Catatan untuk MK di Tahun Politik
Utama

Catatan untuk MK di Tahun Politik

Menghadapi tahun politik, MK diminta segera memutus permohonan uji materi terkait pemilu/pilkada, mempercepat proses dugaan pelanggaran etik ketua MK, memperbaiki manajemen jangka waktu penanganan pengujian UU.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Memasuki tahun 2018 yang dicanangkan sebagai tahun politik, bakal diselenggarakan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) serentak gelombang ketiga. Di tahun ini pun, bakal dilakukan persiapan penyelenggaraan pemilu legislatif dan pemilu presiden-wakil presiden secara serentak untuk pertama kalinya sesuai amanat putusan MK. Hal ini tentu tidak hanya menjadi beban bagi penyelenggara pemilu, tetapi juga bagi Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga pemutus sengketa pemilu dan pilkada.  

 

Ketua Kode Inisiatif, Veri Junaidi mengatakan beban penanganan perkara yang dihadapi MK semakin bertambah dalam melaksanakan kewenangannya terutama dalam penyelesaian perselisihan hasil pilkada ataupun pengujian UU di tahun politik ini. Apalagi, MK juga berperan sebagai pengawal demokrasi atau disebut the guardian of democracy.  

 

Veri memaparkan perselisihan hasil pilkada yang ditangani MK terbilang cukup tinggi. Berkaca pada Pilkada tahun 2015 terdapat 152 perkara yang ditangani dari 269 daerah. Sedangkan tahun 2017 perkara yang ditangani 60 perkara dari 101 daerah. “Berdasarkan kecenderungan sengketa di MK, maka Pilkada 2018 yang akan diselenggarakan 27 Juni 2018 mendatang di 171 daerah akan cenderung meningkat,” ujar Veri, di Kantor Kode Inisiatif, Tebet, Jakarta, Rabu, (3/01/2018).

 

Belum lagi, ditambah penanganan perkara pengujian UU yang setiap tahun menyisakan jumlah perkara untuk tahun berikutnya. Misalnya, tahun 2015 menyisakan beban 63 perkara,tahun 2016 menyisakan 78 perkara, tahun 2017 menyisakan 49 perkara yang harus segera diputus MK di tahun 2018 ditambah dengan permohonan yang akan diterima oleh MK. (Baca juga: Jangka Waktu Penyelesaian Pilkada 45 Hari Kerja)

 

Tabel Jumlah dan Persentase Beban Perkara Pengujian UU

Tahun

Sisa Perkara Tahun Sebelumnya

Teregistrasi

Total beban perkara

Putusan Dihasilkan

Persentase Sisa Perkara Tahun Sebelumnya (Persen)

2014

71

140

211

131

39,23

2015

80

140

220

157

37,91

2016

63

111

174

96

28,64

2017

78

102

180

131

44,83

2018

49

-

-

27,22

 

Karena itu, Kode Inisiatif merasa perlu memberi catatan/masukan terhadap MK. Pertama, MK hendaknya segera memutus permohonan uji materi UU yang berkaitan dengan Pemilu/Pilkada. Sebab, ada beberapa pengujian UU menyangkut pemilu serentak yang sedang diuji ke MK. Diantaranya, soal ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden, syarat verifikasi partai politik, dan lainnya.

 

“Tentu, kepastian konstitusionalitas aturan itu sangat ditunggu-tunggu menghadapi tahapan pemilu serentak 2019,” kata dia. (Baca Juga: Mengawal Sengketa Pilkada yang Berintegritas)

 

Dia menjelaskan tahapan verifikasi partai politik peserta pemilu sudah masuk dalam tahap verifikasi KPU. Begitu pula, pencalonan presiden dan wakil presiden yang dibutuhkan partai politik dalam menyusun strategi menjelang pemilihan presiden dan wakil presiden. “Namun, hingga saat ini aturan yang tengah diuji itu belum diputus oleh MK,” lanjutnya.

 

Kedua, Dewan Etik MK mempercepat proses pemeriksaan kasus dugaan pelanggaran kode etik ketua MK terkait pemilihan hakim MK di DPR beberapa waktu lalu. Ia menyayangkan hingga sekarang belum ada keputusan hasil pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik ini. Kondisi ini, tentu dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap MK.

 

“Percepatan proses penanganan dugaan pelanggaran kode etik ini diperlukan untuk memberi kepastian atas kasus ini. Tentu, hal ini baik bagi publik, pencari keadilan, bahkan bagi ketua MK yang diduga melakukan pelanggaran kode etik,” katanya.

 

Ketiga, MK hendaknya memperbaiki manajemen jangka waktu penanganan perkara pengujian UU. Dia memperkirakan di tahun politik ini beban perkara bertambah karena ada perkara perselisihan hasil pilkada yang akan mempengaruhi kinerja MK dalam penanganan perkara pengujian UU. “Apalagi ada kecenderungan penanganan perkara pengujian UU dari tahun ke tahun semakin lama,” kritiknya.

 

“Dari tahun ke tahun semakin naik. Tahun 2013, rata-rata jangka waktu penanganan pengujian UU selama 5,3 bulan. Tahun 2014, selama 6,9 bulan, naik kembali menjadi 7,7 bulan di tahun 2015. Tahun 2016 menjadi 10,5 bulan dalam menangani perkara pengujian UU.”

 

Ditegaskan Veri, tahun politik ini, tentu akan mempengaruhi kinerja MK dalam menangani uji materi UU. Padahal, proses penanganan perkara sesungguhnya MK bisa lebih cepat karena mulai dari registrasi perkara hingga penyerahan kesimpulan rata-rata 3 bulan telah selesai disidangkan. “Tetapi, setelah penyerahan kesimpulan perkara hingga pembacaan putusan bisa sangat lama, rata-rata bisa memakan waktu 10-11 bulan baru diputuskan,” katanya.

 

Dalam kesempatan yang sama, Mantan Anggota KPU Periode 2010-2017, Hadar Navis Gumay yang juga sebagai pemohon uji materi perkara No.71/PUU-XV/2017 terkait ambang batas pencalonan presiden dalam Pasal 222 UU Pemilu, berharap MK segera memutus perkara tersebut dalam waktu dekat. Menurut Hadar, Pasal 222 UU Pemilu dari segi substansi terdapat prinsip pencalonan presiden dan wakil presiden yang tidak sesuai dengan konstitusi. (Baca Juga: PBB Resmi Gugat Aturan Ambang Batas Calon Presiden)

 

“Dengan model presidential threshold, akan dimungkinkan calon presiden nanti hanya dua pasangan calon. Tentu, ini tidak baik bagi demokrasi. Kami berharap MK mengoreksi ini, mudah-mudahan permohonan uji materi ini dikabulkan. Sehingga, mudah-mudahan kompetisi lebih terbuka dan lebih luas karena tidak hanya ada dua pasangan calon presiden dan wakil presiden yang bertarung,” harapnya.

 

Salah satu pelapor ketua MK, mantan Komisioner Bawaslu periode 2008-2012, Wahidah Suaib menilai tidak etis rasanya ketua MK melakukan lobi-lobi politik ke DPR. Sebab, MK sebagai lembaga strategis dalam sistem bernegara. “Dewan Etik MK, seharusnya segera melakukan tindakan terkait dugaan pelanggaran kode etik ini. Sebab, hal ini tidak hanya menciderai kewibawaan MK, tetapi juga akan mempengaruhi kinerja MK sebagai garda terakhir dalam sengketa pemilu di tahun politik ini,” katanya.  

Tags:

Berita Terkait