerasan yang dilakukan secara terbuka. Bukan hanya buruh yang mengalami kekerasan tapi juga pengabdi bantuan hukum,” papar Herry.

Pimpinan kolektif KP-KPBI, Michael, mengatakan buruh telah melakukan demonstrasi menolak PP Pengupahan sejak 15 Oktober 2015. Ketika itu PP Pengupahan masih berbentuk RPP. Namun, pemerintah tetap saja tidak mempedulikan masukan buruh. Itu terlihat jelas dalam sosialisasi yang dilakukan Kementerian Ketenagakerjaan. Buruh sudah menyuarakan dalam sosialisasi, Pemerintah tetap meneruskan pengesahan RPP Pengupahan. “Prinsipnya kami menolak formula penghitungan kenaikan upah minimum sebagaimana diatur dalam PP Pengupahan itu,” urai Michael.

Menurut Michael formula itu membatasi kenaikan upah minimum agar tidak lebih dari 10 persen. Selain itu kenaikan upah minimum dibatasi dengan evaluasi komponen KHL yang dilakukan hanya setiap lima tahun sekali. Dengan formula itu maka secara riil upah buruh tidak naik karena kenaikannya hanya untuk mengejar inflasi. “Yang ada keuangan buruh akan defisit terus sampai dievaluasinya KHL. Pemerintah tidak peka terhadap minimnya kesejahteraaan buruh dan keluarganya, itu terbukti dengan disahkannya PP Pengupahan,” katanya.

Paket kebijakan ekonomi yang diterbitkan pemerintah tidak ada satu pun yang menguntungkan buruh. Michael berpendapat seluruh kebijakan itu hanya menguntungkan pengusaha. Sebab lewat kebijakan itu pengusaha diberi berbagai insentif seperti penurunan tarif listrik, BBM dan pajak untuk industri serta kemudahan penanaman modal.

Salah satu Asisten Pengacara Publik LBH Jakarta yang ikut ditangkap bersama buruh dalam demonstrasi itu, Tigor Hutapea, mengatakan dalam demonstrasi itu dirinya bersama rekan-rekan pengabdi hukum LBH Jakarta lainnya melakukan bantuan hukum secara litigasi dan non litigasi. Salah satu tugas non litigasi mendokumentasikan demonstrasi yang dilakukan buruh. Dalam tugas itu, para pengabdi bantuan hukum tidak menghalang-halangi kepolisian menjalankan tugasnya.

Ironisnya, dikatakan Tigor, kepolisian malah melakukan kekerasan terhadap pengabdi bantuan hukum yang menunaikan tugasnya di lapangan. Ia bersama rekan lainnnya malah mengalami kekerasan fisik dan psikis. Bahkan Tigor dan rekannya bernama Obed Sakti Andre Dominika juga ditetapkan sebagai tersangka. Menurutnya, tindakan kepolisian itu bertentangan dengan UU Bantuan Hukum, dalam peraturan itu ditegaskan pemberi bantuan hukum tidak bisa dituntut secara perdata dan pidana ketika menjalankan tugas.

“Kami akan melakukan upaya hukum terhadap apa yang kami dan rekan-rekan buruh alami dalam demonstrasi itu,” kata Tigor.

Pengacara publik LBH Jakarta, Maruli Tua, mengatakan tindakan kepolisian itu melanggar sejumlah peraturan seperti UU Bantuan Hukum, UU Kepolisian dan UU HAM. Selaras itu ia menuntut Komnas HAM untuk aktif menangani kasus kekerasan itu. Menurutnya Komnas HAM layak memanggil Kapolri, Kapolda DKI Jakarta dan Kapolres Jakarta Pusat untuk mengklarifikasi tindakan yang dilakukan anggotanya. “Komnas HAM harus tegas,” ujarnya.
Tags:

Berita Terkait