Catatan Masyarakat Sipil terhadap Sejumlah Pasal Bermasalah dalam RUU KUHP
Terbaru

Catatan Masyarakat Sipil terhadap Sejumlah Pasal Bermasalah dalam RUU KUHP

Salah satunya, masa percobaan dalam pidana mati harus diberikan otomatis kepada terpidana tanpa syarat.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam aliansi masyarakat sipil mendesak penghapusan pasal-pasal bermasalah dalam RUU KUHP. Advokat Publik LBH Masyarakat, Ma’ruf Bajammal, menyoroti masih mempertahankan pasal hukuman mati dalam RUU KUHP. Walau pidana mati diposisikan sebagai alternatif, tapi pengaturannya dalam RUU KUHP tidak konsisten.

Misalnya, Pasal 98 RUU KUHP mengatur pidana mati diancamkan secara alternatif sebagai upaya terakhir untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dan mengayomi masyarakat. Tujuan Pasal 98 RUU KUHP itu menurut Ma’ruf tidak akan tercapai jika eksekusi dilakukan terhadap terpidana mati. Begitu pula dengan masa percobaan dimana ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi terpidana mati.

“Harusnya masa percobaan itu diberikan otomatis terhadap terpidana mati. Tidak perlu juga pertimbangan dari Mahkamah Agung dan Keputusan Presiden. Masa percobaan harusnya diberikan tanpa syarat apapun,” kata Ma’ruf dalam konferensi pers bertema “Aliansi Masyarakat Sipil Desak Penghapusan Pasal Bermasalah dalam RKUHP”, Minggu (20/11/2022) kemarin.

Baca Juga:

Selain itu, Ma’ruf menyoroti pengaturan RUU KUHP terhadap penyandang disabilitas. RUU KUHP harus memberikan kepastian dan persamaan di hadapan hukum. Pasal 26 RUU KUHP mengatur korban tindak pidana yang berada di bawah pengampuan tidak dapat melaporkan sendiri peristiwa pidana. Hal itu menyalahi prinsip persamaan di muka hukum. Korban tindak pidana mempunyai hak untuk melaporkan peristiwa pidana dan hak itu tidak boleh dirampas regulasi.

Lalu, Pasal 38 RUU KUHP menurut Ma’ruf melanggengkan stigma terhadap penyandang disabilitas. Ketentuan itu mengatur penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual dapat dikurangi pidananya dan/atau dikenai tindakan. “Lebih baik Pasal 38 dihapus,” usulnya.

RUU KUHP juga masih mengatur narkotika sebagai tindak pidana khusus. Ma’ruf mengingatkan persoalan narkotika tak melulu berkaitan dengan hukum pidana, tapi juga kesehatan. Memasukan narkotika dalam tindak pidana khusus di RUU KUHP berarti memperkuat mekanisme penghukuman. “Kami usul narkotika tidak masuk dalam RUU KUHP, tapi lebih baik diatur dalam perubahan UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika.”

Peneliti PSHK, Fajri Nursyamsi, menyoroti kata “penyerahan” dalam Pasal 103 ayat (2) RUU KUHP. Penyerahan itu terkait tindakan terhadap penyandang disabilitas, seperti rehabilitasi. Kata itu bermasalah karena ditetapkan secara sepihak dan tidak mendapat persetujuan dari pihak yang bersangkutan. “Tindakan ‘penyerahan’ ini tidak boleh dilakukan secara sepihak, tapi harus mendapat persetujuan dari yang bersangkutan,” tegasnya.

Fajri menjelaskan konsep pengakuan secara internasional sedang dipersoalkan. Bahkan arahnya adalah menghilangkan panti-panti dan mendorong orang untuk hidup secara inklusif di masyarakat. Oleh karena itu, kata ‘penyerahan’ sebagaimana diatur Pasal 103 ayat (2) RUU KUHP lebih baik dihapus dan fokus pada konteks rehabilitasi, perawatan di lembaga dan RS jiwa.

Tak ketinggalan Fajri mendesak yang masuk dalam Pasal 242 dan 243 RUU KUHP tak hanya penyandang disabilitas mental dan fisik saja, tapi juga perlu memasukkan berbagai jenis penyandang disabilitas lainnya.

Tags:

Berita Terkait