Catatan Akhir Tahun yang Jadi Sorotan Peradi Sepanjang 2020
Berita

Catatan Akhir Tahun yang Jadi Sorotan Peradi Sepanjang 2020

Perlu dibentuk tim monitoring dan audit hukum yang berkompeten sebagai organ negara mandiri agar ikut memastikan proses penentuan kebijakan kenegaraan di atas telah dilakukan secara baik dan benar serta dapat dipertanggungjawabkan.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Kiri ke kanan: Ketua Harian R. Dwiyanto Prihartono; Ketua Umum Prof Otto Hasibuan; Sekjen Hermansyah Duliaimi; dan Bendahara Umum Nyana Wangsa. Foto: Humas Peradi
Kiri ke kanan: Ketua Harian R. Dwiyanto Prihartono; Ketua Umum Prof Otto Hasibuan; Sekjen Hermansyah Duliaimi; dan Bendahara Umum Nyana Wangsa. Foto: Humas Peradi

Sepanjang tahun 2020, sejumlah peristiwa menghiasi dinamika berkehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satunya, peristiwa hukum yang tak lepas dari sorotan publik. Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) menyoroti sejumlah isu hukum dalam setahun terakhir ini. Mulai proses pembentukan UU di DPR, kebijakan pandemi Covid-19, dugaan extra judicial killing dalam kasus tewasnya laskar FPI, hingga kebijakan penanganan Pandemi Covid-19.

Ketua Umum Peradi periode 2020-2025, Otto Hasibuan mengatakan DPN Peradi mencatat terdapat puluhan isu hukum yang diklasifikasikan menjadi beberapa klaster. Pertama, sejumlah penyusunan UU yang menjadi sorotan publik. Antara lain RUU Cipta Kerja yang telah menjadi UU No.11 Tahun 2020; keberadaan dewan pengawas dalam UU No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK; RKUHP; hingga tenaga kerja asing (TKA) China.

Terhadap keempat isu tersebut, masyarakat dan kaum intelekltual tak percaya dengan itikad baik pemerintah maupun DPR dengan beragam alasan. Konflik sosial terjadi dalam bentuk perseteruan dan/atau benturan fisik dengan kekerasan antara dua kelompok masyarakat atau lebih yang berlangsung dalam waktu tertentu. Akibat penolakan/persetujuan terhadap pilihan kebijakan tersebut, berujung aksi demonstrasi berskala besar di sejumlah daerah.

Pemerintah nampaknya mengarustamakan investor dan pelaku usaha besar sebagai politik hukum. Dikhawatirkan bakal terjadi ketidakadilan sosial ekonomi dan ketiadaan perlindungan pekerja. Peradi berpendapat keadilan sebagai proses dan substansi setiap peraturan hukum mesti nyata dilihat, dirasakan, dan dialami oleh masyarakat umum. Kalangan intelektual semestinya mendapat kemudahan dalam forum terbuka untuk ikut serta merumuskan proses dan substansi keadilan untuk ditetapkan sebagai hukum.

“Semestinya pemerintah dan DPR dalam kerja-kerja legislasi terbuka saat menampung berbagai aspirasi terkait berbagai isu dalam setiap RUU maupun peraturan yang bakal diberlakukan. Forum argumentasi kebijakan atas pilihan politik hukum seharusnya dapat menggantikan konflik fisik di lapangan,” ujar Otto Hasibuan saat menyampaikan Catatan Akhir Tahun Peradi 2020, Senin (21/12/2020). (Baca Juga: Perjalanan Peradi Wujudkan Single Bar untuk Tingkatkan Kualitas Advokat)

Kedua, munculnya pandemi Covid-19 mengancam kesehatan masyarakat yang didalamnya ada penerapan PSBB, bantuan sosial, sekolah jarak jauh, hingga pilkada. Peradi mengingatkan pemerintah bertanggung jawab atas kesehatan masyarakat sebagaimana mandat UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.

Bagi Peradi, pemerintah semestinya mengarusutamakan pelayanan kesehatan promotif dan preventif untuk menjamin kesehatan masyarakat dengan mengalokasikan dana negara sebesar-besarnya. Selain itu, pemerintah dan lembaga kemasyarakatan harus bertanggungjawab menjaga disiplin pribadi di segala usia dan disiplin kolektif masyarakat dalam menciptakan kesadaran diri terhadap kebersihan.

Ketiga, serangkaian ungkapan pikiran, perkataan dan perbuatan di muka umum terkait penistaan agama, pembangkangan sipil, termasuk dugaan extra judicial killing dalam kasus Front Pembela Islan (FPI) yang tengah ditangani Komnas HAM. Menurutnya, dugaan extra judicial killing harus direspon sebagai upaya pelaksanaan hak warga negara untuk mencari dan menemukan kebenaran atas peristiwa yang menewaskan 6 laskar FPI itu. “Para pihak berkepentingan harus membuktikan dengan alat bukti yang sah dan meyakinkan.”

Keempat, kasus korupsi yang melibatkan jaksa Pinangki Sirna Malasari menerima uang AS$500 ribu dari Djoko Tjandra dalam kasus cessie Bank Bali, menyalahgunakan jabatannya sebagai penegak hukum. Selain itu, terjadi perubahan status DPO Djoko Tjandra lantaran adanya surat jalan dari Irjen (Pol) Napoleon Bonaparte dan Brigjen (Pol) Prasetijo Utomo melalui peran jaksa Pinangki dan keterlibatan advokat Anita Kolopaking.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Peradi, Hermansyah Duliaimi melanjutkan poin kelima terbitnya UU No.2 Tahun 2020 tentang Penetapan Perppu No.1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi UU.

Dalam Pasal 27 ayat (1) yang menyebutkan, “Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.

Karena itu, tindakan yang berkaitan dengan hal tersebut dapat dianggap bukan kasus korupsi yang merugikan negara. Sejumlah pejabat penentu kebijakan keuangan negara dan kebijakan stabilitas sistem keuangan (KSSK) hingga pejabat lainnya yang berkaitan dengan Perppu 1/2020 tak dapat dituntut balik secara perdata maupun pidana sepanjang melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

“Berbagai imunitas untuk banyak subjek yang menangani keuangan negara sangat potensial terjadinya pengulangan kasus-kasus kerugian keuangan negara di masa lalu. Seperti BLBI, Bank Century, dan lain-lain yang akibat hukumnya membebani masyarakat dan negara di kemudian hari, serta potensi terjadinya impunitas,” kata Hermansyah.

Keenam, Peradi juga menyoroti terbitnya UU No.3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas UUU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, serta Peraturan Menteri (Permen) No.5 Tahun 2017. Kedua beleid itu mengatur peningkatan nilai tambah sebagai upaya meningkatkan nilai mineral melalui kegiatan pengolahan dan/atau pemurnian.

Pemerintah telah dan bakal terus memberi kesempatan para investor dalam dan luar negeri menyelenggarakan proses operasi produksi peningkatan nilai tambah secara berlanjut, mulai hulu sampai ke hilir sebagai industri hilirisasi produk tambang mineral dan batubara. Pemerintah memang memiliki diskresi dalam menetapkan investor bereputasi kredibel.

Dalam pandangan Peradi, semua proses hilirasi dengan berbagai konsekuensinya harus konsisten dengan dogmatika konstitusi khususnya frasa “untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyatdalam Pasal 33 UUD Tahun 1945. “Proses penentuan kebijakan agar menjadi investor hilirisasi di Indonesia, mesti melibatkan pihak berkompeten yakni pihak yang dapat memastikan proses penentuan tersebut dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan.”

“Perlu dibentuk tim monitoring dan audit hukum yang berkompeten sebagai organ negara mandiri agar ikut memastikan proses penentuan kebijakan kenegaraan di atas telah dilakukan secara baik dan benar serta dapat dipertanggungjawabkan,” katanya.

Tags:

Berita Terkait