Catatan LBH Jakarta Terkait Kelemahan RUU Penanggulangan Bencana
Terbaru

Catatan LBH Jakarta Terkait Kelemahan RUU Penanggulangan Bencana

Praktiknya, pemerintah kerap menggunakan faktor alam sebagai penyebab utama banjir, saling lempar tanggung jawab, hingga minim sekali pelibatan masyarakat dari berbagai kelompok.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Potret banjir di Jakarta. Foto: RES
Potret banjir di Jakarta. Foto: RES

Dalam beberapa tahun terakhir bencana sering terjadi di Tanah Air mendorong pembentuk UU hendak merevisi UU No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2021. Pemerintah dan DPR pun kembali menetapkan RUU Penanggulangan Bencana ini masuk dalam Prolegnas Prioritas 2022 dengan nomor urut 8. Namun, RUU ini dinilai masih terdapat sejumlah kelemahan.

Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Citra Referandum menilai selama penanganan penanggulangan bencana menuai banyak kritik. LBH Jakarta menemukan berbagai ketentuan dalam RUU Penanggulangan Bencana yang sekiranya masih perlu perbaikan. RUU ini memuat 100 pasal dengan 13 bab itu.

“LBH Jakarta menemukan berbagai ketentuan kelemahan yang perlu perbaikan,” ujar Citra Referandum dalam sebuah diskusi virtual bertajuk “Sengkarut Penanganan Banjir: Catatan Kritis LBH Jakarta terhadap RUU Penanggulangan Bencana”, Sabtu (11/12/2021). (Baca Juga: Empat Isu Krusial dalam RUU Penanggulangan Bencana)  

Berdasarkan Catatan LBH Jakarta sepanjang 2020 terdapat 603 kelurahan dengan 42.383 keluarga terdampak banjir di DKI Jakarta. Sedangkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukan sebanyak 1.065 kejadian banjir di Indonesia sepanjang tahun 2020. Banjir kerap terjadi dan menjadi bencana tertinggi sejak 1-31 Juli pada 2021.

Meskipun terdapat UU 24/2007 dan PP No.21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana ternyata tak mampu menjawab berbagai persoalan. Termasuk masalah ketidakadilan gender dan inklusi sosial. Citra menilai terdapat sejumlah persoalan sengkarut dalam praktik penanggulangan bencana yang dilakukan pemerintah.

Pertama, pemerintah sering menggunakan faktor alam sebagai penyebab utama bencana banjir. Kedua, antara pemerintah pusat dan daerah saling lempar tanggung jawab. Padahal, kedua belah pihaknya semestinya memperkuat koordinasi agar penanganan bencana banjir menjadi lebih efektif dan efisien, bukan malah sebaliknya lempar tanggung jawab. Ketiga, normalisasi sungai yang cenderung tidak tepat. Sebabnya, dalam praktiknya hanya melakukan betonisasi dan menggusur masyarakat miskin.

Keempat, kurang serius melakukan pencegahan dan pemulihan. Kelima, tidak mengevaluasi dampak kebijakan pembangunan yang tidak sebanding dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Keenam, upaya-upaya pemerintah hanya berkutat pada level teknis. Pemerintah seolah menjadi “pemadam kebakaran” karena segala upaya hanya sebatas tanggap darurat.Ketujuh, minim sekali pelibatan masyarakat dari berbagai kelompok.

Tags:

Berita Terkait